Wednesday, 10 September 2014

0

I HEAR YOUR HEARTBEATS 9

I HEAR YOUR HEARTBEATS 9
*****
(STILL) Weronika Point Of View




“Wero? Kau-”
“Aku hanya ingin sejenak saja terjaga disini, bersamamu.”


Kurasakan Zayn tak lagi bergerak, hanya saja telingaku pada dadanya mendengar sesuatu. Detak jantungnya begitu cepat. Bisa kurasakan dia berdebaran sekarang. Setidaknya aku merasakan kehangatan seperti ini. Kupejamkan mataku disini, meski airmataku sudah berjatuhan sedari tadi tanpa ada suara isakan. Zayn tidak mengetahuinya.
“We-wero?” Aku mengusap pipiku cepat lantas mendongakkan kepalaku untuk menatapnya. Dia hanya menatapku penuh kekhawatiran, dan mataku menangkap pupilnya membesar dikegelapan gua ini. Tangannya tiba-tiba meraihku, memelukku begitu erat. Tubuhku ikut bergetar padanya.


“Aku mencintaimu Wero.”


Zayn berbisik lembut. Rasanya petir diluarsana kini menghinggapiku. Mulutku terbungkam. Aku ingin menangis lagi. Dengan susah payah aku mendekapnya juga dengan tanganku dipunggungnya. Kurasakan kerinduan yang begitu menusuk, namun bukan untuknya. Zayn melepaskan pelukannya padaku, dan menghadapkanku pada wajahnya. Mata kami bertemu, dijarak yang sangat dekat.
                Dia meraih tengkuk leherku dan  menekannya, sementara aku masih menatap bibirnya. Sebuah kilauan memantik dimataku. Kilauan mata cincin yang ada pada leher Zayn, dijari manisku.
“Maaf Zayn. Aku tidak bisa.”
              Kutarik tanganku dan menjauhkan tubuhku darinya. Justin. Aku begitu berdosa. Aku. Kulepaskan cincin itu dan menyimpannya pada sakuku. Mataku menatap Zayn yang menjadi diam sambil terus menatap kosong. Mulut kami sama-sama bungkam.






*****
Author Point Of View



Lelaki itu masih berteriak memecah setiap dedaunan dan ranting yang basah, sementara diantara malam menyeruak gemuruh air langit yang menutupi kerlipan diatasnya. Tak ada keraguan untuk memasuki sela semak-semak, sesekali melompati kubangan yang bisa jadi perangkap untuk menghentikannya. Dia tetap menahan kakinya, agar mampu bertahan dari kemelut yang tak berkesudahan itu.

“Aku harus pergi.”

            Dengan tatapan kosong hanya rasa khawatir yang menyelimuti Zayn. Ditatapnya gadis itu berlari keluar dan mencari bayangan suara yang barusan meneriakkan namanya. Namun lelaki itu tidak jua mendengar apa yang Wero kejar. Karena sayup bayangan itu ternyata ikut menghilang bersamaan Wero yang sudah diluaran. Matanya tertutup rintikan deras air hujan itu yang bukan semakin reda.
           Perasaannya semakin kalut karena semuanya hanya gelap. Bahkan langkahnya terlampau jauh untuk kembali, namun tak ada jalan kembali ditempat bersama Zayn tadi. Pikirannya buntu hanya Justin yang berkutat.
“Wero!”
“Kau baik-baik saja? Kau darimana? Kau-”
           Seorang menangkap tubuhnya yang terhenyak, datang dari belakang. Seketika tangisan Wero menumpah begitu lelaki itu memeluk erat orang yang dicarinya. Lelaki itu menatap Wero lekat-lekat lantas menemukan rasa takut yang luar biasa. Justin kembali mendekap Wero.





*****


Dengan susah payah Wero membukakan kaitan tenda untuk Justin. Sehabis mengganti seluruh mantelnya yang basah. Sementara yang memasuki adalah gadis latin itu. Selena menatap Wero dengan perasaan jengkel. Bahkan tatapan malaikat Wero tak mampu meluluhkannya. Kemudian dia merebahkan tubuhnya di kantung tidur yang sedikit berdekatan dengan milik Wero. Keduanya tidak berkata apa-apa.

“Hei, pergilah ke tenda lain. Aku ingin menemani Wero.”

Wero menatap Justin yang sangat tenang membawa dua cup sup yang masih berasap. Dan telapaknya memerah menahan rasa panas yang menembus. Matanya kemudian melihat Selena yang terlihat begitu sebal, mengerucutkan bibirnya dan dengan kasar dia menarik kantung tidurnya. Lantas merangkak menutup kaitan tenda. Gadis itu begitu menuruti perkataan Justin tanpa membantah, tak seperti Wero yang akan meledak-ledak. Justin hanya terkekeh, menatap Wero yang begitu mengkhawatirkan kepergian Selena.
“Bagaimana kalau hubungan kita-”
Wero menghentikan perkataannya begitu Justin mengisyaratkannya untuk diam, dia menaruh ponsel dari saku ke telinganya dan raut mukanya terihat begitu serius mendengarkan. Gadis itu hanya menghela nafasnya dan menanti kesibukan suaminya itu.
“Apa?” Justin menatap Wero yang sekejap bangkit dari tidurnya. Gadis itu terhenyak menatap Justin kesal, dan matanya yang tengah terpejam dipaksa terbangun. Terdengar keras suara wanita begitu lembut berbicara pada Justin.
“Wero sedang sakit-”
            Wajah Justin semakin rumit. Dan gadis itu ikut khawatir karena namanya dibawa-bawa dalam percakapan Justin barusan. Lelaki itu melihat layar ponselnya yang menampilkan ringkasan panggilan. Wero langsung menarik lengan Justin hingga ponsel itu terlempar.
“Ah sial. Teleponnya mati begitu saja.”
“Ada apa? Kenapa kau membawa-bawa namaku?”
Justin membuang asal ponselnya, “Ibu Zayn menyuruh datang lusa dirumahnya. Namun aku harus bersamamu.”
Segera gadis itu memungut ponsel Justin ditangannya melihat panggilan barusan lantas mulut Wero mengerucut dan tidak memperhatikan wajah Justin yang begitu kesal. Wero melepas tangannya lantas membuka resleting kantung tidurnya, membiarkan tubuhnya yang begitu dingin menyentuh rumput dibawah mereka yang berembun, menembus alas tenda itu. Sebuah wash-lap terlepas dari keningnya. Justin semakin menatapnya kesal, lantas gadis itu hanya tersenyum.
“Kau ini, biasa saja. Pakai lagi agar tubuhmu hangat. Kau sedang demam Wero.”
Gadis itu menatap selimutnya, “Tidak mau kita harus sama. Iya Just, kalau kau tidak mau datang kan tidak masalah. Biasanya kau selalu mengabaikannya. Tapi itu tidak baik, kau harus menghormati seorang ibu. Bagaimanapun juga beliau juga seorang ibu.”
Justin hanya mengangkat sebelah alisnya, dan terdiam beberapa saat. Lelaki itu meraih kantung tidur itu, lantas menyerahkan satu cup sup tadi untuk Wero. Dengan semangat Wero memulai sarapannya dan tak memperdulikan apapun. Kuah sup itu menghangatkan tubuhnya yang sudah menggigil.

“Sepertinya ada hal penting. Mungkin tentang anak kita.”

Wero langsung terbatuk-batuk sambil memegangi tenggorokannya yang begitu perih. Justin ikut panik dan segera mengelus-elus punggungnya.
“Apa katamu?” Wero menatap Justin begitu sengit. Justin menggeleng heran.
“Kau pikir untuk apa kita dijodohkan, kalau tidak untuk memberikannya cucu?”
Gadis itu mengetahui siasat Justin lantas melemparkan sebuah jitakan keras dikepala Justin. Seketika pikirannya teringat saat Justin mencium kilat pipinya disekolah, sehabis lelaki itu melakukan hal yang sama padanya. Begitu Wero langsung termenung kesal, dan meletakkan cupya yang telah kosong.
“Entahlah. Wanita itu memaksaku datang. Dia berkata ini amanat Dad. Kau tahu aku tidak bisa menolaknya. Kau mau ikut ya Wero sayang ..” Bujuk Justin dengan sedikit memasang wajah puppy-facenya yang sangat cute itu. Wero mendorong tubuhnya.
“Aku yakin itu hanya akal-akalanmu saja. Tidak. Aku tidak mau kalau membahas soal ‘cucu’ pasti kan  kita harus-”
Dengan tergesa Justin mendekap Wero. Begitu gadis itu memberontak minta dilepaskan, Justin langsung mengecupi puncak keningnya. Tangannya mendekap erat dan semakin terasa airmata Justin akan terjatuhkan. Gadis itu dibungkamnya, bahkan seketika membuat mereka mendengar debaran jantung setiap mereka. Wero semakin kosong. Tiba-tiba di pikirannya tidak ada apapun yang berkecamuk lagi sementara Justin hanya terpejam, merasakan tubuh Wero yang menggigil. Justin mengusap tengkuk Wero lembut, membuat mereka berhadap-hadapan sekarang.

“Cobalah mencintaiku, seperti aku mencintaimu Wero.”

Wero terhenyak, serasa barusan dia terhempas dari jurang. Melesat kencang seperti degup jantungnya yang mulai tak beraturan.
“Apa-apa katamu?”
Justin menganggukkan kepalanya, “Aku rasa kau mulai merebut hatiku, hanya kau saja.”
“Dan aku tidak suka kalau kau mengutuki perjodohan ini, atau seperti yang pernah aku katakan aku benci saat Zayn bersamamu. Jangan membuatku kasar padamu Wero.”
Wero melepas pelukannya. Ditatapnya mata madu Justin itu, mencoba menelisik ada kebohongan disana. Justin hanya menatapnya nanar. Berharap gadis itu menerima perkataannya. Justin bangkit mengambil cup mereka yang kosong, sambil tersenyum kecut lantas merangkak keluar tenda.
“Lupakan saja. Beristirahatlah lagi agar kita pulang hari ini juga.”






*****
(STILL) Author Point Of View



               Gadis itu melihat sekeliling, selesai berbenah dia meletakkan ransel disamping pintu tenda dan mulai meregangkan tubuhnya diantara sinar matahari yang menyeruak menganggu pikirannya didalam. Dia berdiri diluarannya sambil memperhatikan sekeliling. Semuanya sedang membereskan tenda mereka, termasuk dilihatnya Justin tengah sibuk melemparkan kayu-kayu api unggun ke dalam jeep. Gadis itu menatap ke dalam, ponsel suaminya tertinggal tadi. Dia menatap Justin lagi, lelaki itu mulai menaiki jeep itu. Wero mulai berjalan mondar-mandir didepan tenda. Dia mencari keberadaan Justin, sementara lelaki itu telah menatapnya tajam dari kejauhan.
“Ponselmu. Akan kuambilkan. Tunggu sebentar.”
“Jangan lama-lama!” Teriak Justin dari samping jeep-nya. Wero mengangguk semangat.
Wero mengerti kalau Justin mengkhawatirkannya. Gadis itu segera masuk berlarian ke dalam tenda. Dengan terburu-buru dia merangkak mengambil ponsel itu.
“Ah!”
                Tubuhnya berbenturan dengan seseorang -yang tidak diketahuinya telah memasuki tenda yang sama dengannya- Sejurus tubuh Wero terhempas, namun seseorang menangkapnya. Perlahan Wero membuka matanya yang terpejam.
“Za-Zayn?” Ujar Wero terbata-bata menatap mata sapphire lelaki yang menopang tubuhnya itu. Zayn segera membangkitkan gadis itu dan melipat bibirnya dengan manis. Wero membenarkan piyamanya, dan pikirannya langsung melesat pada ponsel Justin. Dia bergegas merangkak keluaran tenda. Gadis itu menatap jeep yang membawa Justin telah menghilang. Sementara setiap orang berbenah, dan diluar tenda ada dua buah ransel cukup besar. Dia menatap Zayn yang telah rapi dengan pakaian dan perlengkapan hiking-nya itu.
“Kau mencari seseorang?” Kata Zayn sembari memperhatikan gadis itu menggeleng.
“Lalu? Untuk apa diluaran?” Wero terkekeh sambil memainkan ponsel Justin ditangannya.
“Tidak, aku hanya ingin mengembalikan ponsel ini.”
Zayn ikut menatap ponsel itu, dan menebak siapa yang datang.
“Itu milik siapa?”
“Just-” Wero berhenti sejenak, dan menatap Zayn yang berkelumit dihadapannya itu.
“Just for makes you interested. Its mine Zayn.” Ujar gadis itu enteng memasukkan ponsel disakunya.
Zayn hanya mengangguk, dan Wero masih berusaha menutupi kebohongannya. Zayn meraih tangan Wero itu dan mencium punggung tangan gadisnya sejenak. Wero kaget dan segera menarik tangannya. Dia menatap Zayn kesal, namun Zayn begitu sarkastik menatap Wero.
“Akkh. Lepaskan aku.” Zayn berusaha memeluk Wero. Gadis itu memberontak. Tentu saja, Zayn telah begitu liar dan semena-mena padanya. Wero mencemaskan kalau-kalau Justin masih ada diluaran. Sementara kaitan tenda tidak dikaitkan. Mereka bisa dibunuh.
“Tidak akan.” “Zayn lepaskan, atau-”
“Bagaimana dengan yang semalam?”



DEG!

                Wajah Wero serasa memucat. Dan demam yang dia rasakan seolah membakar tubuhnya lagi. Zayn masih memeluknya erat. Bahkan Wero tak mampu lagi memberontak. Namun hatinya begitu ingin dilepaskan. Dipikirannya hanya Justin saja. Tidak ada yang lain. Pikirannya hanya kosong. Dia menangis dipundak Zayn tanpa membalas pelukan Zayn ditutupnya wajah itu pada pundak lelaki yang tidak mau melepasnya.
“Just-” Matanya membulat dan nafasnya seolah berhenti, bukan karena eratnya pelukan Zayn. Namun sesosok lelaki yang dikhawatirkannya justru tengah menatapnya penuh rasa cemburu sambil menahan kaitan tenda yang tadinya tertiupi angin. Justin tengah berjongkok sambil menyaksikan Wero yang mulai menangis diantara lelaki yang tidak mengetahuinya.
“Jangan pergi! Aku-aku bisa jelaskan.”
Justin hanya tersenyum tanpa arti lantas bangkit. Wero hanya bisa terdiam, semakin melemas saat lelaki itu justru menutup kaitan tendanya. Membiarkan Zayn menikmati pelukannya. Sementara lelaki keturunan timur tengah itu seperti tidak mendengarkan apapun. Hanya tertuju pada deru nafas Wero yang tersengal. Wero semakin terisak, dan Zayn mulai menaikkan dagunya.
“Apa kau begitu merindukanku Wero?” Didekatkannya tubuh gadis itu dalam dekapnya lagi.
“Lepas! Cukup! Cukup! Pergi darisini Zayn.”
“Tapi-”
              Wero menarik ranselnya, dan bergegas lari keluar tenda. Yang berkutat hanya Justin saja. Bisa dirasakannya kalau Justin masih berada disekitarannya sementara dia berlari mengejar lelaki itu. Dia sendirian. Menerobos banyak orang yang berlalu lalang sibuk menuju jeep mereka masing-masing. Wero masih berlarian.





To be continued.

0 comments: