YOU BELONG WITH ME: ONESHOOT
Hi, there aku keinget banget ini tulisanku semasa jaman kelas 9 semester awal. Iseng banget kan, udah tau mau UN tapi malah bikin oneshoot semacam ini. Sama seperti oneshoot sebelumnya, ini pernah aku post ke facebook di akun pribadi, dan what-a-fvxckin shit ternyata readernya appreciate banget sm tulisanku ini({})
So you have to read it before you give me comment, if you wanna copy-paste its your right to put my name in your duplicate post. Happy reading!
YOU BELONG WITH ME
Title: You Belong With Me (2013)
Author: Stella Duce Jingga
Maincast: Justin Drew Bieber, Allysa Magdallene Hayon, Arianna Grande, Chaz Somers
Genre: Romance, Drama
YOU BELONG WITH ME
******
******
“ Aku kehilangan
matahariku,
Namun dia akan tetap setia menyinari duniaku dengan cintanya
Jika aku akan kembali
Di akhir cerita aku akan menggenggamnya lagi .. “
Namun dia akan tetap setia menyinari duniaku dengan cintanya
Jika aku akan kembali
Di akhir cerita aku akan menggenggamnya lagi .. “
Kututup
buku harianku ini. Sekolahku sepi sekali jika hari sudah sore. Ku tatap
remang-remang dedaunan maple yang menutupi buku harian yang selalu kugenggam
bahkan tangisanku tak terlukis dengan sempurna ketika goresan tinta ini
mengalir seiring dengan rasa keterpaksaan yang harus kujalani. Suara gesekan
daun kering begitu kentara ketika mataku menangkap seorang pria yang masih
sangat kekanak-kanakan berjalan mendekatiku. Dengan hoodie
abu-abunya, rambut emasnya terurai lepas ke dahinya. Aku ingin tersenyum, namun aku juga
ingin menangis. Dengannya baru satu bulan genap kami menjadi kekasih. Hari ini
hari jadi kami yang baru seperduabelas sejak satu bulan lalu dia menyatakannya
padaku. Semua ini terlalu cepat dimulai untuk diakhiri. Justin membawa dua kembang gula berwarna
putih. Mukanya terlihat bingung ketika melihat aku membawa banyak koper dan
mantel di taman sekolah. Dedaunan maple yang kering mulai berjatuhan bersama
dengan air mataku yang tiba-tiba
menetes di sore yang
marun ini. Aku tidak bisa menahannya.
“Justin, terimakasih menemaniku belanja
kemarin.”
Aku bergumam sambil memeluknya erat. Terasa anggukannya dikepalaku.
Selera Justin memang bagus, namun ini bukan saat yang bagus. Aku hanya
memintanya menemaniku berbelanja untuk memilihkan baju untuk ayahku, sebagai oleh-oleh, kepulanganku padanya. “Semoga
ayahmu menyukainya sayang. Tapi ..” Yeah. Drama akan dimulai. Dia mungkin merasa aneh karena
perlakuanku yang tak seperti biasanya. Airmataku terlalu berat untuk ditahan
kelopak yang mulai sayu karena sore ini.
“Bagaimana jika ibumu melihat ini?”
Justin mencoba melepas pelukanku, pikirannya
belum cukup dewasa untuk hanya berpelukan di sebuah taman yang sepi, hanya kami
berdua. Aku menangis terisak
tanpa suara di dadanya.
“Apa kau merindukanku Shawty ?” Justin
berkata lembut sambil melepaskan pelukanku, aku menatapnya dengan senyum
keterpaksaan. Sangat sulit sekali menarik sudut bibirku. Aku menahan semuanya
dalam batin, menatap jauh mata hazelnya yang menembus hatiku
dedalaman.
“Tentu saja. Aku selalu merindukanmu.”
Justin mengusap airmataku lalu dia tertawa kecil. Mungkin dia kira aku
bercanda. Suara tawa Justin semakin menyayat hatiku saja. Aku jadi tidak tega
kalau aku akan pergi meninggalkannya. Dengan berat aku mencoba menegakkan
kakiku yang terasa melemas, ketika bersiap tak lagi melihat senyumnya bahkan
untuk waktu yang tidak bisa ditentukan.
Aku hirup nafasku sekali lagi dan mulai fokus padanya.
Aku hirup nafasku sekali lagi dan mulai fokus padanya.
“Aku harus pergi Just.”
“Apa?”
Wajah Justin yang tenang berubah menjadi panik dan menatap mataku mencari
guratan kebohongan yang dia khawatirkan. Kutarik mataku ke sudut kiriku, aku
tak tahu bagaimana harus menjelaskannya lebih jauh kepada Justin. Aku tidak
tega mendengar bahkan melihat tangisannya sekarang. Sudah cukup aku menangisi
keputusan orangtuaku ini semalaman, dan hasilnya aku harus tetap pergi.
“Aku serius Just. Aku harus pergi
sekarang.”
“Kau bilang kita akan selalu bersama,
hingga tua nanti. Kenapa kau pergi?”
“Aku mencintaimu.”
Kulepaskan tanganku dan kuraih keningnya. Dengan sekuat tenaga aku mencoba mengecup kening
Justin meski harus berjinjit lebih tinggi. Perlahan
genggamannya aku lepaskan lembut, jemarinya tidak menahanku. Mempersilahkanku
untuk meraih koperku. Justin
terpaku dan aku meninggalkannya sendirian di taman itu.
****
“Aduh!” Gadis itu menoleh padaku,
menatapku kesal. “Hey dimana bukunya?” memang sengaja aku melemparinya dengan
sampah, sedari tadi dia tidak menggubrisku, justru asyik dengan beberapa anak
laki-laki di depan-samping-dan belakangnya. Mereka banyak sekali, dan aku rasa ada
sepasang mata yang sedang memperhatikan kami. Ah masa bodoh. “Dimana?” tanyaku
lagi, dia hanya menatapku sebentar lantas matanya menunjuk ke sebelah duduknya,
menunjukkan bukunya padaku.
“Tenanglah bukumu aman padaku.”
Aku buru-buru duduk di bangku yang agak berjauhan,
sebelum penuh. Tidak tahan melihat seorang siswi yang tebar pesona, jual murah
dan genit-genitan dengan banyak lelaki. Huh menjijikkan. Mengapa dia yang
menjadi sahabatku? Dunia ini gila. Nginggg.
Suara microphone yang digeser berdenging keras membuat suasana ramai
terhening sejenak. Aku yakin ..
“Dan untuk
kategori wanita, dengan nilai terbaik diraih oleh Allysa Magdallene Hayon.
Siswi pendatang dengan bakat luar biasa ini berhasil menempati peringkat pertama.
Silahkan berdiri. Selamat!”
Sudah ku duga! Malas aku
mendengarnya-_- dengan perasaan jengah aku mengikuti permintaan host itu lantas
bangkit, basa-basiku untuk memberi salam hormat. Riuh gemuruh penonton di
stadium ini menyeruak seusai host
tersebut membacakan pengumuman seleksi tim basket puteri. Astaga, gadis di
seberangku ini mulai berdiri, berteriak, bertepuk tangan dan melompat-lompat
kegirangan. “Sebenarnya yang masuk seleksi aku atau dia, huh?”
Shay. Gadis ini justru semakin
menggebu-gebu, seperti orang kesetanan. Sial. Telingaku hampir pecah mendengarkan sebuah motivasi
yang cenderung membuatku sakit hati dari Shay, orang pertama yang menjadi
sahabatku di kota kelimaku ini. Cara bicaranya itu yang keras, berteriak dan
begitu bersemangat hingga membuat telingaku ingin meledak-ledak. Penat aku menjadi kutu loncat. Kehidupanku
berjalan dengan penuh keterpaksaan karena keluargaku juga. Aku harus
menyembunyikan segala masalahku selama bergantian sekolah di Indonesia, Negara
tempat ayahku tinggal. Aku bahagia bisa bersama ayahku tahun lalu, namun lelah
juga kembali ke kota ini.
Aku dimasa depan sekarang, masih
menyesali masa laluku. Masih ingin menghabiskan soreku bersamanya di taman itu.
Bukan untuk mengucapkan salam perpisahan, namun untuk menikmati kebersamaan
kami. Tempat ini menyisakan kenangan tiga tahun
lalu. Aku berharap tak menemukannya lagi. Tubuhku terhenyak dan lamunanku
seketika buyar, ku hempaskan pantatku ke kursiku tadi lantas
menyaksikan nama-nama lain seusaiku. Ah Justin andai dia melihatku sekarang.
Entah apa yang ingin ku ungkapkan padanya.
Ah. Tidak-tidak aku tidak boleh memikirkannya lagi. Aku merasakan desiran aneh ketika memikirkan Justin.
Ah. Tidak-tidak aku tidak boleh memikirkannya lagi. Aku merasakan desiran aneh ketika memikirkan Justin.
“Allysa, kau mendengar itu?”
Ucap
seseorang seraya menepuk
bahuku bangga.
Aku menoleh, bangku di seberang kosong. Dia lagi dia lagi, bisa-bisa aku
serangan jantung jika dia berteriak liar lagi. Aku hanya mengangguk, tubuhku sudah dibuat lemas mendengar pengumuman tadi.
Bukan hanya karena itu. Aku juga capek seharian harus menjalani seleksi kapten
basket tahun ini, dan lelah mendengar teriakannya yang dibuat-buat itu. Aku kembali mengusap keningku, kembali
Justin melintas di pikiranku. Aku
sama sekali tak berharap bertemu lelaki itu disini. Aku pikir hanya sakit hati
dan rasa yang menggantung karena memikirkannya. Aku menghirup sedikit nafas
yang sempat tersengal.
“Ini
minumanmu.”
Kurebut
sekaleng sprite dari tangannya. Jujur aku haus sekali. Disaat yang tepat,
tenggorokanku hampir kering dan dengan susah payah aku meremukkan kaleng sprite
itu ditanganku. “Sepertinya kau sangat haus.” Aku hanya memanyunkan bibirku, dia ini sudah ceroboh,
sekaligus suka mencari perhatianku saja. Gadis ini lama-lama menyebalkan kalau
terus bersamaku. “Jangan belagak dungu begitu, Shay.”
“Shay? Shay? Siapa itu ?”
“Shay? Shay? Siapa itu ?”
ASTAGA!
“Kenapa tadi tidak ada?” ucapku bodoh menoleh menatap bangku milik Shay yang tadi kosong dan kini ditempati kembali oleh gadis itu.
“Apanya yang tidak ada?” Justin menyelidik. Justin. Dia disampingku sekarang. Rasanya seperti aku hampir menelan kaleng itu. Aku bodoh! Bagaimana bisa dia berada disini? Dan bagaimana bisa aku mengira dia ini Shay? Aku malu sekali. Dengan wajah yang sengaja aku tundukkan, kutatap dia dalam diam yang masih mengusap pundakku. This is really really awkward ya know? Justin. Bayangkan!
“Sudah jangan canggung begitu.” Lelaki itu
menarik daguku untuk menatapnya. Tuhan, dia
tidak banyak berubah, senyumnya masih seperti dulu. Mata hazelnya itu berubah
kehijauan terkena sinar matahari. Kenapa dia bisa menemukanku di tribun ini?
“Ngomong-ngomong,
Shay? Maksudmu gadis
berambut coklat itu
ya ?”
Aku
mengangguk sekilas lalu ku buang mukaku dan meneguk lagi sprite itu. Berharap
aku tidak salah tingkah. Aku menghela nafas panjang. Kulihat dia betah saja
disebelahku, padahal aku bau keringat. Kumohon pergilah Just, nanti aku bisa
mati berdiri. “Eh? Itu kan-” Aku tersentak melihat Justin membawa
sesuatu ditangannya. Itu kan, seperti-seperti halaman di buku harianku? Tapi
kenapa dia membawanya. Justin tersenyum ke arahku, sementara aku masih terdiam
dengan bodohnya tanpa menggubris kertas yang terus dimainkannya.
“Tunggu sampai Chaz dan Ryan mengetahui
ini ya.”
*****
Dasar bodoh! Dasar bodoh bodoh
bodoh! Arghh! Aku bodoh sekali. Mengutuki kebodohanku tidak ada artinya
sekarang, aku terus berjalan tak memperdulikan orang-orang menilaiku aneh
–gadis yang mengumpat dan mengepalkan tangannya seolah ingin membunuh Shay–
yeah benar rasanya aku ingin membunuh Shay. Gadis itu lebih bodoh daripadaku.
Lihat, itu dia. “Oh tidak.” Bukan Shay, melainkan Chaz dan Ryan yang tadi
bersama Shay. Mereka itu kan satu geng dengan Justin? Aku begitu mengetahuinya ketika di
kantin tadi, seluruh anak melihatku dengan desisan yang ku dengar. Kertas yang
ada ditangan Justin, memang benar isi buku harianku.
“Justin
itukan artis sekolah. Iya dia terkenal sebagai Bad boy, berandalan, suka membuat onar dan perusak dengan
tempramennyanamun aku kagum dia tidak suka berganti-ganti pacar. Malah setahuku
dia tidak pernah menggaet seorang gadispun. Aneh.”
Kalimat itu yang sering
dilontarkan Shay tatkala aku diam, dia tahu kalau aku sedang memikirkan Justin.
Dan sekarang apa yang dilakukan gadis itu. Tak seharusnya ada ditangannya sekarang. Aku mencoba
menyembunyikan wajahku yang berantakan. Bagaimana kalau Justin menemukanku? Aku segera bersembunyi dibalik pintu
kelas gadis yang sedang aku cari. Langkahku terhenti begitu saja saat Justin beralih menatapku yang berusaha
menjauh. Aku takut menatapnya –pria yang barusan melewatiku– saat mendengar
bahwa dia baru saja membaca surat bodohku yang mungkin dengan sengaja jatuh ke
tangannya.
“Ini
dia kekasih Justin !“
Begitu
kagetnya aku hingga tissue yang kugunakan menutup wajahku jatuh. Terlihatlah
mataku yang sembab dan hidungku yang masih kembang-kempis.
“Maksudku hanya mantannya Justin.” Chaz melanjutkan bicaranya mendapati aku yang berantakan. “Itu Justin kan!” Ujar Ryan sambil menunjuk seorang pria yang tadi melewatiku. Aku gemetaran melihat Ryan berlari mengejar Justin.
“Maksudku hanya mantannya Justin.” Chaz melanjutkan bicaranya mendapati aku yang berantakan. “Itu Justin kan!” Ujar Ryan sambil menunjuk seorang pria yang tadi melewatiku. Aku gemetaran melihat Ryan berlari mengejar Justin.
Aku
hampir menangis lagi. Mataku mulai berkaca-kaca. Sekarang terlihatlah aku
bukanlah seorang kapten basket yang kuat. Aku sangat rapuh sejak kehilangan
dia. Aku tidak dapat menyembunyikan perasaan yang sebenarnya hampir hilang
sejak kejadian tiga tahun lalu itu.
JUSTIN?
“Kau tak
apa?” Sapanya lembut sambil menaikkan daguku. Entahlah tubuhku terasa sangat
lemas ketika tangannya dengan kuat menopang setiap tubuhku yang sudah
tersungkur.
“Allysa!” Teriak seseorang kudengar jelas seperti suara Shay. Mataku masih berkunang – kunang setelah melihat Justin tadi. Rasanya aku ingin pura-pura pingsan saja daripada malu diperlakukan seperti ini. Justin begitu membuatku merasa istimewa kembali untuknya.
“Minggir-minggir sana!” Kulihat jelas Shay berjongkok disampingku sambil memegangi dahiku. Dia terperanjat kaget melihat Justin-lah yang memangku tubuhku. Tangannya berubah kaku. Setidaknya dia berdiam karena aku yang menyuruhnya menjaga rahasiaku masih mencintai Justin.
“Allysa!” Teriak seseorang kudengar jelas seperti suara Shay. Mataku masih berkunang – kunang setelah melihat Justin tadi. Rasanya aku ingin pura-pura pingsan saja daripada malu diperlakukan seperti ini. Justin begitu membuatku merasa istimewa kembali untuknya.
“Minggir-minggir sana!” Kulihat jelas Shay berjongkok disampingku sambil memegangi dahiku. Dia terperanjat kaget melihat Justin-lah yang memangku tubuhku. Tangannya berubah kaku. Setidaknya dia berdiam karena aku yang menyuruhnya menjaga rahasiaku masih mencintai Justin.
“Biar
aku saja yang mengurusinya. Maaf telah merepotkan.” Ujarnya sambil merebutku
dari Justin dan mendudukkan ku di bangku depan kelasnya. Terlihat jauh
gerombolan geng Justin telah menghilang begitu saja dari pandanganku.
*****
Seharusnya
surat itu masih menjadi halaman tengah diary-ku. Namun tidak. Justin mengambilnya tanpa sepengetahuanku
dan Shay ceroboh tidak
menjaganya dengan baik!
Aku membenci kecerobohannya itu. Tidak seharusnya isi buku diaryku dipegang
Justin setiap hari! Sejak kejadian kemarin itu. Shay tidak mau berterus terang,
padahal sudah jelas dialah yang bersalah. Tingkahnya yang belagak tidak berdosa
itu yang menyebabkanku berani menuduhnya. Aku hampir muak dengannya.
Aku
sangat kecewa padanya. Sekarang hariku penuh dengan penyesalanku yang dengan
ceroboh menitipkan diary-ku itu pada Shay. Aku yang bodoh sebenarnya! Ternyata Shay
masih seperti Shay yang dulu. Shay, tetanggaku yang menyebalkan, yang tidak
bisa dipercaya. Jauh berbeda denganku, meski rumah kami sekarang hanya
bersebelahan saja.
“Tidak ada gunanya berteman
denganmu lagi.” Gumamku dalam hati sembari mengemasi buku-bukuku untuk pulang.
Tidak sudi aku melihatnya, terakhir dia samasekali tidak berusaha meminta maaf
padaku. Masa bodoh.
*****
Author Point Of View
Author Point Of View
Allysa
Magdallene Hayon. Kutu Loncat yang terkenal cantik. Dia berkarisma dan berbeda
dari anak yang lain. Istimewa dan sempurna di mata seorang Justin Bieber.
Mereka sepasang kekasih yang saling bergantung. Sejak tiga tahun lalu, saat
mereka kelas satu di junior high school yang sama. Mereka berpisah. Namun tak
ada kata berpisah, atau kata putus untuk hubungan itu yang terucap dari
keduanya. Yang ada hanya kesetiaan yang masih menjadi pegangan mereka sendiri.
Allysa terpaksa mengikuti Ayahnya tahun lalu. Dia bersekolah khusus basket di
Los Angeles, sesuai dengan kemauan ayahnya agar Allysa seperti ayahnya yang
merupakan senior diantara team yang begitu kenamaan disana. Broken home yang
memaksakan Allysa bergantian ikut ibu atau ayahnya dan tahun ini dia kembali
bersama Ibunya di Startford. Sebenarnya berulang kali gadis ini menolak, namun
sejuta kali ibunya memaksanya untuk tinggal. Dia teringat perpisahannya yang
tak jelas dengan Justin, dia khawatir kalau dia menemukannya disini. Kota
tempat Justin berada.
Benar saja, sebuah ketidaksengajaan
yang merupakan awal hubungan mereka dijelaskan. Betapa tidak mereka kembali
bertemu di kota yang sama, mereka berada di high
school yang sama, saling merasakan perasaan yang sama. Namun semua berbeda,
Allysa tidak menyangka lelaki itu banyak berubah semenjak sore itu.
Bad
boy. Banyak cerita buruk yang diketahui Allysa lewat Shay
sebelum gadis itu menceritakan perasaannya. Namun, segalanya itu tidak
mempersoalkan hal itu, rasa cintanya pada Justin menerobos segalanya.
*****
Allysa Hayon Point Of View
Allysa Hayon Point Of View
“Sejak awal
aku tidak mau pindah kesini lagi Ma.”
“Jangan berkata kau tidak ingin bertemu Justin sayang.”
“Apa maksud Mama ?”
“Jangan berkata kau tidak ingin bertemu Justin sayang.”
“Apa maksud Mama ?”
Apa-apaan ini? Mamaku saja justru
menjerumuskanku. Kuputuskan
sambungan telepon dari Mama dan kumasukkan I-Phoneku asal kedalam tas. Aku
berjalan menelusuri koridor sekolah dengan gontai. Langkahku terseret dan
kakiku memberat di setiap tangga yang kunaiki. Mataku menatap gadis yang sedang
menyandarkan dirinya pada dinding, dia lagi dia lagi, aku muak. Kupilih jalan memutar
menuju kelasku agar tak bertemu dengannya.
“Allysa. Maafkan aku ya.” Shay berhasil menghalangi langkahku. Aku sengaja meninggalkannya tadi. Dia tetangga yang menyebalkan. Aku muak berjalan dengannya ke sekolah. Aku menyesal pernah bercerita tentang hubunganku dengan Justin padanya.
“Allysa. Maafkan aku ya.” Shay berhasil menghalangi langkahku. Aku sengaja meninggalkannya tadi. Dia tetangga yang menyebalkan. Aku muak berjalan dengannya ke sekolah. Aku menyesal pernah bercerita tentang hubunganku dengan Justin padanya.
“Allysa.
Maafkan aku.”
Kulihat dia mulai menangis dihadapanku. Ah. Tidak tidak. Aku
jangan sampai luluh. Ini hanya akal–akalannya saja supaya aku memaafkan
kelakuan bodohnya. Aku mendesah pelan sambil berdiri mematung di depannya. Dia
tak patut dikasihani.
“Semudah itu kau bicara ?” Kataku berusaha memojokkannya.
“Setelah aku mempermalukanmu kemarin.” Katanya lirih. Dia menunduk tak berani menatapku.
“Bagus kau tahu kecerobohanmu yang bodoh itu. Kau tahu Shay? Menjadi aku bukan hal yang mudah. Tak hanya harus mempercayai seorang munafik sepertimu!” Bentakku keras. Setiap anak yang melewati kami menoleh. Bahkan ada yang berhenti memperhatikan kami berdua. Aku tidak peduli. Aku ingin memarahi Shay sehabis –habisnya.
“Semudah itu kau bicara ?” Kataku berusaha memojokkannya.
“Setelah aku mempermalukanmu kemarin.” Katanya lirih. Dia menunduk tak berani menatapku.
“Bagus kau tahu kecerobohanmu yang bodoh itu. Kau tahu Shay? Menjadi aku bukan hal yang mudah. Tak hanya harus mempercayai seorang munafik sepertimu!” Bentakku keras. Setiap anak yang melewati kami menoleh. Bahkan ada yang berhenti memperhatikan kami berdua. Aku tidak peduli. Aku ingin memarahi Shay sehabis –habisnya.
“Kau
tahu ? Mengapa aku mendiamkanmu sejak kemarin. Kau tahu Shay? Kau puas
mempermalukanku. Puas membuatku menuruti apa katamu? Ha! Kau pikir aku senang menjadi
seorang kapten basket? Tidak Shay, tidak. Sekarang isi diary-ku hilang. Isi
diary konyol. Isi diary yang sangat memalukan dan kau biarkan seseorang
membawanya setiap hari Shay !”
Aku
mengepalkan tanganku dan menahannya agar tidak menampar sahabatku ini.
“Maafkan aku Allysa. Aku rasa aku belum terlalu mengenalmu. Maafkan aku.”
“Maaf ?” Ucapku sambil tersenyum pahit padanya.
“Iya maafkan aku. Aku janji tidak akan ceroboh lagi. Aku mau melakukan apapun untuk menebus kesalahanku Allysa.”
“Kembalikan isi diary itu!”
“Maafkan aku Allysa. Aku rasa aku belum terlalu mengenalmu. Maafkan aku.”
“Maaf ?” Ucapku sambil tersenyum pahit padanya.
“Iya maafkan aku. Aku janji tidak akan ceroboh lagi. Aku mau melakukan apapun untuk menebus kesalahanku Allysa.”
“Kembalikan isi diary itu!”
Gadis
ini seketika menatapku seolah tidak percaya. Aku tahu hal ini juga mustahil
karena tiada seorangpun berani mendekati Justin, lelaki itu berubah sempurna
beralih menyayatku lebih dalam. Hatiku sebenarnya tidak tega berkata begitu
pada Shay. Namun kenyataannya dia sudah benar-benar membuatku emosi. Airmatanya
itu membuat luluh aku berlari meninggalkannya.
*****
Author Point Of View
Author Point Of View
“Bodoh
! Aku bodoh !”
Seorang
gadis memukuli kepalanya sendiri dan tersungkur lemas di pintu ruang ganti.
Kakinya tersilang menutupi wajahnya yang tersembunyi dibalik rambutnya yang
berantakan. Bahkan kaos olahraga yang dilepaskannya masih berserakan dilantai
dengan acuh-tak-acuh tanpa perhatiannya. Gadis itu kembali mengutuki dirinya
sendiri. Tangisannya berhenti saat mendengar langkah kaki mendekatinya. Dia
masih terdiam sambil berusaha menenangkan dirinya.
“Aaaaaaaaaaaaaa !”
Ucap Allysa
dan Justin bersamaan. Seketika itu Allysa menutup wajahnya dengan diary-putihnya
yang selalu dia bawa kemana-mana.
Barusaja dia melihat pria yang masih dicintainya bertelanjang dada sambil
membuka loker. Sedangkan Justin, buru-buru memakai kaosnya dan mendekati
Allysa.
“Apa yang kau lihat? Mengapa kau ada disini?” Ucap pria berambut emas itu sembari berjongkok didepannya. Pria itu lalu menyingkap buku yang menyembunyikan wajah Allysa dan menatapnya dalam-dalam. Gadis itu ingin menjedotkan kepalanya ke dinding, malu sekali menyadari dia salah masuk kamar ganti pria.
Allysa gemetaran dan keringat dingin mengucur dari pelipisnya seperti habis bertanding basket.
“Apa yang kau lihat? Mengapa kau ada disini?” Ucap pria berambut emas itu sembari berjongkok didepannya. Pria itu lalu menyingkap buku yang menyembunyikan wajah Allysa dan menatapnya dalam-dalam. Gadis itu ingin menjedotkan kepalanya ke dinding, malu sekali menyadari dia salah masuk kamar ganti pria.
Allysa gemetaran dan keringat dingin mengucur dari pelipisnya seperti habis bertanding basket.
Perasaan
ini sama seperti saat mereka jatuh cinta, tiga tahun lalu. Juga di kamar ganti seperti
ini, saat pelajaran
basket di hari pertama masuk sekolah. Dia mencoba menggeleng, namun rasanya
berat. Dia hanya terdiam menatap mata hazel berkilauan itu dengan kaku.
“Lupakan saja. Apa kau mencari ini ?”
Justin menyodorkan sepucuk kertas putih yang masih bersih. Ya, kertas itu adalah halaman diary – nya yang disobek Shay hingga berada di tangan orang yang memang harus menerimanya.
“Tidak usah khawatir. Jika kau menginginkan ini, datanglah ke Taman itu malam nanti ya Shawty.”
“Lupakan saja. Apa kau mencari ini ?”
Justin menyodorkan sepucuk kertas putih yang masih bersih. Ya, kertas itu adalah halaman diary – nya yang disobek Shay hingga berada di tangan orang yang memang harus menerimanya.
“Tidak usah khawatir. Jika kau menginginkan ini, datanglah ke Taman itu malam nanti ya Shawty.”
Justin
mencium kening Allysa lembut dan pergi. Allysa terbelalak kaget setelah terdiam
beberapa saat. ‘Shawty’. Ternyata Justin masih mengingat nama sayangnya pada
Allysa. Keningnya masih terasa hangat. Rasa dinginnya lantai kamar ganti seolah
hilang begitu saja. Sejenak dia merasakan ada sesuatu yang membuatnya
tersenyum.
*****
Allysa Hayon Point Of View
Allysa Hayon Point Of View
Sekarang
sudah pukul enam sore. Atau malam? Ah aku tidak peduli. Jika aku datang terlalu
cepat, tak apa. Akan kutunggu sampai Justin datang.
“Allysa. Makan malammu sudah siap sayang.” Suara mama menyeruak keras dari bawah.
“Iya Ma. Allysa turun sekarang.”
Aku memeluk mama dari belakang. Rasanya dialah satu-satunya orang tua terbaik di hidupku. Aku menyesal telah memutuskan telefonnya tadi.
“Allysa. Makan malammu sudah siap sayang.” Suara mama menyeruak keras dari bawah.
“Iya Ma. Allysa turun sekarang.”
Aku memeluk mama dari belakang. Rasanya dialah satu-satunya orang tua terbaik di hidupku. Aku menyesal telah memutuskan telefonnya tadi.
“Ada
apa Allysa ? Mengapa kau cantik sekali hari ini?” Kata Mama sambil melihatku
tajam.
“Nothing Mom. Aku hanya ingin pergi. Boleh ya ?” Mama terdiam sejenak. Aku yakin dia tidak akan mengijinkanku seperti biasanya. Dia sangat overprotektif padaku. Terlihat dia tersenyum, “Pasti dengan Justin.” Gumam Mama pelan.
“Apa ?” Ucapku, “Aku dengar itu Ma.”
“Nothing Mom. Aku hanya ingin pergi. Boleh ya ?” Mama terdiam sejenak. Aku yakin dia tidak akan mengijinkanku seperti biasanya. Dia sangat overprotektif padaku. Terlihat dia tersenyum, “Pasti dengan Justin.” Gumam Mama pelan.
“Apa ?” Ucapku, “Aku dengar itu Ma.”
Ini adalah pilihan terakhirku agar bisa
menemui Justin. Aku tidak mau mengecewakan Justin lagi. Mama menyuruhku
mencicipi semua masakannya baru aku di izinkan untuk pergi. Sebanyak
ini? Mama justru sibuk mengusap-usap meja makan menatapku, dia pikir aku akan
senang melahap semuanya. Sifat
Mama kembali menyebalkan. Satu demi satu makanan di piring aku cicipi, tidak
sedikit yang Mama mohon aku habiskan.
Astaga!
Aku sudah
terlambat. Sudah pukul delapan malam, yang benar saja? Bagaimana kalau Justin masih
menunggu disana. Atau bagaimana jika telah pergi? Artinya aku hanyalah gadis
payah yang menyiakannya. Segera
aku berlari keluar rumah, ku tinggal tasku. Lagian parfumku juga habis untuk
apa harus membawa tas tanpa parfum. Aku berlari saja mengejar waktu.
Terlihat
rumah Shay yang menyala karena lampu di terasnya. Shay kelihatan sedang
menelfon seseorang dengan senyumannya. Tumben malam-malam dia berani
keluar rumah. Mungkin dia
sedang berbicara dengan
pacar barunya? Ah. Aku tidak peduli. Dia bukan sahabatku lagi. Cepat cepat
aku berlarian kecil ke
taman. Ternyata sudah sepi sekali. Tak ada tanda kehidupan disini. Mungkin
Justin benar-benar
sudah pergi.
Aku berkeliling. Kutemukan seorang pria yang berdiri di cafetaria dekat taman. Dia Justin. Mungkin yang dia maksud adalah Café, bukan taman. Aku menepuk pundaknya. Dia tidak menggubrisku.
Aku berkeliling. Kutemukan seorang pria yang berdiri di cafetaria dekat taman. Dia Justin. Mungkin yang dia maksud adalah Café, bukan taman. Aku menepuk pundaknya. Dia tidak menggubrisku.
“Di
Café dekat taman Shay.”
Aku
terperanjat. Shay? Shay siapa? Shay pacar barunya, bukankah aku dan
Justin? Ada apa ini.
You're on the phone
With your girlfriend
She's upset
She's going off about
Something that you said
She doesn't get your humor
Like I do
With your girlfriend
She's upset
She's going off about
Something that you said
She doesn't get your humor
Like I do
Justin
memutuskan telefonnya dan melihatku. Matanya menjadi berbinar-binar.
“Shay ? Shay yang berambut coklat itu ?” Ucapku spontan. Justin hanya tersenyum kecil. Dia berubah sangat dewasa.
“Kebetulan sekali Allysa. Mengapa kau ada disini ?” Ucapnya.
“Bukannya tadi siang kau mengajakku bertemu di taman sore ini.”
Justin melirik jam tangannya.
“Shay ? Shay yang berambut coklat itu ?” Ucapku spontan. Justin hanya tersenyum kecil. Dia berubah sangat dewasa.
“Kebetulan sekali Allysa. Mengapa kau ada disini ?” Ucapnya.
“Bukannya tadi siang kau mengajakku bertemu di taman sore ini.”
Justin melirik jam tangannya.
“Ini sudah pukul delapan malam. Bukannya besok kau harus masuk pagi ya ?”
“Maaf aku terlambat. Tidak. Kau pikir aku ini satpam harus selalu masuk pagi.” Aku mengerucutkan bibirku. Justin lalu bangkit dari duduknya.
“Allysa. Kau mau membantuku kan? Tolong kau jaga meja ini ya. Jangan sampai ditempati oranglain.”
Dia berlari keluar café. Meninggalkanku. Bahkan dia tidak menggubris pembicaraanku tentang janjinya tadi siang, justru pergi begitu saja? Ya tuhan. What the hell yeah.
“Hanya sampai setengah Sembilan.” Teriakku menyanggupinya.
“Maaf aku terlambat. Tidak. Kau pikir aku ini satpam harus selalu masuk pagi.” Aku mengerucutkan bibirku. Justin lalu bangkit dari duduknya.
“Allysa. Kau mau membantuku kan? Tolong kau jaga meja ini ya. Jangan sampai ditempati oranglain.”
Dia berlari keluar café. Meninggalkanku. Bahkan dia tidak menggubris pembicaraanku tentang janjinya tadi siang, justru pergi begitu saja? Ya tuhan. What the hell yeah.
“Hanya sampai setengah Sembilan.” Teriakku menyanggupinya.
Aku terduduk lemas, menggerutu
sendirian lagi. Dunia begitu kejam padaku, apa salahku sebenarnya? Aku
dilempar-lemparkan, mulai dari orangtuaku sendiri hingga Justin. Sekarang apa?
Ingin mengambil halaman diaryku saja harus menunggu satu juta tahun cahaya.
“Tega sekali kau Justin, ini sudah jam sembilan lebih.” Aku bangkit, menghantam
meja. Ku tinggalkan beberapa lembar uang.
“Sial.” Rerintikan air hujan mulai
berjatuhan. Aku tidak membawa tas, tidak membawa apa-apa selain uangku juga
telah habis membayar sewa duduk di cafe. Sial sekali. Aku berjalan lesu ditengah hujan.
Justin belum memutuskanku. Tapi mengapa dia bertelepon dengan gadis lain dan
membatalkan janjinya padaku. Sudah lebih dari jam setegah sembilan. Bahkan sudah pukul sembilan dia tidak datang. Kuputuskan
pulang. Mungkin Justin sudah pergi ketempat lain.
Aku
akan sampai ke rumah, ingin istirahat dan mengeringkan diaryku yang basah ini.
Sebuah mobil menyipratkan air hujan yang kotor di bajuku. Aku berlari mengejar mobil itu. What the fvckin girl. Langkahku terhenti melihat Justin turun dari mobil itu dan seketika berciuman dengan Shay. Jadi? Mereka berpacaran. Oh bagus semua sudah jelas disini.
Hatiku rasanya meleleh dan kakiku menjadi sangat berat. Aku terpaku tidak bergerak menyaksikan mereka berdua. Apa-apaan ini? Begitu lembut Justin melakukannya pada Shay. Harusnya itu adalah first kiss Justin untukku?
Sebuah mobil menyipratkan air hujan yang kotor di bajuku. Aku berlari mengejar mobil itu. What the fvckin girl. Langkahku terhenti melihat Justin turun dari mobil itu dan seketika berciuman dengan Shay. Jadi? Mereka berpacaran. Oh bagus semua sudah jelas disini.
Hatiku rasanya meleleh dan kakiku menjadi sangat berat. Aku terpaku tidak bergerak menyaksikan mereka berdua. Apa-apaan ini? Begitu lembut Justin melakukannya pada Shay. Harusnya itu adalah first kiss Justin untukku?
I'm in my room
It's a typical tuesday night
I'm listening to the kind of music
She doesn't like
She'll never know your story
Like I do
It's a typical tuesday night
I'm listening to the kind of music
She doesn't like
She'll never know your story
Like I do
*****
Author Point Of View
Sudah
sangat larut dan Allysa masih
saja menangis. Terus saja dia tidak menggubris teriakan mamanya dari
bawah untuknya mengecilkan volume musik yang ia putar. Dia menangis keras namun
tersamarkan hujan lebat dan musik yang diputar kontras dengan suasana hatinya.
“Mengapa hari ini begitu menyebalkan!” dengan keras Allysa membanting tubuhnya ke kasur dan membuang asal tissue dari tangannya. Lihat seisi kasur telah penuh dengan tissue sekarang. Allysa berteriak-teriak mulai gila. “Rasanya baru kemarin Justin aku pamitkan pergi, kenapa aku harus pergi, bodohnya aku! Arrghhh!”
“Mengapa hari ini begitu menyebalkan!” dengan keras Allysa membanting tubuhnya ke kasur dan membuang asal tissue dari tangannya. Lihat seisi kasur telah penuh dengan tissue sekarang. Allysa berteriak-teriak mulai gila. “Rasanya baru kemarin Justin aku pamitkan pergi, kenapa aku harus pergi, bodohnya aku! Arrghhh!”
“ Justin. Shay adalah
orang yang tidak bisa dipercaya. Ketahuilah aku mengenalnya dengan segala kecerobohannya. Dia tetap saja Shay yang ceroboh dan jahat.
Justin kau tau, dia tidak berperasaan. Mengertilah. Aku takut kau terluka. Dia
tidak pernah tahu cerita tentang kita.”
*****
Allysa Hayon Point Of View
Allysa Hayon Point Of View
Aku mencoba satu persatu parfum disini. Sementara
mama masih berbelanja. Wajahku kucel sekali pasti, apalagi aku belum mandi. Aku harus berbohong tentang semalam. Harusnya
aku masih meringkuk manja di kasurku dan bersembunyi dibalik selimut. Tapi
sekarang. Aku berada di sebuah Bazar di sepanjang St. Grange dengan T-Shirts
dan celana jeans yang usang. Seperti gelandangan. Aku tidak peduli, sekarang
tidak akan ada yang memujiku lagi. Kecuali Justin. Tidak ada yang mengerti. Dia mengerti aku luar dalam,
dia pasti tertipu oleh Shay
“Allysa! Kau ini kenapa? Daritadi hanya diam saja? Kau sakit?” seketika mama mengusap keningku dengan nada cemas. Aku menggeleng perlahan, jangan lagi Tuhan. Hapuskan lelaki itu dari otakku.
“Allysa! Kau ini kenapa? Daritadi hanya diam saja? Kau sakit?” seketika mama mengusap keningku dengan nada cemas. Aku menggeleng perlahan, jangan lagi Tuhan. Hapuskan lelaki itu dari otakku.
But she wears short skirts
I wear t-shirts
She's cheer captain
And i'm on the bleachers
Dreaming about the day
When you wake up and find
That what you're looking for
Has been here the whole time
Tiba – tiba aku mencium bau parfum seperti yang kubelikan untuk Justin dulu. “Kenapa lagi?” tanya mama menyelidik. Mungkin gerakanku terlalu refleks. Pandanganku tertuju pada sepasang kekasih yang taklain adalah Justin dan Shay. Mereka bercanda melewatiku begitu saja. “Pantas saja.” Desisku berat.
I wear t-shirts
She's cheer captain
And i'm on the bleachers
Dreaming about the day
When you wake up and find
That what you're looking for
Has been here the whole time
Tiba – tiba aku mencium bau parfum seperti yang kubelikan untuk Justin dulu. “Kenapa lagi?” tanya mama menyelidik. Mungkin gerakanku terlalu refleks. Pandanganku tertuju pada sepasang kekasih yang taklain adalah Justin dan Shay. Mereka bercanda melewatiku begitu saja. “Pantas saja.” Desisku berat.
If you could see
That i'm the one
Who understands you
Been here all along
So why can't you
See you belong with me
You belong with me.
That i'm the one
Who understands you
Been here all along
So why can't you
See you belong with me
You belong with me.
Lagi-lagi hanya
Justin yang terbesit. Bukannya
aku dan Justin tidak pernah mengatakan kata putus? Mengapa Justin dan Shay
malah berpacaran. Apa yang sebenarnya terjadi. Apa aku hanya bermimpi saja. Kurasakan sesuatu membuat pinggangku geli.
Benar saja, I-phoneku bergetar, ada panggilan masuk.
“Iya Ma.”
“Mama sudah pulang sayang. Mama naik taksi, karena belanjaan mama sangat banyak. Kau bisa pulang sendiri kan sayang ?”
Cerocos mama di ujung sana. Mungkin mama sudah sampai di rumah.
“Baiklah. Ma”
Ucapku lesu sambil berjalan pulang. Astaga aku melihat mereka lagi. Mereka tertawa lepas di bangku taman. Seakan dunia milik mereka berdua, sampai -sampai aku yang melewatinya mereka tidak sadar.
“Iya Ma.”
“Mama sudah pulang sayang. Mama naik taksi, karena belanjaan mama sangat banyak. Kau bisa pulang sendiri kan sayang ?”
Cerocos mama di ujung sana. Mungkin mama sudah sampai di rumah.
“Baiklah. Ma”
Ucapku lesu sambil berjalan pulang. Astaga aku melihat mereka lagi. Mereka tertawa lepas di bangku taman. Seakan dunia milik mereka berdua, sampai -sampai aku yang melewatinya mereka tidak sadar.
Walking the streets
With you and your worn out jeans
I can't help thinking
This is how it ought to be
Laughing on a park bench
Thinking to myself
Hey, isn't this easy?
With you and your worn out jeans
I can't help thinking
This is how it ought to be
Laughing on a park bench
Thinking to myself
Hey, isn't this easy?
Aku berdeham kecil
saat melewati mereka. Kuharap mereka merasa terganggu dan menyadari kehadiranku
yang sedari tadi melihati mereka.
“Kembalikan isi diaryku Just.” Aku menagih janjinya kemarin, sebenarnya hanya modus untuk mendapatkan perhatiannya. Dia terlihat masih asyik dengan Shay, begitupun sebaliknya.
“Apa ?” Tanyanya.
“Kau bilang kau akan mengembalikannya bukan ?”
“Tapi kau datang terlambat.”
Justin masih merangkul pundak Shay yang asyik memakan Kembang Gula. Makanan kesukaanku dan Justin. Aku masih terpaku di depan mereka. “Allysa. Kau bau sekali ya.” Sindir Shay. Justin malah mencubit pipinya, persis dengan caranya mencubit pipiku saat perpisahan kami. Aku terperangah saat dua sejoli itu malah meninggalkanku pergi. “Bau?” desisku, kurang ajar sekali gadis itu. Kalau bukan pacar Justin aku akan merobek mulutnya.
“Iya pergilah.”
“Shay, kau tidak boleh berucap seperti itu.”
“Kenapa? Dia tidak pantas berdekatan dengan kita.”
“Baik! Aku pergi.”
Justin menatapku bingung dan dengan tatapan tajam menatap Shay. “Tunggu Allysa!” aku menoleh. Lelaki itu menatapku penuh arti namun tertahan oleh lengannya yang dikait erat oleh perempuan busuk itu.
“Kembalikan isi diaryku Just.” Aku menagih janjinya kemarin, sebenarnya hanya modus untuk mendapatkan perhatiannya. Dia terlihat masih asyik dengan Shay, begitupun sebaliknya.
“Apa ?” Tanyanya.
“Kau bilang kau akan mengembalikannya bukan ?”
“Tapi kau datang terlambat.”
Justin masih merangkul pundak Shay yang asyik memakan Kembang Gula. Makanan kesukaanku dan Justin. Aku masih terpaku di depan mereka. “Allysa. Kau bau sekali ya.” Sindir Shay. Justin malah mencubit pipinya, persis dengan caranya mencubit pipiku saat perpisahan kami. Aku terperangah saat dua sejoli itu malah meninggalkanku pergi. “Bau?” desisku, kurang ajar sekali gadis itu. Kalau bukan pacar Justin aku akan merobek mulutnya.
“Iya pergilah.”
“Shay, kau tidak boleh berucap seperti itu.”
“Kenapa? Dia tidak pantas berdekatan dengan kita.”
“Baik! Aku pergi.”
Justin menatapku bingung dan dengan tatapan tajam menatap Shay. “Tunggu Allysa!” aku menoleh. Lelaki itu menatapku penuh arti namun tertahan oleh lengannya yang dikait erat oleh perempuan busuk itu.
SKIP
Seminggu berlalu sejak kejadian itu. Justin bahkan tidak
mencariku, padahal saat itu wajahnya begitu merasa bersalah. Ah atau aku hanya
mengharap lebih-lebih. Aku bodoh. Kuputuskan
untuk kembali ke L.A lebih cepat. Tidak perlu tahun depan atau dua tahun lagi.
Aku ingin ke L.A besok pagi. Aku tidak peduli. Aku muak dengan Justin dan Shay.
Mereka keterlaluan bagiku. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri. Kejadian
seminggu lalu itu untuk terakhirnya aku melihat Justin.
Malam ini aku berkemas dan akan membelikan oleh-oleh untuk Papa. Ku harap papa menyukai seleraku. Karena biasanya yang memilihkan belanjaanku adalah Justin. Selera Papa dan Justin selalu sama.
Malam ini aku berkemas dan akan membelikan oleh-oleh untuk Papa. Ku harap papa menyukai seleraku. Karena biasanya yang memilihkan belanjaanku adalah Justin. Selera Papa dan Justin selalu sama.
Aku jengah. Kakiku juga mulai pegal disini. Aku memilihkan beberapa kemeja untuk
Papa. Tidak ada yang kusukai. Padahal aku sudah lelah berkeliling Stratford.
Kurasa kota ini sangat kecil, tidak ada mode yang bagus pula. Aku menyerah.
Kucari I-phoneku di dalam tas.
“Shay.”
“Siapa ini ?” Ucap Shay sangat ketus.
“Allysa.”
“Mau apa ?”
“Boleh aku pinjam pacarmu sebentar. Aku besok akan pulang ke L.A dan hari ini aku akan mencarikan oleh oleh untuk -- “
“Siapa ini ?” Ucap Shay sangat ketus.
“Allysa.”
“Mau apa ?”
“Boleh aku pinjam pacarmu sebentar. Aku besok akan pulang ke L.A dan hari ini aku akan mencarikan oleh oleh untuk -- “
Tuutt .. Tuutt .. Tuut
Shay memutuskan
sambungan telefonnya. Gadis ini jahat sekali. Tidak sopan. Apa iya aku harus
menjemput Justin. Aku tidak punya nomor ponselnya. Bagaimana ini. Aku sudah
membeli tiket pesawat untuk besok pagi. Aku tertunduk lesu kusandarkan tubuhku
pada sebuah manekin.
Kusilangkan kakiku kedepan. Badanku pegal sekali.
Kusilangkan kakiku kedepan. Badanku pegal sekali.
“Allysa?” Suara
seseorang mengagetkanku.
“Maaf.” Jawabku sambil mengucek mataku perlahan.
“Maaf.” Jawabku sambil mengucek mataku perlahan.
JUSTIN ?!
“Just. Ini benar kau
Just ?” Ujarku refleks
mencubiti pipinya. Aku bahagia sekali, disaat aku benar-benar
membutuhkannya, dia hadir disini. Justin kebingungan namun menyambutnya dengan
senyuman lebar. Giginya terderet rapi. Manis.
“Yes Shawty. It’s me.”
“Jadi Shay mengizinkanmu pergi bersamaku ya ?”
Ucapku melengking sangat keras. Justin segera mengisyaratkanku diam. Dia menunjuk sepasang kekasih yang sedang saling menyuapi makanan mereka di depan etalase, tepat di depan butik kami berdiri. Itu kan Shay. Aku memandang Justin perlahan. Matanya seolah dikecewakan oleh gadis menyebalkan itu.
“Yes Shawty. It’s me.”
“Jadi Shay mengizinkanmu pergi bersamaku ya ?”
Ucapku melengking sangat keras. Justin segera mengisyaratkanku diam. Dia menunjuk sepasang kekasih yang sedang saling menyuapi makanan mereka di depan etalase, tepat di depan butik kami berdiri. Itu kan Shay. Aku memandang Justin perlahan. Matanya seolah dikecewakan oleh gadis menyebalkan itu.
Justin
menceritakan semua yang terjadi padanya. Shay, masih saja sebagai Shay
Misuraca. Shay yang tidak bisa dipercaya. Kasihan Justin. Shay berselingkuh
dengan pria lain, seperti yang tadi kami lihat. Rasanya aku akan meledak,
mendengar Justin di sia – siakan oleh seorang gadis yang menyebalkan seperti
Shay. Justin semakin terlarut dalam kesedihannya.
“Kau tak apa Just,”
Ucapku sambil memegang pundaknya.
Dia tersenyum sangat tulus padaku. Senyuman yang seminggu tak kulihat namun rasanya sudah seumur hidup kami berpisah.
“Ya Shaw -- Allysa. Aku tak apa apa.”
Dia tersenyum sangat tulus padaku. Senyuman yang seminggu tak kulihat namun rasanya sudah seumur hidup kami berpisah.
“Ya Shaw -- Allysa. Aku tak apa apa.”
Aku tersenyum, dia ragu memanggilku Shawty.
“Aku shawty. Bukan Allysa. Hahaha.”
Justin ikut tertawa denganku.
Justin ikut tertawa denganku.
“ Kau hebat Justin. Aku tahu seuanya
akan seperti ini. Kau akan dicampakkannya dengan jelas.
Tapi kau tetap Justin. Senyumanmu itu berlambang kau menghormati wanita dankau juga tidak akan mendendam pada Shay.”
And you've got a smile
That could light up this whole town
I haven't seen it in awhile
Since she brought you down
Tapi kau tetap Justin. Senyumanmu itu berlambang kau menghormati wanita dankau juga tidak akan mendendam pada Shay.”
And you've got a smile
That could light up this whole town
I haven't seen it in awhile
Since she brought you down
You say you're fine
I know you better than that
Hey whatchu doing
With a girl like that
She wears high heels
I wear sneakers
She's cheer captain
I'm on the bleachers
Dreaming about the day
When you wake up and find
That what you're looking for
Has been here the whole time
If you could see
That i'm the one
Who understands you
Been here all along
So why can't you
See you belong with me
I know you better than that
Hey whatchu doing
With a girl like that
She wears high heels
I wear sneakers
She's cheer captain
I'm on the bleachers
Dreaming about the day
When you wake up and find
That what you're looking for
Has been here the whole time
If you could see
That i'm the one
Who understands you
Been here all along
So why can't you
See you belong with me
Standing by and
Waiting at your backdoor
All this time
How could you not know
Baby
You belong with me
You belong with me.
Waiting at your backdoor
All this time
How could you not know
Baby
You belong with me
You belong with me.
“Kau akan pergi?” Kata Justin sembari memilihkan baju
untuk papa. Dia sudah tahu setiap kali aku memintanya untuk
berbelanja ke butik, dia hafal setiap kehidupanku.
“Iya begitulah.” Dia tersenyum polos namun selanjutnya menyimpan kekecewaan berat. Berulang dia mendesah. Justin maafkan aku sebenarnya aku senang jika kau putus dengan Shay. Namun kelihatannya kau terlalu mencintainya melebihi cintamu padaku. Tapi aku yakin Just. Kau akan lebih mencintaiku lagi. Atau kau akan menemukan gadis selain aku dan Shay jika aku pergi nanti.
“Iya begitulah.” Dia tersenyum polos namun selanjutnya menyimpan kekecewaan berat. Berulang dia mendesah. Justin maafkan aku sebenarnya aku senang jika kau putus dengan Shay. Namun kelihatannya kau terlalu mencintainya melebihi cintamu padaku. Tapi aku yakin Just. Kau akan lebih mencintaiku lagi. Atau kau akan menemukan gadis selain aku dan Shay jika aku pergi nanti.
****
“Yang benar saja..”
Ucapku menggoda pada Papa. Sudah setahun aku tinggal disini, di L.A bersama
papa.
“Iya sayang. Bagaimana kau setuju ?”
“Tentu saja. Asalkan papa senang.”
“Iya sayang. Bagaimana kau setuju ?”
“Tentu saja. Asalkan papa senang.”
Hari ini papa bilang
kami akan pergi ke Stratford lagi untuk menjemput Mama. Papa ingin kembali
bersama Mama. AKu yakin Tuhan mau mengabulkan doaku. Akhirnya kami bahagia
seperti ini. Setelah sekian lama Papa – Mama pisah ranjang bahkan tinggal di
kota yang jauh sangat jauh berbeda.
Kulangkahkan kakiku
ke rumah mama. Sepi sekali, mungkin mama sedang berbelanja seperti biasanya.
Kudengar bunyi dawai gitar terpetik merdu. Seseorang memainkannya. Malam yang dingin dan ditemani suara gitar pasti akan lebih seru. Aku keluar rumah.
Ku ikuti suara gitar itu. Ternyata di taman. Taman ini, taman favorit Justin. Tempat kami berpisah sebelumnya. Seorang lelaki duduk termenung sambil memetik gitar dan membelakangiku. Kuyakin dia Justin, lihat saja. Dia bisa ditebak. Satu-satunya orang kidal yang kukenal. Haha. Aku sedikit bisa melupakannya di L.A. Disana aku terlalu sibuk basket dan bertanding jadi aku berhasil melupakan Justin sepenuhnya. Tidak ada cinta lagi. Di hatiku hanya ada perasaan teman biasa saja.
Kudengar bunyi dawai gitar terpetik merdu. Seseorang memainkannya. Malam yang dingin dan ditemani suara gitar pasti akan lebih seru. Aku keluar rumah.
Ku ikuti suara gitar itu. Ternyata di taman. Taman ini, taman favorit Justin. Tempat kami berpisah sebelumnya. Seorang lelaki duduk termenung sambil memetik gitar dan membelakangiku. Kuyakin dia Justin, lihat saja. Dia bisa ditebak. Satu-satunya orang kidal yang kukenal. Haha. Aku sedikit bisa melupakannya di L.A. Disana aku terlalu sibuk basket dan bertanding jadi aku berhasil melupakan Justin sepenuhnya. Tidak ada cinta lagi. Di hatiku hanya ada perasaan teman biasa saja.
“ Oh, I remember
You driving to my house
In the middle of the night
I'm the one who makes you laugh
When you know you're about to cry
And I know your favorite songs
And you tell me about your dreams
Think I know where you belong
Think I know it's with me
Can't you see
That i'm the one
Who understands
Been here all along
So why can't you see?
You belong with me.
Have you ever thought
Just maybe
You belong with me?”
Aku bernyanyi lagu
favoritku itu. Darimana Justin tau kalau itu lagu favoritku ya ? Apa hanya
kebetulan saja. Aku lanjut bernyanyi diiringi suara petikan gitar Justin yang
memejamkan matanya.
Kulihat dia terperanjat kaget dan berdiri.
Kulihat dia terperanjat kaget dan berdiri.
ALLYSAAA !!
Serunya sangat senang dan bahagia sekali. Aku tak kalah senangnya. Tubuhku di
raihnya dan diputar putar, seperti anak kecil yang mendapat mainan baru.
“Hentikan Just.” Perintahku pada Justin.
Dia masih tak banyak berubah. Hanya tubuhnya bertambah tinggi, bahkan lebih tinggi dariku. Gaya rambutnya juga berubah. Bahkan dia sangat tampan sekarang.
“Ada apa ?” Tanya Justin sambil membuyarkan lamunanku.
“Kau masih mengingat lagu itu ?”
“Tentu saja. Setiap Hari selasa malam aku memainkan gitarku.” Jawabnya santai,
“Hanya saja, malam ini lebih lengkap. Karena ada yang mau menyanyikannya denganku.”
“Ohya Just ?”
“Hentikan Just.” Perintahku pada Justin.
Dia masih tak banyak berubah. Hanya tubuhnya bertambah tinggi, bahkan lebih tinggi dariku. Gaya rambutnya juga berubah. Bahkan dia sangat tampan sekarang.
“Ada apa ?” Tanya Justin sambil membuyarkan lamunanku.
“Kau masih mengingat lagu itu ?”
“Tentu saja. Setiap Hari selasa malam aku memainkan gitarku.” Jawabnya santai,
“Hanya saja, malam ini lebih lengkap. Karena ada yang mau menyanyikannya denganku.”
“Ohya Just ?”
Kami lalu menyanyikan
lagu itu hingga larut malam. Dingginnya malam ini tidak mengalahkan hangatnya
hubungan kami. Bahkan kami bernyanyi keras – keras.
“You belong with me.”
Ucap Justin di akhir lagu. Nadanya seperti orang bertanya.
“Maksudmu Just ?”
“Maksudmu Just ?”
Justin berdiri dan
menyuruhku untuk tetap tinggal di taman ini. Setengah jam berlalu. Ayolah
Justin. Aku mengantuk. Jangan biarkan aku pergi meninggalkanmu lagi.
Seseorang berlari di belakangku. Justin.
Seseorang berlari di belakangku. Justin.
“Kau ini. Dingin
begini malah keringatan.” Ucapku sambil tertawa.
“Aku melupakan sesuatu Shawty. Ini.” Justin menyodorkan sebuah kertas yang sudah mulai berubah warna menjadi kekuningan. Astaga. Ini isi diaryku yang waktu itu. Justin masih menyimpannya. Kubaca lagi isinya. Hanya sebagian tulisanku yang masih bisa dibaca, yang lain luntur.
“You belong with me ?” Ejaku perlahan.
“Aku melupakan sesuatu Shawty. Ini.” Justin menyodorkan sebuah kertas yang sudah mulai berubah warna menjadi kekuningan. Astaga. Ini isi diaryku yang waktu itu. Justin masih menyimpannya. Kubaca lagi isinya. Hanya sebagian tulisanku yang masih bisa dibaca, yang lain luntur.
“You belong with me ?” Ejaku perlahan.
“Kau tahu. Aku menyesal telah menaruh hati pada Shay. Aku sadar perpisahan kita itu bukan lah akhir hubungan cinta kita Shawty. Kau belum memutuskanku, begitu juga aku. Aku melupakanmu karena Shay. Aku, aku kasihan padanya waktu dia kau marahi saat itu. Dia menghasutku supaya mau menemaninya. Salahku, aku melupakanmu. Bahkan jatuh cinta padanya. Maafkan aku. Aku sadar kau masih milikku dan kita masih berpacaran.”
Jelas Justin panjang lebar. Aku termenung. Mendengar ucapannya membuat aku menangis. Aku teringat lagi pada kenangan bersama Justin. Aku mencintainya lagi.
“Do you belong with me shawty ?”
Bibirku bergetar jika ingin menjawabnya. Justin merengkuh wajahku perlahan. Matanya itu ya Tuhan. Binar matanya di kegelapan masih bersinar. Dia membawaku ke dunianya, dia membawaku terjebak dalam cintanya. Aku sadar telah menantinya sangat lama. Sudah 4 tahun aku dan dia tidak berkomunikasi. Aku heran mengapa dia masih setia seperti ini.
“Shawty ?”
“Yes I do Just. You belong with me , Justin.”
“ Aku kehilangan matahariku,
Namun dia akan tetap setia menyinari duniaku dengan cintanya
Jika aku akan kembali
Di akhir cerita aku akan menggenggamnya lagi
Karena dia masih milikku.. “
Namun dia akan tetap setia menyinari duniaku dengan cintanya
Jika aku akan kembali
Di akhir cerita aku akan menggenggamnya lagi
Karena dia masih milikku.. “
So what do you think about this? Credit me on twitter @stelldc xx
0 comments: