Thursday, 8 May 2014

0

YOU BELONG WITH ME: ONESHOOT

Hi, there aku keinget banget ini tulisanku semasa jaman kelas 9 semester awal. Iseng banget kan, udah tau mau UN tapi malah bikin oneshoot semacam ini. Sama seperti oneshoot sebelumnya, ini pernah aku post ke facebook di akun pribadi, dan what-a-fvxckin shit ternyata readernya appreciate banget sm tulisanku ini({})
So you have to read it before you give me comment, if you wanna copy-paste its your right to put my name in your duplicate post. Happy reading!

YOU BELONG WITH ME
Title: You Belong With Me (2013)
Author: Stella Duce Jingga
Maincast: Justin Drew Bieber, Allysa Magdallene Hayon, Arianna Grande, Chaz Somers
Genre: Romance, Drama




YOU BELONG WITH ME
******


“ Aku kehilangan matahariku,
Namun dia akan tetap setia menyinari duniaku dengan cintanya
Jika aku akan kembali
Di akhir cerita aku akan menggenggamnya lagi .. “

Kututup buku harianku ini. Sekolahku sepi sekali jika hari sudah sore. Ku tatap remang-remang dedaunan maple yang menutupi buku harian yang selalu kugenggam bahkan tangisanku tak terlukis dengan sempurna ketika goresan tinta ini mengalir seiring dengan rasa keterpaksaan yang harus kujalani. Suara gesekan daun kering begitu kentara ketika mataku menangkap seorang pria yang masih sangat kekanak-kanakan berjalan mendekatiku. Dengan hoodie abu-abunya, rambut emasnya terurai lepas ke dahinya. Aku ingin tersenyum, namun aku juga ingin menangis. Dengannya baru satu bulan genap kami menjadi kekasih. Hari ini hari jadi kami yang baru seperduabelas sejak satu bulan lalu dia menyatakannya padaku. Semua ini terlalu cepat dimulai untuk diakhiri. Justin membawa dua kembang gula berwarna putih. Mukanya terlihat bingung ketika melihat aku membawa banyak koper dan mantel di taman sekolah. Dedaunan maple yang kering mulai berjatuhan bersama dengan air mataku yang tiba-tiba menetes di sore yang marun ini. Aku tidak bisa menahannya.

 “Justin, terimakasih menemaniku belanja kemarin.

Aku bergumam sambil memeluknya erat. Terasa anggukannya dikepalaku. Selera Justin memang bagus, namun ini bukan saat yang bagus. Aku hanya memintanya menemaniku berbelanja untuk memilihkan baju untuk ayahku, sebagai oleh-oleh, kepulanganku padanya. “Semoga ayahmu menyukainya sayang. Tapi ..” Yeah. Drama akan dimulai. Dia mungkin merasa aneh karena perlakuanku yang tak seperti biasanya. Airmataku terlalu berat untuk ditahan kelopak yang mulai sayu karena sore ini.

 “Bagaimana jika ibumu melihat ini?”

Justin mencoba melepas pelukanku, pikirannya belum cukup dewasa untuk hanya berpelukan di sebuah taman yang sepi, hanya kami berdua. Aku menangis terisak tanpa suara di dadanya.
  “Apa kau merindukanku Shawty ?” Justin berkata lembut sambil melepaskan pelukanku, aku menatapnya dengan senyum keterpaksaan. Sangat sulit sekali menarik sudut bibirku. Aku menahan semuanya dalam batin, menatap jauh mata hazelnya yang menembus hatiku dedalaman.
 
 “Tentu saja. Aku selalu merindukanmu.”

Justin mengusap airmataku lalu dia tertawa kecil. Mungkin dia kira aku bercanda. Suara tawa Justin semakin menyayat hatiku saja. Aku jadi tidak tega kalau aku akan pergi meninggalkannya. Dengan berat aku mencoba menegakkan kakiku yang terasa melemas, ketika bersiap tak lagi melihat senyumnya bahkan untuk waktu yang tidak bisa ditentukan.
Aku hirup nafasku sekali lagi dan mulai fokus padanya.
  
“Aku harus pergi Just.”
  
“Apa?”

Wajah Justin yang tenang berubah menjadi panik dan menatap mataku mencari guratan kebohongan yang dia khawatirkan. Kutarik mataku ke sudut kiriku, aku tak tahu bagaimana harus menjelaskannya lebih jauh kepada Justin. Aku tidak tega mendengar bahkan melihat tangisannya sekarang. Sudah cukup aku menangisi keputusan orangtuaku ini semalaman, dan hasilnya aku harus tetap pergi.
  
“Aku serius Just. Aku harus pergi sekarang.”
  
“Kau bilang kita akan selalu bersama, hingga tua nanti. Kenapa kau pergi?”

“Aku mencintaimu.”

Kulepaskan tanganku dan kuraih keningnya. Dengan sekuat tenaga aku mencoba mengecup kening Justin meski harus berjinjit lebih tinggi. Perlahan genggamannya aku lepaskan lembut, jemarinya tidak menahanku. Mempersilahkanku untuk meraih koperku. Justin terpaku dan aku meninggalkannya sendirian di taman itu.



****


“Aduh!” Gadis itu menoleh padaku, menatapku kesal. “Hey dimana bukunya?” memang sengaja aku melemparinya dengan sampah, sedari tadi dia tidak menggubrisku, justru asyik dengan beberapa anak laki-laki di depan-samping-dan belakangnya. Mereka banyak sekali, dan aku rasa ada sepasang mata yang sedang memperhatikan kami. Ah masa bodoh. “Dimana?” tanyaku lagi, dia hanya menatapku sebentar lantas matanya menunjuk ke sebelah duduknya, menunjukkan bukunya padaku.

“Tenanglah bukumu aman padaku.”

Aku buru-buru duduk di bangku yang agak berjauhan, sebelum penuh. Tidak tahan melihat seorang siswi yang tebar pesona, jual murah dan genit-genitan dengan banyak lelaki. Huh menjijikkan. Mengapa dia yang menjadi sahabatku? Dunia ini gila. Nginggg. Suara microphone yang digeser berdenging keras membuat suasana ramai terhening sejenak. Aku yakin ..
“Dan untuk kategori wanita, dengan nilai terbaik diraih oleh Allysa Magdallene Hayon. Siswi pendatang dengan bakat luar biasa ini berhasil menempati peringkat pertama. Silahkan berdiri. Selamat!”
Sudah ku duga! Malas aku mendengarnya-_- dengan perasaan jengah aku mengikuti permintaan host itu lantas bangkit, basa-basiku untuk memberi salam hormat. Riuh gemuruh penonton di stadium ini menyeruak seusai host tersebut membacakan pengumuman seleksi tim basket puteri. Astaga, gadis di seberangku ini mulai berdiri, berteriak, bertepuk tangan dan melompat-lompat kegirangan. “Sebenarnya yang masuk seleksi aku atau dia, huh?”
Shay. Gadis ini justru semakin menggebu-gebu, seperti orang kesetanan. Sial. Telingaku hampir pecah mendengarkan sebuah motivasi yang cenderung membuatku sakit hati dari Shay, orang pertama yang menjadi sahabatku di kota kelimaku ini. Cara bicaranya itu yang keras, berteriak dan begitu bersemangat hingga membuat telingaku ingin meledak-ledak. Penat aku menjadi kutu loncat. Kehidupanku berjalan dengan penuh keterpaksaan karena keluargaku juga. Aku harus menyembunyikan segala masalahku selama bergantian sekolah di Indonesia, Negara tempat ayahku tinggal. Aku bahagia bisa bersama ayahku tahun lalu, namun lelah juga kembali ke kota ini.
Aku dimasa depan sekarang, masih menyesali masa laluku. Masih ingin menghabiskan soreku bersamanya di taman itu. Bukan untuk mengucapkan salam perpisahan, namun untuk menikmati kebersamaan kami. Tempat ini menyisakan kenangan tiga tahun lalu. Aku berharap tak menemukannya lagi. Tubuhku terhenyak dan lamunanku seketika buyar, ku hempaskan pantatku ke kursiku tadi lantas menyaksikan nama-nama lain seusaiku. Ah Justin andai dia melihatku sekarang. Entah apa yang ingin ku ungkapkan padanya.
Ah. Tidak-tidak aku tidak boleh memikirkannya lagi.
Aku merasakan desiran aneh ketika memikirkan Justin.

 “Allysa, kau mendengar itu?”

Ucap seseorang seraya menepuk bahuku bangga. Aku menoleh, bangku di seberang kosong. Dia lagi dia lagi, bisa-bisa aku serangan jantung jika dia berteriak liar lagi. Aku hanya mengangguk, tubuhku sudah dibuat lemas mendengar pengumuman tadi. Bukan hanya karena itu. Aku juga capek seharian harus menjalani seleksi kapten basket tahun ini, dan lelah mendengar teriakannya yang dibuat-buat itu. Aku kembali mengusap keningku, kembali Justin melintas di pikiranku. Aku sama sekali tak berharap bertemu lelaki itu disini. Aku pikir hanya sakit hati dan rasa yang menggantung karena memikirkannya. Aku menghirup sedikit nafas yang sempat tersengal.

“Ini minumanmu.”

Kurebut sekaleng sprite dari tangannya. Jujur aku haus sekali. Disaat yang tepat, tenggorokanku hampir kering dan dengan susah payah aku meremukkan kaleng sprite itu ditanganku. Sepertinya kau sangat haus. Aku hanya memanyunkan bibirku, dia ini sudah ceroboh, sekaligus suka mencari perhatianku saja. Gadis ini lama-lama menyebalkan kalau terus bersamaku. “Jangan belagak dungu begitu, Shay.”
  “Sha
y? Shay? Siapa itu ?”


ASTAGA!

“Kenapa tadi tidak ada?” ucapku bodoh menoleh menatap bangku milik Shay yang tadi kosong dan kini ditempati kembali oleh gadis itu.
“Apanya yang tidak ada?” Justin menyelidik. Justin. Dia disampingku sekarang.
Rasanya seperti aku hampir menelan kaleng itu. Aku bodoh! Bagaimana bisa dia berada disini? Dan bagaimana bisa aku mengira dia ini Shay? Aku malu sekali. Dengan wajah yang sengaja aku tundukkan, kutatap dia dalam diam yang masih mengusap pundakku. This is really really awkward ya know? Justin. Bayangkan!
 “Sudah jangan canggung begitu.” Lelaki itu menarik daguku untuk menatapnya. Tuhan, dia tidak banyak berubah, senyumnya masih seperti dulu. Mata hazelnya itu berubah kehijauan terkena sinar matahari. Kenapa dia bisa menemukanku di tribun ini?
Ngomong-ngomong, Shay? Maksudmu gadis berambut coklat itu ya ?”
Aku mengangguk sekilas lalu ku buang mukaku dan meneguk lagi sprite itu. Berharap aku tidak salah tingkah. Aku menghela nafas panjang. Kulihat dia betah saja disebelahku, padahal aku bau keringat. Kumohon pergilah Just, nanti aku bisa mati berdiri. Eh? Itu kan-” Aku tersentak melihat Justin membawa sesuatu ditangannya. Itu kan, seperti-seperti halaman di buku harianku? Tapi kenapa dia membawanya. Justin tersenyum ke arahku, sementara aku masih terdiam dengan bodohnya tanpa menggubris kertas yang terus dimainkannya.

 “Tunggu sampai Chaz dan Ryan mengetahui ini ya.”


*****

Dasar bodoh! Dasar bodoh bodoh bodoh! Arghh! Aku bodoh sekali. Mengutuki kebodohanku tidak ada artinya sekarang, aku terus berjalan tak memperdulikan orang-orang menilaiku aneh –gadis yang mengumpat dan mengepalkan tangannya seolah ingin membunuh Shay– yeah benar rasanya aku ingin membunuh Shay. Gadis itu lebih bodoh daripadaku. Lihat, itu dia. “Oh tidak.” Bukan Shay, melainkan Chaz dan Ryan yang tadi bersama Shay. Mereka itu kan satu geng dengan Justin? Aku begitu mengetahuinya ketika di kantin tadi, seluruh anak melihatku dengan desisan yang ku dengar. Kertas yang ada ditangan Justin, memang benar isi buku harianku.
“Justin itukan artis sekolah. Iya dia terkenal sebagai Bad boy, berandalan, suka membuat onar dan perusak dengan tempramennyanamun aku kagum dia tidak suka berganti-ganti pacar. Malah setahuku dia tidak pernah menggaet seorang gadispun. Aneh.”
Kalimat itu yang sering dilontarkan Shay tatkala aku diam, dia tahu kalau aku sedang memikirkan Justin. Dan sekarang apa yang dilakukan gadis itu. Tak seharusnya ada ditangannya sekarang. Aku mencoba menyembunyikan wajahku yang berantakan. Bagaimana kalau Justin menemukanku? Aku segera bersembunyi dibalik pintu kelas gadis yang sedang aku cari. Langkahku terhenti begitu saja saat Justin beralih menatapku yang berusaha menjauh. Aku takut menatapnya –pria yang barusan melewatiku– saat mendengar bahwa dia baru saja membaca surat bodohku yang mungkin dengan sengaja jatuh ke tangannya.

“Ini dia kekasih Justin !“

Begitu kagetnya aku hingga tissue yang kugunakan menutup wajahku jatuh. Terlihatlah mataku yang sembab dan hidungku yang masih kembang-kempis.  
“Maksudku hanya mantannya Justin.” Chaz melanjutkan bicaranya mendapati aku yang berantakan. “Itu Justin kan!” Ujar Ryan sambil menunjuk seorang pria yang tadi melewatiku. Aku gemetaran melihat Ryan berlari mengejar Justin.
Aku hampir menangis lagi. Mataku mulai berkaca-kaca. Sekarang terlihatlah aku bukanlah seorang kapten basket yang kuat. Aku sangat rapuh sejak kehilangan dia. Aku tidak dapat menyembunyikan perasaan yang sebenarnya hampir hilang sejak kejadian tiga tahun lalu itu.

JUSTIN?

“Kau tak apa?” Sapanya lembut sambil menaikkan daguku. Entahlah tubuhku terasa sangat lemas ketika tangannya dengan kuat menopang setiap tubuhku yang sudah tersungkur.
“Allysa!” Teriak seseorang kudengar jelas seperti suara Shay. Mataku masih berkunang – kunang setelah melihat Justin tadi. Rasanya aku ingin pura-pura pingsan saja daripada malu diperlakukan seperti ini. Justin begitu membuatku merasa istimewa kembali untuknya.
“Minggir-minggir sana!” Kulihat jelas Shay berjongkok disampingku sambil memegangi dahiku. Dia terperanjat kaget melihat Justin-lah yang memangku tubuhku. Tangannya berubah kaku. Setidaknya dia berdiam karena aku yang menyuruhnya menjaga rahasiaku masih mencintai Justin.
“Biar aku saja yang mengurusinya. Maaf telah merepotkan.” Ujarnya sambil merebutku dari Justin dan mendudukkan ku di bangku depan kelasnya. Terlihat jauh gerombolan geng Justin telah menghilang begitu saja dari pandanganku.




*****


Seharusnya surat itu masih menjadi halaman tengah diary-ku. Namun tidak. Justin mengambilnya tanpa sepengetahuanku dan Shay ceroboh tidak menjaganya dengan baik! Aku membenci kecerobohannya itu. Tidak seharusnya isi buku diaryku dipegang Justin setiap hari! Sejak kejadian kemarin itu. Shay tidak mau berterus terang, padahal sudah jelas dialah yang bersalah. Tingkahnya yang belagak tidak berdosa itu yang menyebabkanku berani menuduhnya. Aku hampir muak dengannya.
Aku sangat kecewa padanya. Sekarang hariku penuh dengan penyesalanku yang dengan ceroboh menitipkan diary-ku itu pada Shay. Aku yang bodoh sebenarnya! Ternyata Shay masih seperti Shay yang dulu. Shay, tetanggaku yang menyebalkan, yang tidak bisa dipercaya. Jauh berbeda denganku, meski rumah kami sekarang hanya bersebelahan saja.
“Tidak ada gunanya berteman denganmu lagi.” Gumamku dalam hati sembari mengemasi buku-bukuku untuk pulang. Tidak sudi aku melihatnya, terakhir dia samasekali tidak berusaha meminta maaf padaku. Masa bodoh.




*****
Author Point Of View



Allysa Magdallene Hayon. Kutu Loncat yang terkenal cantik. Dia berkarisma dan berbeda dari anak yang lain. Istimewa dan sempurna di mata seorang Justin Bieber. Mereka sepasang kekasih yang saling bergantung. Sejak tiga tahun lalu, saat mereka kelas satu di junior high school yang sama. Mereka berpisah. Namun tak ada kata berpisah, atau kata putus untuk hubungan itu yang terucap dari keduanya. Yang ada hanya kesetiaan yang masih menjadi pegangan mereka sendiri. Allysa terpaksa mengikuti Ayahnya tahun lalu. Dia bersekolah khusus basket di Los Angeles, sesuai dengan kemauan ayahnya agar Allysa seperti ayahnya yang merupakan senior diantara team yang begitu kenamaan disana. Broken home yang memaksakan Allysa bergantian ikut ibu atau ayahnya dan tahun ini dia kembali bersama Ibunya di Startford. Sebenarnya berulang kali gadis ini menolak, namun sejuta kali ibunya memaksanya untuk tinggal. Dia teringat perpisahannya yang tak jelas dengan Justin, dia khawatir kalau dia menemukannya disini. Kota tempat Justin berada.

Benar saja, sebuah ketidaksengajaan yang merupakan awal hubungan mereka dijelaskan. Betapa tidak mereka kembali bertemu di kota yang sama, mereka berada di high school yang sama, saling merasakan perasaan yang sama. Namun semua berbeda, Allysa tidak menyangka lelaki itu banyak berubah semenjak sore itu.
Bad boy. Banyak cerita buruk yang diketahui Allysa lewat Shay sebelum gadis itu menceritakan perasaannya. Namun, segalanya itu tidak mempersoalkan hal itu, rasa cintanya pada Justin menerobos segalanya.





*****
Allysa Hayon Point Of View


“Sejak awal aku tidak mau pindah kesini lagi Ma.”
“Jangan berkata kau tidak ingin bertemu  Justin sayang.”
“Apa maksud Mama ?”
Apa-apaan ini? Mamaku saja justru menjerumuskanku. Kuputuskan sambungan telepon dari Mama dan kumasukkan I-Phoneku asal kedalam tas. Aku berjalan menelusuri koridor sekolah dengan gontai. Langkahku terseret dan kakiku memberat di setiap tangga yang kunaiki. Mataku menatap gadis yang sedang menyandarkan dirinya pada dinding, dia lagi dia lagi, aku muak. Kupilih jalan memutar menuju kelasku agar tak bertemu dengannya.
“Allysa. Maafkan aku ya.” Shay berhasil menghalangi langkahku. Aku sengaja meninggalkannya tadi. Dia tetangga yang menyebalkan. Aku muak berjalan dengannya ke sekolah. Aku menyesal pernah bercerita tentang hubunganku dengan Justin padanya.

“Allysa. Maafkan aku.”

Kulihat dia mulai menangis dihadapanku. Ah. Tidak tidak. Aku jangan sampai luluh. Ini hanya akal–akalannya saja supaya aku memaafkan kelakuan bodohnya. Aku mendesah pelan sambil berdiri mematung di depannya. Dia tak patut dikasihani.
“Semudah itu kau bicara ?” Kataku berusaha memojokkannya.
“Setelah aku mempermalukanmu kemarin.” Katanya lirih. Dia menunduk tak berani menatapku.
“Bagus kau tahu kecerobohanmu yang bodoh itu. Kau tahu Shay? Menjadi aku bukan hal yang mudah. Tak hanya harus mempercayai seorang munafik sepertimu!” Bentakku keras. Setiap anak yang melewati kami menoleh. Bahkan ada yang berhenti memperhatikan kami berdua. Aku tidak peduli. Aku ingin memarahi Shay sehabis –habisnya.

“Kau tahu ? Mengapa aku mendiamkanmu sejak kemarin. Kau tahu Shay? Kau puas mempermalukanku. Puas membuatku menuruti apa katamu? Ha! Kau pikir aku senang menjadi seorang kapten basket? Tidak Shay, tidak. Sekarang isi diary-ku hilang. Isi diary konyol. Isi diary yang sangat memalukan dan kau biarkan seseorang membawanya setiap hari Shay !”

Aku mengepalkan tanganku dan menahannya agar tidak menampar sahabatku ini.
“Maafkan aku Allysa. Aku rasa aku belum terlalu mengenalmu. Maafkan aku.”
“Maaf ?” Ucapku sambil tersenyum pahit padanya.
“Iya maafkan aku. Aku janji tidak akan ceroboh lagi. Aku mau melakukan apapun untuk menebus kesalahanku Allysa.”
“Kembalikan isi diary itu!”
Gadis ini seketika menatapku seolah tidak percaya. Aku tahu hal ini juga mustahil karena tiada seorangpun berani mendekati Justin, lelaki itu berubah sempurna beralih menyayatku lebih dalam. Hatiku sebenarnya tidak tega berkata begitu pada Shay. Namun kenyataannya dia sudah benar-benar membuatku emosi. Airmatanya itu membuat luluh aku berlari meninggalkannya.




*****
Author Point Of View


“Bodoh ! Aku bodoh !”
Seorang gadis memukuli kepalanya sendiri dan tersungkur lemas di pintu ruang ganti. Kakinya tersilang menutupi wajahnya yang tersembunyi dibalik rambutnya yang berantakan. Bahkan kaos olahraga yang dilepaskannya masih berserakan dilantai dengan acuh-tak-acuh tanpa perhatiannya. Gadis itu kembali mengutuki dirinya sendiri. Tangisannya berhenti saat mendengar langkah kaki mendekatinya. Dia masih terdiam sambil berusaha menenangkan dirinya.

“Aaaaaaaaaaaaaa !”

Ucap Allysa dan Justin bersamaan. Seketika itu Allysa menutup wajahnya dengan diary-putihnya yang selalu dia bawa kemana-mana. Barusaja dia melihat pria yang masih dicintainya bertelanjang dada sambil membuka loker. Sedangkan Justin, buru-buru memakai kaosnya dan mendekati Allysa.
“Apa yang kau lihat?
Mengapa kau ada disini?” Ucap pria berambut emas itu sembari berjongkok didepannya. Pria itu lalu menyingkap buku yang menyembunyikan wajah Allysa dan menatapnya dalam-dalam. Gadis itu ingin menjedotkan kepalanya ke dinding, malu sekali menyadari dia salah masuk kamar ganti pria.
Allysa gemetaran dan keringat dingin mengucur dari pelipisnya seperti habis bertanding basket.
Perasaan ini sama seperti saat mereka jatuh cinta, tiga tahun lalu. Juga di kamar ganti seperti ini, saat pelajaran basket di hari pertama masuk sekolah. Dia mencoba menggeleng, namun rasanya berat. Dia hanya terdiam menatap mata hazel berkilauan itu dengan kaku.
“Lupakan saja. Apa kau mencari ini ?”
Justin menyodorkan sepucuk kertas putih yang masih bersih. Ya, kertas itu adalah halaman diary – nya yang disobek Shay hingga berada di tangan orang yang memang harus menerimanya.
“Tidak usah khawatir. Jika kau menginginkan ini, datanglah ke Taman itu malam nanti ya Shawty.”
Justin mencium kening Allysa lembut dan pergi. Allysa terbelalak kaget setelah terdiam beberapa saat. ‘Shawty’. Ternyata Justin masih mengingat nama sayangnya pada Allysa. Keningnya masih terasa hangat. Rasa dinginnya lantai kamar ganti seolah hilang begitu saja. Sejenak dia merasakan ada sesuatu yang membuatnya tersenyum.



*****
Allysa Hayon Point Of View

Sekarang sudah pukul enam sore. Atau malam? Ah aku tidak peduli. Jika aku datang terlalu cepat, tak apa. Akan kutunggu sampai Justin datang.
“Allysa. Makan malammu sudah siap sayang.” Suara mama menyeruak keras dari bawah.
“Iya Ma. Allysa turun sekarang.”
Aku memeluk mama dari belakang. Rasanya dialah satu
-satunya orang tua terbaik di hidupku. Aku menyesal telah memutuskan telefonnya tadi.
“Ada apa Allysa ? Mengapa kau cantik sekali hari ini?” Kata Mama sambil melihatku tajam.
“Nothing Mom. Aku hanya ingin pergi. Boleh ya ?”
Mama terdiam sejenak. Aku yakin dia tidak akan mengijinkanku seperti biasanya. Dia sangat overprotektif padaku. Terlihat dia tersenyum, “Pasti dengan Justin.” Gumam Mama pelan.
“Apa ?” Ucapku, “Aku dengar  itu Ma.”
 Ini adalah pilihan terakhirku agar bisa menemui Justin. Aku tidak mau mengecewakan Justin lagi. Mama menyuruhku mencicipi semua masakannya baru aku di izinkan untuk pergi. Sebanyak ini? Mama justru sibuk mengusap-usap meja makan menatapku, dia pikir aku akan senang melahap semuanya. Sifat Mama kembali menyebalkan. Satu demi satu makanan di piring aku cicipi, tidak sedikit yang Mama mohon aku habiskan.

Astaga!

Aku sudah terlambat. Sudah pukul delapan malam, yang benar saja? Bagaimana kalau Justin masih menunggu disana. Atau bagaimana jika telah pergi? Artinya aku hanyalah gadis payah yang menyiakannya. Segera aku berlari keluar rumah, ku tinggal tasku. Lagian parfumku juga habis untuk apa harus membawa tas tanpa parfum. Aku berlari saja mengejar waktu.
Terlihat rumah Shay yang menyala karena lampu di terasnya. Shay kelihatan sedang menelfon seseorang dengan senyumannya. Tumben malam-malam dia berani keluar rumah. Mungkin dia sedang berbicara dengan pacar barunya? Ah. Aku tidak peduli. Dia bukan sahabatku lagi. Cepat cepat aku berlarian kecil ke taman. Ternyata sudah sepi sekali. Tak ada tanda kehidupan disini. Mungkin Justin benar-benar sudah pergi.
Aku berkeliling. Kutemukan seorang pria yang berdiri di cafetaria dekat taman. Dia Justin. Mungkin yang dia maksud adalah Café, bukan taman. Aku menepuk pundaknya. Dia tidak menggubrisku.
“Di Café dekat taman Shay.”
Aku terperanjat. Shay? Shay siapa? Shay pacar barunya, bukankah aku dan Justin? Ada apa ini.

You're on the phone
With your girlfriend
She's upset
She's going off about
Something that you said
She doesn't get your humor
Like I do

Justin memutuskan telefonnya dan melihatku. Matanya menjadi berbinar-binar.
“Shay ? Shay yang berambut coklat itu ?” Ucapku spontan. Justin hanya tersenyum kecil. Dia berubah sangat dewasa.
“Kebetulan sekali Allysa. Mengapa kau ada disini ?” Ucapnya.
“Bukannya tadi siang kau mengajakku bertemu di taman sore ini.”
Justin melirik jam tangannya.
“Ini sudah pukul delapan malam. Bukannya besok kau harus masuk pagi ya ?”
“Maaf aku terlambat. Tidak. Kau pikir aku ini satpam harus selalu masuk pagi.” Aku mengerucutkan bibirku. Justin lalu bangkit dari duduknya.
“Allysa. Kau mau membantuku kan? Tolong kau jaga meja ini ya. Jangan sampai ditempati oranglain.”
                        Dia berlari keluar café. Meninggalkanku.
Bahkan dia tidak menggubris pembicaraanku tentang janjinya tadi siang, justru pergi begitu saja? Ya tuhan. What the hell yeah.
“Hanya sampai setengah Sembilan.” Teriakku menyanggupinya.
Aku terduduk lemas, menggerutu sendirian lagi. Dunia begitu kejam padaku, apa salahku sebenarnya? Aku dilempar-lemparkan, mulai dari orangtuaku sendiri hingga Justin. Sekarang apa? Ingin mengambil halaman diaryku saja harus menunggu satu juta tahun cahaya. “Tega sekali kau Justin, ini sudah jam sembilan lebih.” Aku bangkit, menghantam meja. Ku tinggalkan beberapa lembar uang.
“Sial.” Rerintikan air hujan mulai berjatuhan. Aku tidak membawa tas, tidak membawa apa-apa selain uangku juga telah habis membayar sewa duduk di cafe. Sial sekali. Aku berjalan lesu ditengah hujan. Justin belum memutuskanku. Tapi mengapa dia bertelepon dengan gadis lain dan membatalkan janjinya padaku. Sudah lebih dari jam setegah sembilan. Bahkan sudah pukul sembilan dia tidak datang. Kuputuskan pulang. Mungkin Justin sudah pergi ketempat lain.
Aku akan sampai ke rumah, ingin istirahat dan mengeringkan diaryku yang basah ini.
Sebuah mobil menyipratkan air hujan yang kotor di bajuku. Aku berlari mengejar mobil itu.
What the fvckin girl. Langkahku terhenti melihat Justin turun dari mobil itu dan seketika berciuman dengan Shay. Jadi? Mereka berpacaran. Oh bagus semua sudah jelas disini.
Hatiku rasanya meleleh dan kakiku menjadi sangat berat. Aku terpaku tidak bergerak menyaksikan mereka berdua. Apa-apaan ini?
Begitu lembut Justin melakukannya pada Shay. Harusnya itu adalah first kiss Justin untukku?

I'm in my room
It's a typical tuesday night
I'm listening to the kind of music
She doesn't like
She'll never know your story
Like I do


*****
Author Point Of View

Sudah sangat larut dan Allysa masih saja menangis. Terus saja dia tidak menggubris teriakan mamanya dari bawah untuknya mengecilkan volume musik yang ia putar. Dia menangis keras namun tersamarkan hujan lebat dan musik yang diputar kontras dengan suasana hatinya.
“Mengapa hari ini begitu menyebalkan!” dengan keras Allysa membanting tubuhnya ke kasur dan membuang asal tissue dari tangannya. Lihat seisi kasur telah penuh dengan tissue sekarang. Allysa berteriak-teriak mulai gila. “Rasanya baru kemarin Justin aku pamitkan pergi, kenapa aku harus pergi, bodohnya aku! Arrghhh!”

Justin. Shay adalah orang yang tidak bisa dipercaya. Ketahuilah aku mengenalnya dengan segala kecerobohannya. Dia tetap saja Shay yang ceroboh dan jahat. Justin kau tau, dia tidak berperasaan. Mengertilah. Aku takut kau terluka. Dia tidak pernah tahu cerita tentang kita.”




*****
Allysa Hayon Point Of View

Aku mencoba satu persatu parfum disini. Sementara mama masih berbelanja. Wajahku kucel sekali pasti, apalagi aku belum mandi. Aku harus berbohong tentang semalam. Harusnya aku masih meringkuk manja di kasurku dan bersembunyi dibalik selimut. Tapi sekarang. Aku berada di sebuah Bazar di sepanjang St. Grange dengan T-Shirts dan celana jeans yang usang. Seperti gelandangan. Aku tidak peduli, sekarang tidak akan ada yang memujiku lagi. Kecuali Justin. Tidak ada yang mengerti. Dia mengerti aku luar dalam, dia pasti tertipu oleh Shay
“Allysa! Kau ini kenapa? Daritadi hanya diam saja? Kau sakit?” seketika mama mengusap keningku dengan nada cemas. Aku menggeleng perlahan, jangan lagi Tuhan. Hapuskan lelaki itu dari otakku.

But she wears short skirts
I wear t-shirts
She's cheer captain
And i'm on the bleachers
Dreaming about the day
When you wake up and find
That what you're looking for
Has been here the whole time

Tiba – tiba aku mencium bau parfum seperti yang kubelikan untuk Justin dulu. “Kenapa lagi?” tanya mama menyelidik. Mungkin gerakanku terlalu refleks. Pandanganku tertuju pada sepasang kekasih yang taklain adalah Justin dan Shay. Mereka bercanda melewatiku begitu saja. “Pantas saja.” Desisku berat.

If you could see
That i'm the one
Who understands you
Been here all along
So why can't you
See you belong with me
You belong with me.

Lagi-lagi hanya Justin yang terbesit. Bukannya aku dan Justin tidak pernah mengatakan kata putus? Mengapa Justin dan Shay malah berpacaran. Apa yang sebenarnya terjadi. Apa aku hanya bermimpi saja. Kurasakan sesuatu membuat pinggangku geli. Benar saja, I-phoneku bergetar, ada panggilan masuk.
“Iya Ma.”
“Mama sudah pulang sayang. Mama naik taksi, karena belanjaan mama sangat banyak. Kau bisa pulang sendiri kan sayang ?”
Cerocos mama di ujung sana. Mungkin mama sudah sampai di rumah.
“Baiklah. Ma”
Ucapku lesu sambil berjalan pulang. Astaga aku melihat mereka lagi. Mereka tertawa lepas di bangku taman. Seakan dunia milik mereka berdua, sampai
-sampai aku yang melewatinya mereka tidak sadar.

Walking the streets
With you and your worn out jeans
I can't help thinking
This is how it ought to be
Laughing on a park bench
Thinking to myself
Hey, isn't this easy?

Aku berdeham kecil saat melewati mereka. Kuharap mereka merasa terganggu dan menyadari kehadiranku yang sedari tadi melihati mereka.
“Kembalikan isi diaryku Just.” Aku menagih janjinya kemarin
, sebenarnya hanya modus untuk mendapatkan perhatiannya. Dia terlihat masih asyik dengan Shay, begitupun sebaliknya.
“Apa ?” Tanyanya.
“Kau bilang kau akan mengembalikannya bukan ?”
“Tapi kau datang terlambat.”
                   Justin masih merangkul pundak Shay yang asyik memakan Kembang Gula. Makanan kesukaanku dan Justin. Aku masih terpaku di depan mereka.
“Allysa. Kau bau sekali ya.” Sindir Shay. Justin malah mencubit pipinya, persis dengan caranya mencubit pipiku saat perpisahan kami. Aku terperangah saat dua sejoli itu malah meninggalkanku pergi. “Bau?” desisku, kurang ajar sekali gadis itu. Kalau bukan pacar Justin aku akan merobek mulutnya.
“Iya pergilah.”
“Shay, kau tidak boleh berucap seperti itu.”
“Kenapa? Dia tidak pantas berdekatan dengan kita.”
“Baik! Aku pergi.”
               Justin menatapku bingung dan dengan tatapan tajam menatap Shay. “Tunggu Allysa!” aku menoleh. Lelaki itu menatapku penuh arti namun tertahan oleh lengannya yang dikait erat oleh perempuan busuk itu.




SKIP



Seminggu berlalu sejak kejadian itu. Justin bahkan tidak mencariku, padahal saat itu wajahnya begitu merasa bersalah. Ah atau aku hanya mengharap lebih-lebih. Aku bodoh. Kuputuskan untuk kembali ke L.A lebih cepat. Tidak perlu tahun depan atau dua tahun lagi. Aku ingin ke L.A besok pagi. Aku tidak peduli. Aku muak dengan Justin dan Shay. Mereka keterlaluan bagiku. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri. Kejadian seminggu lalu itu untuk terakhirnya aku melihat Justin.
               Malam ini aku berkemas dan akan membelikan oleh
-oleh untuk Papa. Ku harap papa menyukai seleraku. Karena biasanya yang memilihkan belanjaanku adalah Justin. Selera Papa dan Justin selalu sama.
Aku jengah. Kakiku juga mulai pegal disini. Aku memilihkan beberapa kemeja untuk Papa. Tidak ada yang kusukai. Padahal aku sudah lelah berkeliling Stratford. Kurasa kota ini sangat kecil, tidak ada mode yang bagus pula. Aku menyerah. Kucari I-phoneku di dalam tas.

“Shay.”
“Siapa ini ?” Ucap Shay sangat ketus.
“Allysa.”
“Mau apa ?”
“Boleh aku pinjam pacarmu sebentar. Aku besok akan pulang ke L.A dan hari ini aku akan mencarikan oleh oleh untuk -- “

Tuutt .. Tuutt .. Tuut

Shay memutuskan sambungan telefonnya. Gadis ini jahat sekali. Tidak sopan. Apa iya aku harus menjemput Justin. Aku tidak punya nomor ponselnya. Bagaimana ini. Aku sudah membeli tiket pesawat untuk besok pagi. Aku tertunduk lesu kusandarkan tubuhku pada sebuah manekin.
Kusilangkan kakiku kedepan. Badanku pegal sekali.
“Allysa?” Suara seseorang mengagetkanku.
“Maaf.” Jawabku sambil mengucek mataku perlahan.

JUSTIN ?!

“Just. Ini benar kau Just ?” Ujarku refleks mencubiti pipinya. Aku bahagia sekali, disaat aku benar-benar membutuhkannya, dia hadir disini. Justin kebingungan namun menyambutnya dengan senyuman lebar. Giginya terderet rapi. Manis.
Yes Shawty. It’s me.”
“Jadi Shay mengizinkanmu pergi bersamaku ya ?”
Ucapku melengking sangat keras. Justin segera mengisyaratkanku diam. Dia menunjuk sepasang kekasih yang sedang saling menyuapi makanan mereka di depan etalase, tepat di depan butik kami berdiri. Itu kan Shay. Aku memandang Justin perlahan. Matanya seolah dikecewakan oleh gadis menyebalkan itu.
Justin menceritakan semua yang terjadi padanya. Shay, masih saja sebagai Shay Misuraca. Shay yang tidak bisa dipercaya. Kasihan Justin. Shay berselingkuh dengan pria lain, seperti yang tadi kami lihat. Rasanya aku akan meledak, mendengar Justin di sia – siakan oleh seorang gadis yang menyebalkan seperti Shay. Justin semakin terlarut dalam kesedihannya.
“Kau tak apa Just,” Ucapku sambil memegang pundaknya.
Dia tersenyum sangat tulus padaku. Senyuman yang seminggu tak kulihat namun rasanya sudah seumur hidup kami berpisah.
“Ya Shaw -- Allysa. Aku tak apa apa.”

Aku tersenyum, dia ragu memanggilku Shawty.

“Aku shawty. Bukan Allysa. Hahaha.”
Justin ikut tertawa denganku.
“ Kau hebat Justin. Aku tahu seuanya akan seperti ini. Kau akan dicampakkannya dengan jelas.
Tapi kau tetap Justin. Senyumanmu itu berlambang kau menghormati wanita dankau juga tidak akan mendendam pada Shay.”


And you've got a smile
That could light up this whole town
I haven't seen it in awhile
Since she brought you down

You say you're fine
I know you better than that
Hey whatchu doing
With a girl like that

She wears high heels
I wear sneakers
She's cheer captain
I'm on the bleachers
Dreaming about the day
When you wake up and find
That what you're looking for
Has been here the whole time

If you could see
That i'm the one
Who understands you
Been here all along
So why can't you
See you belong with me

Standing by and
Waiting at your backdoor
All this time
How could you not know
Baby
You belong with me
You belong with me.

Kau akan pergi?” Kata Justin sembari memilihkan baju untuk papa. Dia sudah tahu setiap kali aku memintanya untuk berbelanja ke butik, dia hafal setiap kehidupanku.
“Iya begitulah.”
Dia tersenyum polos namun selanjutnya menyimpan kekecewaan berat. Berulang dia mendesah. Justin maafkan aku sebenarnya aku senang jika kau putus dengan Shay. Namun kelihatannya kau terlalu mencintainya melebihi cintamu padaku. Tapi aku yakin Just. Kau akan lebih mencintaiku lagi. Atau kau akan menemukan gadis selain aku dan Shay jika aku pergi nanti.


****

                      “Yang benar saja..” Ucapku menggoda pada Papa. Sudah setahun aku tinggal disini, di L.A bersama papa.
“Iya sayang. Bagaimana kau setuju ?”
“Tentu saja. Asalkan papa senang.”
Hari ini papa bilang kami akan pergi ke Stratford lagi untuk menjemput Mama. Papa ingin kembali bersama Mama. AKu yakin Tuhan mau mengabulkan doaku. Akhirnya kami bahagia seperti ini. Setelah sekian lama Papa – Mama pisah ranjang bahkan tinggal di kota yang jauh sangat jauh berbeda.
Kulangkahkan kakiku ke rumah mama. Sepi sekali, mungkin mama sedang berbelanja seperti biasanya.
Kudengar bunyi dawai gitar terpetik merdu. Seseorang memainkannya. Malam yang dingin dan ditemani suara gitar pasti akan lebih seru. Aku keluar rumah.
Ku ikuti suara gitar itu. Ternyata di taman. Taman ini, taman favorit  Justin. Tempat kami berpisah sebelumnya. Seorang lelaki duduk termenung sambil memetik gitar dan membelakangiku. Kuyakin dia Justin, lihat saja. Dia bisa ditebak. Satu-satunya orang kidal yang kukenal. Haha. Aku sedikit bisa melupakannya di L.A. Disana aku terlalu sibuk basket dan bertanding jadi aku berhasil melupakan Justin sepenuhnya. Tidak ada cinta lagi. Di hatiku hanya ada perasaan teman biasa saja.

“ Oh, I remember
You driving to my house
In the middle of the night
I'm the one who makes you laugh
When you know you're about to cry
And I know your favorite songs
And you tell me about your dreams
Think I know where you belong
Think I know it's with me

Can't you see
That i'm the one
Who understands
Been here all along
So why can't you see?
You belong with me.

Have you ever thought
Just maybe
You belong with me?”

Aku bernyanyi lagu favoritku itu. Darimana Justin tau kalau itu lagu favoritku ya ? Apa hanya kebetulan saja. Aku lanjut bernyanyi diiringi suara petikan gitar Justin yang memejamkan matanya.
Kulihat dia terperanjat kaget dan berdiri.

ALLYSAAA !!
Serunya sangat senang dan bahagia sekali. Aku tak kalah senangnya. Tubuhku di raihnya dan diputar putar, seperti anak kecil yang mendapat mainan baru.
“Hentikan Just.” Perintahku pada Justin.
Dia masih tak banyak berubah. Hanya tubuhnya bertambah tinggi, bahkan lebih tinggi dariku. Gaya rambutnya juga berubah. Bahkan dia sangat tampan sekarang.
“Ada apa ?” Tanya Justin sambil membuyarkan lamunanku.
“Kau masih mengingat lagu itu ?”
“Tentu saja. Setiap Hari selasa malam aku memainkan gitarku.” Jawabnya santai,
“Hanya saja, malam ini lebih lengkap. Karena ada yang mau menyanyikannya denganku.”
“Ohya Just ?”
Kami lalu menyanyikan lagu itu hingga larut malam. Dingginnya malam ini tidak mengalahkan hangatnya hubungan kami. Bahkan kami bernyanyi keras – keras.
“You belong with me.” Ucap Justin di akhir lagu. Nadanya seperti orang bertanya.
“Maksudmu Just ?”
Justin berdiri dan menyuruhku untuk tetap tinggal di taman ini. Setengah jam berlalu. Ayolah Justin. Aku mengantuk. Jangan biarkan aku pergi meninggalkanmu lagi.
Seseorang berlari di belakangku. Justin.
“Kau ini. Dingin begini malah keringatan.” Ucapku sambil tertawa.
“Aku melupakan sesuatu Shawty. Ini.” Justin menyodorkan sebuah kertas yang sudah mulai berubah warna menjadi kekuningan. Astaga. Ini isi diaryku yang waktu itu. Justin masih menyimpannya. Kubaca lagi isinya. Hanya sebagian tulisanku yang masih bisa dibaca, yang lain luntur.

“You belong with me ?” Ejaku perlahan.

“Kau tahu. Aku menyesal telah menaruh hati pada Shay. Aku sadar perpisahan kita itu bukan lah akhir hubungan cinta kita Shawty. Kau belum memutuskanku, begitu juga aku. Aku melupakanmu karena Shay. Aku, aku kasihan padanya waktu dia kau marahi saat itu. Dia menghasutku supaya mau menemaninya. Salahku, aku melupakanmu. Bahkan jatuh cinta padanya. Maafkan aku. Aku sadar kau masih milikku dan kita masih berpacaran.”
Jelas Justin panjang lebar. Aku termenung. Mendengar ucapannya membuat aku menangis. Aku teringat lagi pada kenangan bersama Justin. Aku mencintainya lagi.
“Do you belong with me shawty ?”
Bibirku bergetar jika ingin menjawabnya. Justin merengkuh wajahku perlahan. Matanya itu ya Tuhan. Binar matanya di kegelapan masih bersinar. Dia membawaku ke dunianya, dia membawaku terjebak dalam cintanya. Aku sadar telah menantinya sangat lama. Sudah 4 tahun aku dan dia tidak berkomunikasi. Aku heran mengapa dia masih setia seperti ini.
“Shawty ?”
“Yes I do Just.
You belong with me , Justin.”

“ Aku kehilangan matahariku,
Namun dia akan tetap setia menyinari duniaku dengan cintanya
Jika aku akan kembali
Di akhir cerita aku akan menggenggamnya lagi
Karena dia masih milikku.. “
 
 
So what do you think about this? Credit me on twitter @stelldc xx

0 comments: