Wednesday 31 July 2013

0

I FOUND HIM WHEN HE WAS GONE-ONESHOOT


Hi there;) aku cuma sekedar post ulang oneshoot buatanku di blog ini, sekedar iseng2 nulis aja kok, dulu oneshoot ini pernah aku post di facebook tanggal 10 November 2012, lumayan banyak pea jadi terharu gitu rasanya hehehe :D Mudah2an yang baru baca berhasil nangis dan dapet feelnya lebih :D Happy reading.




*****
I FOUND HIM WHEN HE WAS GONE


                  Aku menemukan lagi mata yang pernah membuatku meleleh, ditengah ratusan anak-anak yang juga melaksanakan ospek di sekolah ini. Airmataku berasa ingin menetes saat melihatnya duduk berlipat lutut dengan tangan yang menopang kakinya erat. Dan kilauan matanya dari kejauhan begitu terang dan memaksaku untuk menangis. Dia tak memperdulikanku sementara aku tak berkedip menatapnya penuh harapan sejak jam istirahat dimulai.
Yang jelas empat tahun berlalu semenjak kelas enam saat kami bersama di elementary school dia adalah orang yang selalu membuat jantungku berdebaran. Sebuah kenangan dimana aku berteman dengan seorang anak laki-laki dengan satu-satunya mata hazel madu yang sangat menawan. Lelaki berambut emas, cinta pertamaku. Aku hampir belum pernah menjalin hubungan istimewa dengan mereka yang pernah menyatakan perasaannya padaku. Entah mengapa aku selalu mengingatnya meski dia belum tentu mengenalku.



*****
“Yaa ampun Jessica! Banyak sekali.”

Ariana berdecak saat melihatku memasukkan setumpuk kertas kedalam tempat sampah yang dibawanya. Kertas merah hati dengan wangi parfum yang sama dengan yang kukenakan. Aku hanya heran sebegitu mereka perhatian padaku. Padahal aku tak menggubris setiap mereka. Ariana memasang wajah irinya dengan penuh penghayatan saat aku dengan mudah memindahkan semuanya dari loker ke tong sampah itu.

“Dengan begini aku lebih mudah mengambil bukuku.” Dengan singkat aku mengunci lokerku yang sebelumnya telah kusumbat ventilasi kecilnya dengan perekat. Merepotkan jika setiap minggu untuk jam olahraga harus membuang setumpukan ‘sampah’ yang memenuhi lokerku.
“Ah, Jessica andai aku menjadi kamu. Aku pasti sudah menjadi populer disini.”
“Tak perlu menjadi orang lain untuk hidupmu kan Anne?” tanyaku meyakinkan self confidence-nya.

Ariana hanya mendengus kesal sambil memunguti satu-per-satu kertas tadi.

“Lihat! Bahkan Skandar, kakak kelas kita yang sangat charming itu! Dia juga menuliskannya untukmu.” Teriak Anne histeris.Aku hanya tersenyum datar padanya lantas beranjak meletakkan buku-bukuku tadi dan menanti Anne yang masih terperangah melihat siapa saja yang mengirimkannya padaku. Dia memungutinya dari tempat sampah tadi lantas memasukkan mereka semua ke dalam tasnya.
Anne berlari menyusulku yang telah berjalan mendahuluinya. Menantinya untuk keheranan memang sangat lama, aku sudah hafal sejak mengenalnya saat ospek setengah tahun yang lalu. Anne tetap Ariana Grande yang selalu envy ketika ada orang yang mencintai salah seorang lainnya dan sebaliknya. Mungkin perasaan irinya yang berlebihan membuatnya lebih dijauhi daripada memulai masa pendekatan dengan anak laki-laki disini.

“Jessica.” Panggilnya perlahan sembari menyenggol lenganku perlahan.
“Kau tahu, aku sangat iri padamu. Kau sempurna, kau cantik, kau pintar, kau kaya, kau sangat sangat mempesona. Bahkan semua guru menyayangimu lebih dari anak-anak yang lain. Kau sangat beruntung dicintai banyak orang. Sedangkan aku? Aku ragu berdekatan denganmu. Aku sadar kita ibaratkan langit dan bumi.” Anne melirihkan nada bicaranya sambil menunduk sedih.
“Kita tetap sahabat apapaun yang terjadi Anne.”

Aku mengacak rambutnya perlahan karena Anne tingginya hanya mencapai telingaku.


“Jessica! Cepat kemari!” Suara Mr. Louis menyeruak di koridor sekolah tempat kami -aku dan Anne- berjalan, serempak kami berdua menoleh dan beranjak menuju ke lapangan basket yang telah dipenuhi oleh anak-anak kelas regular yang mengalami jadwal olahraga yang sama dengan kelas kami.
“Jessica bantu kita melawan kelas mereka ya?” Caitlin berbisik begitu aku bergabung ke barisan.
“Tentu saja!” jawabku mantap padanya.

Suara peluit melengking dan bola terlempar ditengah lapangan.

Aku berlari meraih bola itu dan menggiringnya singkat, melemparkannya pada Cait dan dengan pivot yang sempurna bola masuk. Seketika itu suara Anne terdengar dari sudut lapangan melengking jelas berteriak penuh gembira, aku melirik guru kami -Mr. Louis- mengacungkan jempolnya padaku. Cait datang dan mengajakku toss sejenak dan permainan diulang kembali. Pertandingan semakin rumit dengan tim regular yang bertubuh rata-rata namun mereka bermain dengan kekerasan. Pelanggaran terjadi saat Mr. Louis tidak memperhatikan kami.
Aku terbawa emosi permainan, lantas mencoba bermain egois karena setiap temanku dihalangi oleh mereka yang menjadi musuhku. Apa boleh buat, aku melompat dan mencoba melakukan three-point, dan suara peluit melengking sekali lagi. Tim kami unggul atas tim regular.
“Semangat Jessica!” Suara anak laki-laki ikut andil bagian dari Anne. Aku melirik diantara mereka. Semuanya sedang berdiri sambil memegangi batas lapangan dengan wajah yang sangat ceria menyaksikan permainan ini, kecuali. Seorang lagi yang baru saja datang sendirian. Sementara yang lain datang menggerombol. Dia membungkukkan badan dibelakang mereka, membenarkan tali sepatunya dengan susah payah dengan rambut emas yang menutupi sedikit matanya. Dia. Laki-laki yang selalu aku tunggu.
“Jessica ayo kejar bolanya!” Suara Anne kembali menyeruak, menghapus anak tadi dari pikiranku untuk fokus ke arah bola. Dengan berlari kecil dan melakukan pivot dengan benar kurebut bola itu. Sekuat tenaga kulemparkan ke arah berlawanan saat dua orang mengawalku ketat.


“Akkkh!”

Begitu terkejutnya aku menemukan anak laki-laki barusan yang aku perhatikan memegangi kepalanya dengan erat, sementara bola yang tadi kulempar mungkin melesat mengenai rambut emasnya tersebut. Aku langsung berlari keluar lapangan dan menghampirinya perlahan. Aku berjongkok mengikuti dia yang sedang tersungkur.
“Maaf aku tidak sengaja.” Sesalku sambil memperhatikan bagian mana darinya yang terluka.
Dia tetap terdiam dan memejamkan matanya, sementara aku berada ditengah anak laki-laki yang adalah teman sekelasnya. Mereka semua menertawakannya, bukan membantunya berdiri. Hatiku berdebaran menyentuh lengannya untuk bangkit. Dia menggelengkan kepalanya perlahan dan menyingkirkan tanganku darinya, lantas berdiri dengan tenaganya sendiri.
“Sudah saya peringatkan sebelum tadi, jangan melihat pertandingan terlalu dekat. Salah satu dari kalian dihukum. Justin! Masuk ke lapangan dan jadi pemungut bola sekarang.”
Aku tercekat sejenak lantas menatap anak tadi dengan tatapan heran. Sementara suara tertawaan anak-anak lain semakin menggelegar mengiringi langkahnya masuk ke lapangan. Aku ingin meledak merasakan suasana yang menjatuhkannya seperti ini. Ini tidak adil menurutku.

“Tapi pak, jelas-jelas bukan hanya dia yang bersalah-” aku berlari mendekati Mr. Louis
“Sudah. Anggap saja dia tumbalnya, saya yakin mereka tadi termasuk anak itu dikeluarkan dari kelasnya karena tidak mengerjakan tugasnya. Mana ada kelas lain datang bukan dengan seragam olahraga kemari.” Jelasnya panjang lebar.
“Tapi-”
“Anggap saja aku yang menghukumnya karena ulahnya juga.”
Sedikit kurasakan rasa aneh disini. Seakan semua temannya membencinya, semua guru juga sama. Sekarang teman-temannya tadi pergi menggerombol keluar lapangan menuju kantin. Aku tertegun sejenak lantas memasuki lapangan lagi bermain dengan hati yang kacau. Merasakan bagaimana jika menjadi dia yang sedang duduk memegangi bola-boa basket seperti diasingkan oleh semua orang.



*****

            Langkahku terhenti saat orang yang sedang aku ikuti berhenti berjalan. Nafasku terengah-engah mengikuti langkahnya yang juga besar besar seperti anak laki-laki lainnya. Aku yakin dia menoleh memastikan tak ada yang menjanggal dipikirannya. Aku sendiri terus saja bersembunyi dibalik drinkin-machine yang kebetulan ada disini. Ternyata Justin menyelidik hingga menemukanku disini, keringat dingin mengucur dari pelipisku perlahan. Dan Justin ikut berdiri disampingku.
          “Aku sedang menunggu colaku turun. Sehabis pertandingan tadi aku selalu berkeringat.”
Dengan agak canggung setelah berujar demikian, aku tersenyum pada Justin yang mendongakkan kepalanya seolah mencari sesuatu dibalik mesin ini. Aku yakin seleranya masih sama yaitu milkshake banana yang kurang disukai banyak orang. Sejak dulu Justin menyukai minuman itu, padahal menurutku tak ada seorangpun berselera sama dengan dia. Lama aku memperhatikannya hingga dia menolehkan lehernya padaku.
         “Maaf Justin. Jangan marah padaku ya?” aku menatapnya sayu sambil memamerkan gigiku padanya. Aku khawatir Justin marah karena aku mengikutinya dari tadi, mati aku dia sudah menemukanku disini. Jadilah aku berpura-pura menantikan cola yang sedaritadi juga tak kunjung turun.
Justin hanya menaikkan sebelah alisnya tanpa berbicara sepatah katapun padaku, lantas berlalu dariku dan berjalan menghilang dibalik tikungan jalan. Kulirik drinkin-machine  tadi ternyata benar minuman yang dia cari tidak ada. Jadi, sedaritadi dia kemari berniat membeli minuman itu dan samasekali tidak mencurigaiku? Astaga .____.v
Dengan kesal aku tak henti menggerutu betapa bodohnya aku dihadapan Justin. Salah tingkah dan hal bodoh lain yang tidak aku alami pada hariku. Tapi saat bersama Justin tadi, sepertinya bibirku terasa dingin dengan hati yang berdebaran dan sangat menggangu. Hah. Aku sudah gila karenanya.
“Mengapa mengikutiku?”


DEG!


Aku tak berkutik seakan tersambar kilatan petir yang kini berada dimata Justin. Dia menatapku tajam sekali dengan melipat lengan di hadapanku. Langkahku terhenti dan mulai berjalan mundur, namun dengan sigap Justin meraih tanganku dan menahannya.
“Justin? Kau kenapa disini, kau-” Kataku gelagapan dengan lutut yang sudah sangat lemas.
“Bukannya kau tadi sudah belok kesitu? Dan hilang.” Ucapku bergetar. Aku sangat takut Justin marah padaku. Aku tak berani menatap matanya lagi. Aku bisa mati meleleh disini.
“Pulanglah.” Usirnya dengan nada yang halus sambil menatapku tajam, matanya berkilatan seperti sedang ditantang berkelahi. Mengerikan sekali.

Dengan memutarkan bola matanya tiba-tiba dia menarikku berjalan lagi.

          Bibirku terasa sangat kaku untuk digerakkan sementara lututku juga bukan main melemas. Aku ingin meledak-ledak dan berkeringat seperti sehabis basket dengan menang secara telak. Tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Kami terus berjalan, aku bisa merasakan betapa eratnya Justin menggengam tanganku. Aku hanya mengikuti langkahnya saja.
“Kau bisa ambil jalan pulang lewat sini. Jika melewati gang tadi akan melelahkan.” Katanya singkat.
Aku terpana. Bahkan dia tahu jalan rumahku? Jangan-jangan dia juga memperhatikanku selama ini. Rasanya aku ingin memeluknya erat, merasakannya lebih jauh lagi. Dia memperhatikanku?
“Aku pulang dulu.” Dengan nada datar dia pamit padaku lantas berjalan memutar lagi. Aku tidak peduli-aku harus mendekatinya sekarang. Waktu empat tahun sudah aku sia-siakan menyembunyikan rasa ini sendirian. Aku harus memperjuangkannya sekarang.

Justin memasuki sebuah halaman rumah bernuansa klasik dengan sebuah balkon diatasnya.


“Dasar wanita jalang! Penyakitan! Pergilah dan jangan menyentuh puteraku lagi!”

         Aku menatap keatas dimana seorang laki-laki paruh baya sedang memaki-maki seseorang namun tak terlihat dari bawah sini. Begitu aku menoleh Justin menutup pintu secara kilat, mungkin menghampiri mereka. Muncul Justin ke atas dan hal yang sangat mengejutkan terjadi, tangan Justin menampar keras pipi lelaki tadi. Sementara lelaki tadi mengayunkan kakinya kearah bawah. Tidak terlihat jelas darisini. Aku melihat mereka dengan ngeri. Justin terlihat darisini sedang mendorong tubuh lelaki itu kasar lantas berjongkok. Aku penasaran apa yang terjadi. Aku keluar dari persembunyianku dan melihatnya bebas dari luar pagar rumah. Aku tidak berani masuk.
        Aku jadi mencemaskan Justin. Sekitar lima menit penuh ketegangan, aku melihat lelaki tadi meludah kebawah lantas masuk kedalam rumah. Apa yang terjadi? Sejurus kemudian Justin bangkit bersama seorang wanita yang lain. Wajah mereka tak begitu jelas daribawah sini. Aku menatap mereka jauh, tiba-tiba Justin memandang kearahku. Begitu terkejutnya aku lantas memutarkan tubuhku perlahan. Aku terkesiap dan mulai melangkah menjauh dari pagar rumahnya. Kupacukan langkahku semakin gencar dan berlari mengikuti jalan pintas yang sempat ditunjukkan Justin tadi.


***** 

***** 

*****

         Fikiranku masih berputar-putar tentang Justin. Bagaimana tidak? Kejadian kemarin itulah yang dinamakan kekerasan dalam rumah tangga. Mereka sekeluarga broken home dan menaruh dendam satu-sama-lain. Ayahnya, ibunya dan Justin. Apalah itu mereka mengalaminya setiap hari. Tak kubayangkan Justin begitu tegar menyembunyikan semuanya sendirian, bahkan kini setiap harinya dia juga pasrah jika dibully teman-temannya.
“Jessie!” Tubuhku terhenyak sesaat ketika seseorang menggoncangkan bahuku secara tiba-tiba.
“Apa?” Kubentak Anne secara spontan karena membuyarkan lamunanku tadi.
        Ternyata kami berada dikelas sekarang. Aku tak sadar atas semuanya. Begitu bodohnya aku saat seisi kelas memperhatikanku dengan wajah yang seolah bertanya, ada apa denganku? Kututupi mukaku dengan kedua telapakku erat. Aku sedikit berlinang mengingat kehidupan Justin. Aku begitu peduli padanya. Seburuk apapun dia.
“Maafkan aku Anne, aku tidak tahu.”
“Okay. Tidak masalah Jess, tapi apa yang terjadi padamu? Akhir-akhir ini kau seolah menyembunyikan sesuatu padaku bahkan aku tak bisa menebak masalahmu dari gelagatmu. Tidak seperti biasanya.” Anne berkata lembut sambil mengusap pundakku perlahan. Aku tersenyum padanya meski sebenarnya airmataku mendahului turun ke sudut mataku.
“Tapi jangan cerita pada siapapun.” Bisikku padanya. Anne mengangguk mantap.
“Okay. Aku menyukai Justin, anak kelas regular.”


Anne terdiam selama beberapa saat.


“Astaga? Justin? Anak payah yang selalu dijadikan bulan-bulanan, eh, hari-harian anak anak lelaki disini kan? Yang selalu sendirian kemana-mana dan terlihat paling aneh diseantero anak laki-laki yang bersekolah disini? Yang selalu dihukum di setiap pelajaran dan yang terakhir menjadi pemungut bola basket itu?” Anne berbisik namun menekankan setiap ucapannya. Aku mengangguk.
“Jessie, kau gila. Kau sangat-sangat gila. Kau bahkan hampir menolak seluruh laki-laki yang menyatakan cintanya padamu dan mengantri jadi pacarmu. Dan kau tahu? Mereka semua itu lebih keren dan jauh lebih sempurna dari Justin! Justin tidak ada apa-apanya dengan mereka.”
Aku memicingkan mataku, sedikit rasa sakit hatiku muncul saat Anne mengatakan semuanya.
       “Maksudku Jessie, lihatlah dirimu. Kau begitu sempurna, kau sangat layak mendapatkan Skandar, atau seluruh siswa lain yang sama populernya denganmu, bukan menjadi pacar orang cupu yang belum karuan memiliki rasa sama denganmu. Sadarlah Jessie, Justin itu anak aneh.”
“Shut up Anne!” bentakku kasar sekali lagi pada gadis ini. Dia kelewatan menjatuhkan Justin.
“Aku butuh masukkanmu, aku tak butuh pendapatmu tentang Justin!”

        Anne hendak menjawab perkataanku namun guru telah datang dengan beberapa siswa kelas ini berhamburan masuk ke kelas berebut untuk duduk sebelum Mrs. Yen, guru mata pelajaran musik itu memarahi setiap mereka. Aku memilih duduk sendirian daripada bersama Anne, saat ini aku sedang kesal padanya. Dasar. Sifatnya yang sok tahu, serta suka merendahkan orang itu yang sangat aku tidak suka. Dengan malas aku menggeser tasku ke belakang dan duduk di meja pojok kiri.
“Baiklah anak-anak. Kita mulai pelajaran kita, dan kau Justin silahkan duduk dimeja yang kau mau.”

        Aku mendongakkan kepalaku dan melihat dengan jelas. JUSTIN. Dia melangkah dari depan kelas sementara siswa lainnya menatapnya dengan pandangan jijik, sementara dua orang lagi, laki-laki langsung meluruskan kakinya di meja yang tersisa disampingnya. Mereka menolak kehadiran Justin dikelas ini.  Aku memandang Justin dengan penuh harapan. Ayolah duduklah disampingku.
“Boleh aku?” Ujarnya pelan seperti orang berbisik sambil menunduk, dan menunggu jawabanku.
Dalam hati sebenarnya aku ingin berteriak-teriak, “Tentu saja silahkan.”
Seluruh isi kelas sontak menolehkan kepalanya kearahku tajam. Termasuk Anne, mereka seakan tidak percaya mau-maunya aku duduk bersama dengan anak yang dinilai paling menjijikkan disekolah ini. Sementara pelajaran telah dimulai, aku masih sibuk memandangi Justin. Sementara Justin masih berkonsentrasi dengan apa yang diajarkan Mrs. Yen didepan. Aku tidak bisa, aku sedang ingin menatap wajah Justin berlama-lama.






*****
“We were best of friends since we’re in this high,
So why do I get nervous everytime you walk by
We would be on the phone all day
Now I can find the word to say to you
Now Imma supposed to do.”



         Kuletakkan gitarku perlahan, bahagia sekali bisa sedekat ini dengan Justin. Beruntung pelajaran Mrs. Yen memaksa Justin mautak-mau untuk mengerjakan tugas kelompoknya bersamaku, karena memang diharuskan teman sebangku untuk berkolaborasi membawakan lagu bebas. Senangnya bisa menghabiskan sore ini bersama di rumah Justin. Hari ini latihan terakhir setelah kami berlatih bersma di sekolah dengan tatapan jijik yang kemudian menular padaku. Anak-anak mulai memandangku sebelah mata karena selalu dekat dengan Justin.
        Sekarang aku ada dirumah Justin, setelah dia kupaksa untuk mengizinkanku ikut. Ditempat yang sama saat aku melihat mereka, mereka bertengkar. Justin berpamitan keluar kamar, entahlah dia mau beranjak kemana. Sementara aku menghabiskan sejenak waktuku di kamar Justin ini. Sangat sangat rapih sesuai kepribadian Justin. Aku berdiri dan meletakkan gitarku pada ranjangnya, lantas mendekat ke meja belajarnya.
“Apa ini?” Mataku menangkap sebuah kemasan saku yang berisi kapsul sebesar kancing baju. Jumlahnya hanya separuh. Kucium baunya, dan tentu saja obat ini sangat menyengat. Ada nama Justin tertera disana. Ada yang aneh disini. Kuambil dua kapsul obat itu dan kumasukkan ke sakuku.

Ceklek ..

Pintu kamar terbuka, dengan segera aku meletakkan kapsul tadi ke meja Justin dan berpura-pura untuk berkeliling kamar. Kulirik lagi Justin sedang berjalan ke balkon tempat kami berlatih tadi sambil meletakkan dua mangkuk sup yang masih berasap.

“Ini untukmu.” Katanya singkat lantas menyeruput sedikit sup disendoknya.
“Kau sendiri yang membuatnya?” Justin tersenyum kecil lantas aku mengangguk-angguk.
“Maaf aku kehilangan sosisku, jadi agak lama untuk membuatnya tadi. Kau tidak apakan?”

Aku menggeleng pelan.

“Suaramu bagus juga.” Pujiku padanya. Dia menatapku datar sambil menaruh mangkuknya.
“Kau juga hebat memainkan gitar itu. Seorang gadis yang sangat multi-talented.”

       Aku sedikit bergetar. Justin barusan memujiku, tulus sekali. Aku malu sebenarnya tapi, apa boleh buat. Kami terus bercanda sambil menghabiskan sup kami. Cinta tak berlebihan menyatakan perasaan yang tersembunyi. Namun, perasaan yang sangat menggebu untuk memiliki seseorang seakan meracuni setiap rang yang sedang jatuh cinta. Persahabatan lebih agung daripada cinta. Namun cinta harus segera diungkapkan. Kesempatan dapat hilang dalam sekejap, namun penyesalan bertahan selamanya. Aku begitu berambisi terhadap Justin. Namun setiap hari, semakin jelas bahwa Justin adalah anak yang payah dimata teman-teman. Namun bagiku dia lebih dari sempurna.
“Justin kau tahu? Aku menyukaimu lebih dari teman biasa.”
Kataku spontan begitu saja. Aku sudah tidak memperdulikan siapa-aku dihadapan Justin. Perasaanku harus diungkapkan. Aku sudah tidak tahan lagi.
         “Aku tahu menurutmu semuanya tiba-tiba namun sebenarnya sejak kita berteman dulu aku sudah menyukaimu dan kita bertemu lagi disekolah yang sama. Aku tak tahan lagi. Aku benar-benar ingin menjadi milikmu Just. Aku benar-benar mencintaimu.”
Justin tertegun dan mulai terdiam. Entahlah dengan mudah aku mengucapkannya, tak selazim orang lain yang gengsi menyatakan cintanya. Kalau bukan aku, Justin tak akan memulai.

“Aku, tidak bisa.” Jawabnya singkat.
“Kenapa?” Aku hampir meneteskan airmataku, baru kali ini aku ditolak, apalagi oleh lelaki yang sangat aku cintai seperti Justin. Aku terus menanyakannya pada Justin sementara dia hanya diam saja. Wajahnya terlihat seperti menahan sesuatu. Perlahan dia meraih dadanya, dan nafasnya terdengar tak beraturan.

“Pergilah-” Justin berusaha menyuruhku untuk pulang dengan tenaganya yang mungkin tidak terasa, wajahnya memucat dan bibirnya mulai bergetaran.
“Justin? Kau kenapa? Kau baik-baik saja kan?” Aku mulai mencemaskan Justin. Tangannya menarikku perlahan, dan aku bisa merasakan betapa dingin tangannya seperti orang menggigil. Airmataku sudah berjatuhan dari sudut mataku dan aku mulai berdebaran menyaksikan Justin seperti ini. Dia kelihatan begitu marah padaku. Aku, aku salah menyatakannya terlalu cepat. Aku bodoh.


*****

*****

*****

        Hari demi hari berlalu. Tak lagi ada Justin dan tak ada kehebohan yang terjadi diantara seluruh siswa sekolah ini. Semua terlihat biasa saja bahkan mereka nampak tak kehilangan Justin. Aku merasakan rongga di dalamku, penyesalan dan semuanya. Aku bodoh dan menginginkan Justin begitu cepat. Aku sangat ceroboh.
“Jessie. Aku sangat merindukanmu.” Anne berhamburan memelukku. Aku membalasnya erat.
“Aku lebih merindukanmu Ariana.” Kataku selepas melepaskan pelukan Anne.
Dia menatapku dari ujung ke ujung. Dengan tatapan yang sangat murung dan lebih kelam daripada aku. Wajahnya nampak ingin mengutarakan sesuatu, namun tertahan di bibirnya.
 “Ada apa Anne?” tanyaku khawatir. Aku menatapnya tajam agar dia mengatakannya.
“Aku-aku tidak tega mengatakannya padamu. Kau sudah separah ini.”
“Maksudmu apa? Ada apa dengan Justin?”
        Aku semakin tercekat karena gadis ini, biasanya dia selalu ceria namun ada apa? Wajahnya begitu muram dan seakan sulit menjelaskan semuanya padaku. Anne terdiam seribu bahasa. Mendengar cara bicara Anne pasti ada sesuatu yang terjadi pada Justin. Aku menggoyangkan pundak Anne keras, dan tak bisa ditahan lagi airmataku dengan mudahnya meluncur dari kerlinganku.
“Aku takut kau marah padaku, sudah cukup aku kehilangan Jessie-ku karena Justin.” Lirihnya.
“Katakan Anne!” Bentakku keras pada Anne sementara dia justru ikut menangis sama denganku.
“Jenguk Justin di Central Hospital Jess.”
Jantungku rasanya terhenti sejenak. Dan pikiranku buntu menuju Justin, membayangkan apa yang terjadi padanya. Airmataku semakin pecah dan aku mulai berlari menjauhi Ariana lantas berlari menuju mobilku.



SKIP



          Begitu memasuki rumah sakit ini, seolah sesuatu mendorongku untuk terus menerobos lorong-lorongnya, aku begitu gemetaran seakan ada ikatan batin. Justin sedang menantikanku disuatu tempat. Aku lantas mengikuti kemana hatiku akan berhenti. Kutemukan seorang lelaki paruh baya yang sebelumnya pernah aku lihat. Dia duduk diluaran ruang ICU dengan wajah yang sangat tidak dapat diartikan. Ada bagian jiwanya yang hilang, sama seperti yang aku rasakan. Aku mendekatinya, namun tak jua beliau mengerti kehadiranku. Ku longokkan mataku ke dalam, sebatas gorden hijau menutupi separuh tubuh seseorang yang kepalanya dibalut perban hingga tak terlihat sepucuk rambutnya. Aku bergetaran hebat. Rasanya orang itu Justin.
“Sedang apa kau disini?” suara lelaki yang tadinya menunduk itu mengangetkanku.
“Saya-saya, saya temannya Justin.”
          Benar saja ternyata perasaanku tepat. Orang yang terbaring tadi namanya Justin. Hampir rasanya aku pingsan, namun aku harus bertahan demi menyaksikan keadaan Justin. Sekilas kuperhatian raut wajah lelaki yang menanyaiku tadi tampak menyelidik dan mengamatiku dengan seksama.
“Jadi kau yang namanya, Jessica Jarell.” Aku mengangguk pelan, lelaki itupun mengajakku memakai baju anti-hama lantas terus melangkah dan kembali keruangan tadi, dia membukanya perlahan lantas membiarkanku masuk.
“Ini saya temukan di kotak obat Justin.”
Lelaki itu menyerahkan secarik kertas yang terlihat rapih. Aku menerimanya perlahan dan menatap sekilas Justinku yang tengah terbaring diantara alat-alat rumah sakit yang terhubung ke tubuhnya.






“Dear Jessica. Jessica Jarell.

Beruntung sekali jika surat ini kau temukan. Jessie, sayangnya aku tak seberuntung bisa mengenal bahkan sempat dekat denganmu. Bahkan kau memiliki rasa yang sama sepertiku Jessie. Namun. Maafkan aku membentak dan menyuruhmu pulang malam itu. Aku tak bermaksud mengusirmu. Aku menolakmu karena aku merasa tak pantas untukmu Jessie. Kau tahu aku adalah anak payah yang selalu dipandang menjijikkan oleh seluruh anak sekolah. Hidupku tak benar Jessie. Dan ini resikoku. Aku ingin jujur padamu. Aku mengidap lemah jantung. Aku tak tahu ternyata aku bisa menemukanmu lagi hingga detik ini. Padahal harapanku hidup hanya kau sejak kita semasa sekolah dulu. Ah aku tak mau panjang-panjang. Ini takdirku, aku ingin kau bahagia dengan lelaki lain. Bukan lelaki penyakitan sepertiku, karena aku tak dapat menjagamu lebih lama. Kau gadis sempurna, aku dapat menemukan penggantiku. Aku minta maaf. Aku pergi Jessie. Aku mencintaimu juga. Love, Justin.”



         Dengan luluh aku ambruk ditubuh Justin yang terbujur kaku diatas ranjang. Airmataku meleleh sambil aku terus memeluk Justinku. Tak hentinya aku terisak, sementara lelaki tadi seolah telah pergi membiarkanku bebas bersama Justin. Aku terus menangis, dan tak akan berhenti.

“Justin bangunlah. Aku mencintaimu, sangat dalam.” Bisikku lirih menatapnya penuh harapan. Namun Justin hanya terdiam, aku mengelus pipinya yang tirus melihat wajahnya yang begitu pucat dengan bibir yang mulai membiru.
“Aku tak akan berhenti menangis sampai kau yang menghapusnya!”
Airmataku tumpah dan jatuh. Perlahan aku melihat airmataku itu menyusup diantara sela mata Justin. Aku sangat berharap dia membuka mata hazelnya lagi. Memadukan mata kami. Aku terus menangis. Namun Justin tak kunjung bangkit.
“Permisi nona, jenazah pasien harus segera dipindahkan.”
Suara lembut perempuan itu terasa seakan membunuhku, aku memberontak dan terus mempertahankan Justin berada disini. Aku tidak bisa kehilangan Justin selamanya. Aku terus berteriak-teriak namun Justin tak jua bangun dari tidurnya. Lututku yang melemas langsung membuatku ambruk dilantai rumah sakit ini sementara beberapa perawat mulai membawa tubuh Justin untuk keluar kamar.




*****
         Justin. Aku akan selalu mencintaimu. Seperti janjiku yang akan selalu aku tepati untuk hidupku dan kau sendiri. Aku tidak akan melupakanmu jauh lagi. Aku mencintaimu sepanjang hidupku. Tetap menjaga hatiku untukmu. Aku percaya Justin, cintamu untukku tak akan pudar juga, disaksikan oleh tubuhku yang akan satu liang denganmu suatu saat nanti. Aku mencintaimu Justin. Sampai aku mati.




Leave a comment pleasse credit me to @stelldc on twitter. Thanks for read;)
This oneshoot dedicated to my bestie, my sister, my lovely sister @_GerhanaWulan and @dillastonaut{}
#WereLastForeverHana #WereLastForeverBebebCia ily

0 comments: