Wednesday 10 September 2014

0

I HEAR YOUR HEARTBEATS 10

I HEAR YOUR HEARTBEATS 10
*****
Weronika Point Of View


“Justin tunggu!”
“Justin ku mohon. Kau!-kita salah paham, tak seperti yang-”


Perlahan menghilang, dan keringat membasahi tubuhku. Airmataku juga larut bersamanya. Namun tenggorokanku begitu kering, meneriaki orang yang mengira aku pengkhianat. Aku sudah hampir kehilangan nafasku untuk Justin. Namun tak juga dia berhenti meski benar-benar dia sedang menghindariku didepannya. Aku tak habis pikir. Apa yang akan terjadi. Aku takut Justin akan membunuhku. Zayn. Lelaki itu bejat. Aku yang bodoh. Memang aku yang bersalah atas semuanya. Aku yang memulai, aku yang menyalakan api untuk arang yang sekarang sudah membara.
           “Wero kau mau kemana?” Tiba-tiba seseorang menyentuh pundakku. Aku menampisnya. Dan sebuah jeep tanpa supir sedang berpesta dengan kebodohan bersama semua musuh suamiku.
“Kau lihat? Dia psycho! Kau tau aku yang bodoh!”
“Dia? Kau ini bicara apa Wero?”
Aku hanya mengusap keningku lelah. Sudah cukup lemas untuk seperti saat lelaki ini memelukku tadi. Zayn menarik lenganku, “Jangan lagi memaksaku!”
Lelaki itu tetap pada langkahnya. Aku menyerah. Aku tidak akan lagi, aku sudah kehilangan Justin dan tumpanganku untuk pulang. Dan jeep anak-anak One Direction termasuk Zayn yang tertinggal. Di dalam terlihat Selena sedang duduk disamping Niall. Sementara yang lainnya asyik bergurauan tanpa memandang keberadaanku. Sangat kontras dengan Zayn yang terus memperlakukanku dengan baik tidak seperti aku dan mereka yang tak memperdulikannya.
“Terimakasih.” Kataku sederhana. Zayn masih memegang setir sambil menarik sudut bibirnya.




*****


Entahlah aku rasa aku mengkhawatirkan Justin. Dia menyebalkan. Tapi sekarang aku sangat merindukannya. Hari ini adalah lusa yang dikatakannya kemarin, namun selepas dari perkemahan dia tak kunjung pulang. Tidak ada yang melarangku untuk mencarinya. Hanya saja aku ingin dia yang pulang, aku ingin tahu sebagaimana dia merindukanku. Apa benar perkataannya saat memelukku? Atau itu hanya omong kosong untuk perjodohan yang menyakitkan ini? Aku terus menatap jam dinding. Sudah sore. Pikiranku selalu tertuju pada taman kota. Justin biasa menghabiskan waktunya dengan balapan jika sedang kesal. Jika aku tidak menemukannya nanti, aku akan terus menunggunya disana. Aku yakin Justin akan datang. Aku hanya bisa kemanapun bersamanya, aku belum tahu rumah Mom, aku belum begitu hafal dengan jalan dikota ini.


“Akhh!”


               Tubuhku tersungkur ke trotoar. Sial. Aku terjatuh. Baru aku sadar aku sudah berjalan hingga taman kota. Aku menatap tajam motor yang barusan menabrakku, melesat kencang mengenakan helm dan motor ducati bertuliskan SWAG.
“Swag? Astaga, Justin!” dengan gemetaran aku berlari menuju arena yang telah dipenuhi laki-laki itu. Aku sudah tidak peduli lagi. Aku harus menemukan Justin dan segera menjelaskan semuanya, aku harus meminta maaf.
“Permisi,” ucapku menerobos setiap lelaki berbadan kekar juga yang terlihat merokok, atau sedang meneguk bir lantas membuang botolnya sembarangan. Aku menatap takut mereka, namun kulirik keberadaan Justin. Aku masih kurang tinggi dari kerumunan ini.
“Hei nona, mau kemana?” seseorang menarik kasar lenganku. Aku menampisnya.
“Bukan urusanmu.”
“Jangan menganggu race! Ini ajang bergengsi untuk merebut gelar champion Justin Bieber!”
Sedikit rasanya aku terkejut. Seseorang menatapku dibalik helmnya. Dengan motor ducati yang sama, aku yakin dia Justin. Jantungku semakin berdebaran, merasakan euphoria penonton yang semakin ramai dan berkerumun. Baru aku tahu Justin menekuni hobinya sejauh ini.


               Gadis itu masih terisak sementara hatinya masih berpegang kalau lusa yang dikatakan kemarin adalah hari ini. Dia berharap yang dirindunya datang, kembali hangat seperti kemarin saat dia berkata lusa adalah hari ini. Dia masih menunggu ditempat yang sama, hingga suara gemuruh itu melesat dari pucuk matanya. Sedikit dia merasa dilegakan. Meski lelaki itu mengetahui keberadaannya. Tetap dia menghindar. Dia adalah aku sekarang.

“Hei nona, minggirlah. Race akan segera dimulai! Pergilah!”
“Kalau mau bunuh diri sana! Melompatlah dari jembatan itu.”

Aku tidak salah, aku menatap lelaki dibalik helm itu yang sedang menopang motornya ditengah pebalap lain. Aku tersenyum tipis lantas melompat dari semak pembatas jalan. Justin ada didepanku sekarang dan mata madunya begitu tajam menyorotku, sambil memanaskan gasnya seolah mengusirku. Aku tersadar aku dikerumunan laki-laki, saat aku menoleh mereka berjalan mulai mendekat bahkan mengerumuniku dihadapan Justin.
“Pergilah kau mengganggu race ini!”
“Kau cantik nona. Kebetulan sekali aku sedang mencari gadis sepertimu.”
“Sebaiknya kau ikut denganku nona, aku akan membayarmu lebih.”
Aku sengaja diam menghadapi mereka semua. Aku hanya ingin Justin memperhatikanku dan tak lagi menelantarku, membiarkanku sendirian. Dengan jijik kutampis tangan mereka satu persatu sementara tak kulihat lagi Justin didepan, hanya motornya saja yang berdiri.
“Astaga!”
Aku tercekat saat ada yang menarik tanganku mengikutinya. JUSTIN! Rasanya ingin aku berteriak kesenangan. Justin membawaku menaiki motornya, dengan acuh-tak-acuh dia memberiku sebuah helm. “Sekalipun aku mati aku tidak takut, asalkan kau menganggapku ada Just.”
                Segera aku memeluk Justin dari belakang, dan setelah bendera dikibaskan seorang gadis didepan garis start, ketiga motor di race ini melesat begitu kencang. Aku terus memperhatikan jalan yang terasa adalah angin ini. Sesekali aku menyembunyikan rasa takutku dipunggung Justin.


“Justin kau salah rute!”


Kulihat dua orang lain memutar ke jalan yang berbeda dengan yang Justin tuju sekarang. Aku memeluk Justin lagi, karena motor ini semakin cepat melaju. Jantungku berdetak kencang sekarang seirama dengan motor ini yang melesat, bukan karena takut namun aku mencemaskan lelaki ini. Dunia race adalah hidupnya sejak dulu. Mengapa dia berubah haluan? Atau karena aku? Seketika motor kami berhenti disebuah rumah klasik setelah berjalan pelan memasuki gerbang megah. Justin membuka helmnya, akupun segera turun dan Justin mengikutiku.
“Bukankah kau mengikuti race untuk mempertahankan gelarmu, tapi-tapi mengapa kau melawan jalur dan berhenti disini?” Justin mengangkat sebelah alisnya.
“Kau jauh lebih berharga dari gelar itu.”



"..."

“Kau jauh lebih berharga dari gelar itu.”

                 Aku tidak salah dengar! Aku ingin meledak-ledak. Rasanya ingin memeluk Justin seerat mungkin dan tidak akan melepaskannya. Lelaki ini selalu membuatku meleleh. Dia melepas sarung tangan dan jaketnya lantas melenggang memasuki rumah ini.  Menyebalkan. Baru saja membuatku melayang sekarang dia meninggalkanku begitu saja. Dasar. Dengan kesal aku menghentak-hentakkan kakiku di lantai garasi ini, Justin itu sangat menyebalkan. Dia bisa berubah sifat kapan saja, semaunya! Akkh. Menyebalkan. Menyebalkan!





*****
Author Point Of View


Justin menoleh ke belakang, tangannya ditarik kembali saat akan membuka pintu rumah ini. Dia mencari seseorang yang dirasanya tertinggal. Segera dia berjalan kembali ke garasi. Sementara itu Wero masih menghentakkan kakinya berulangkali dengan sangat kesal, sambil mengerucutkan bibirnya. Justin yang melihat itu hanya diam saja. Wajahnya terlihat datar namun hatinya begitu tertawa melihat kelakukan lucu istrinya itu.
“Eh ada kau disini?” Ucap Wero pelan sambil menatap malu kepada Justin. Lelaki itu hanya bersender pada tangga sambil mengangkat kedua alisnya. Wero segera berjalan ke arahnya.
“Kau tadi lihat apa?” Tanya gadis itu polos. Justin hanya mendiamkannya. Dia melirik arlojinya yang melesat hingga pukul 9 malam. Terlalu malam untuk gadis yang bersamanya sekarang. Dengan kasar Justin menarik tangan Wero dan memaksanya berjalan cepat seirama dengannya.
“Justin. Aku tahu aku yang salah, aku memang bodoh. Yang sebenarnya bukan aku yang mau. Tiba-tiba saja Zayn memelukku dan-”


“Wero? Justin? Apa yang-”

                 Seorang lelaki muncul dari pintu, hingga gadis yang disebut namanya tadi terperangah. Justin hanya menatapnya sangat tajam, seolah mengusirnya. Dengan erat Justin menggenggam tangan Wero yang sudah bergerak-gerak ingin dilepaskan. Setelah itu tatapan sarkastik dialihkan pada Wero.
“Kenapa kau tidak bilang ini rumah ibumu, hah?” Bisik Wero tepat ditelinga Justin. “Dia bukan ibuku.”
“Zayn, suruh kakakmu dan istrinya segera masuk!” teriak seorang wanita dari dalam rumah.
Mata sapphire lelaki itu hanya menatap heran pada Justin dan Wero secara bergantian. Sementara itu Wero membuang mukanya lantas merapatkan tubuhnya pada Justin.
“Jadi, selama ini-selama ini gadis yang dijodohkan denganmu adalah Wero?” Tanya Zayn seolah tidak percaya. Justin sudah mengepalkan tangannya sedari tadi, dan Wero menghalanginya untuk menghajar adiknya itu. Wero yang menjawab dengan anggukan singkatnya.


“Apa? Jadi-jadi selama ini-”
“Minggir bodoh.”



                  Dengan kasar Justin meneroboskan dirinya masuk bersama Wero. Gadis itu hanya menatap Zayn khawatir. Sementara Zayn menatap mereka dengan wajah yang shocked dan begitu kecewa. Tangan Wero dilepaskan begitu mereka sampai didepan meja yang tersedia hot coffie diatasnya. Mata mereka sama-sama menuju wanita yang tengah berjalan dari atas tangga.
“Ada apa disana? Kenapa terdengar begitu ramai?” tanyanya lembut. Wero serius memperhatikan wanita ini. Memang benar dia ibu Zayn. Mata dan hidungnya begitu mirip dengannya. Ibu itu hanya tertegun saat melihat Justin tidak memperdulikannya, sementara Wero begitu memperhatikannya bahkan seperti orang yang terkagum-kagum.
“Baiklah Mom kira tidak ada yang terjadi. Silahkan duduk, kita mulai pembicaraannya.”
Keduanya lantas duduk bersebelahan dan mulai menatap mata sapphire wanita itu meski dengan acuh-tak-acuh. Mom hanya menghela nafas sembari membuka sedikit bibirnya.
“Justin. Wero. Satu-satunya alasan perjodohan kalian hanya untuk memenuhi syarat agar Justin yang memang putra biologis perusahaan ayahnya bisa menjadi penerus sebagai Direktur Utama. Namun Mom barubisa menyampaikannya sekarang. Sebenarnya syarat utamanya bukan perjodohan kalian.”
“Lalu?” Telisik Justin dengan penuh penekanan. Mom menghirup nafasnya dalam-dalam.
“Syarat utamanya kalian harus memiliki momongan setahun setelah pernikahan. Sebagai jaminan kalau BieberCorp memiliki penerus generasi yang selanjutnya. Yah kalian harus segera memiliki bayi.”
Seketika itu Wero dan Justin saling bertatapan.
“BAYI?” Ulang Wero dengan penuh penekanan, namun dilihatnya lagi Justin tak memperdulikan apa yang terjadi. Sementara Wero yang terkuras emosinya sudah berlinangan.
“Tapi Mom-aku masih terlalu muda untuk memiliki bayi, aku baru 16 tahun Mom. Aku belum merayakan sweet seventeenku. Aku belum merasakan masa mudaku untuk perjodohan ini dan-dan sekarang Dad juga meminta bayi dariku? Mom aku harus menyelesaikan sekolahku tahun ini. Bagaimana bisa kalau aku hamil? Bagaimana kalau aku dikeluarkan dari sekolah?” Wero begitu tercekat. “Justin bagaimana ini?”
Lelaki itu menatap Wero yang kini menutup wajah dengan kedua tangannya. Mom sendiri berjalan mendekat lantas mengelus pundak Wero dengan lembut, dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menenangkan putrinya itu.
“Mom yang akan mengurusnya, selama Mom menjadi headmaster di sekolah itu Mom akan merahasiakannya. Bahkan dari Zayn.”
“Mungkin dia lebih bisa menjagamu karena setahunya kau masih polos sayang.”
Wero masih sesegukan. Ditatapnya Mom yang tersenyum teduh berusaha menghiburnya.
“Apa maksudmu? Kau pikir anakmu itu lebih baik daripadaku?” Justin mulai angkat bicara.
“Justin. Hormati ibumu!” Bentak Wero disela tangisannya. Justin lantas berdiri sambil menatap gadis itu lebih tajam dari sebelumnya.
“Sejak kapan kau mengatur hidupku? Aku saja tidak pernah melarangmu melakukan apapun. Terserah kau mau bermesraan atau berpelukan dengan siapa saja di dalam tenda, di dalam mobil-atau justru kau ingin memberikan bayi untuk wanita ini dengan lelaki lain? Seperti Zayn, yang kau cintai itu? Hah? Kau mau tidur dengannya hah?? Silahkan!”
Mom mulai berdiri dan menatap Justin sengit, “Justin kau boleh merendahkan Mom, namun Wero ini istrimu dan Zayn adalah adikmu! Ingat itu! Jangan semena-mena nak, sadarlah.”
“Apa? Kau membela gadis murahan ini ha?”



“HENTIKAN!”



Wero berdiri lantas menghapus airmatanya. “Maafkan Justin Mom. Maafkan Wero juga.”
“Sudah. Ayo kita pulang bitch!”





*****
Weronika Point Of View


Justin membanting tubuhku kasar lantas dia melepaskan jaketnya. Justin is shirtless now. Entah apa yang dipikirannya semuanya masih begitu berkecamuk dipikiranku. Dia menatapku penuh hina bahkan memaksaku untuk tetap menatapnya dengan tangannya yang menjambak rambutku, rasa emosinya begitu meluap. Aku hanya bisa menangis sekarang. Dia mendekat dan dengan kasar memaksaku untuk menerima lumatan bibirnya yang sangat kasar. Dia begitu membungkamku.
“Justin maafkan aku.” Ucapku diselanya. Dia tetap tidak memperdulikanku dan semakin menghimpitku, aku mulai ketakutan. Aku tidak berharap diperlakukan sehina ini.
“Akkh!”

Justin melepasku. Dan darah keluar dari bibirku. Justin sangat kasar, dia semena-mena seperti ini. Kurasakan Justin menjambak rambutku lebih kuat, hingga kurasakan sakit yang begitu menusuk. Justin. Orang yang berkata kalau dia mencintaiku kemarin, memperlakukanku bagai bitch seperti ini. Sangat kontras. Aku begitu membenci sifatnya yang psycho.
“Kau pikir aku suka saat ada orang yang menyebut nama berandalan itu, dan orang yang aku cintai justru membelanya? Kau tahu wanita jalang itu merendahkanku tadi! Semudah itu kau meminta maaf, bitch?
Seketika airmataku semakin menetes lebih lagi, aku menatap mata Justin yang berkilatan marah. Justin begitu membenci keluarga tirinya. Seharusnya aku mengerti dan memilih untuk diam. Aku terlalu shocked  menerima perkataan Mom tadi.
“Lalu apa yang harus kulakukan agar kau memaafkanku?”





To be continued.

0 comments: