Monday, 8 September 2014

0

I HEAR YOUR HEARTBEATS 8

I HEAR YOUR HEARTBEATS 8
*****
Author Point Of View



Tak ada lagi semburat yang melukis bibir keduanya. Mereka masih terdiam dalam dekap masing-masing. Bahkan suasana api unggun yang mengelilingi mereka, terbendung sorot rasa yang sama membakar setiap hati. Begitupun disudut mata lelaki itu sedang memperhatikan jelas gadis yang meletakkan dagunya sambil menekuk lututnya pada sebuah pohon. Berada di kejauhan.


Kembali Wero menarik nafasnya yang terasa sesak sendirian. Ditatapinya ransel yang penuh dengan buku yang sehabis ia kenakan. Tinggal menunggu pengumuman olimpiade. Kini sendirian dia menikmati hening suasana malam, sementara di kejauhan anak-anak lain sedang menghabiskan waktu seperti pada umumnya. Wero hanya menatap kosong setiap rumput yang diterpa angin itu, sambil mengusap-usap mata cincin yang melingkar dijari manisnya.
          “Ehm. Mungkin ini akan sedikit menghangatkanmu.”
Dengan penuh senyuman Zayn juga meneguk segelas kopi yang sama dengan yang Wero ambil. Kemudian ikut duduk tepat disamping Wero yang tengah bersandar pada lututnya. Ditatapnya Wero yang masih melamun memandang jauh ke arah api unggun didepan mereka. Matanya tajam menatap apa yang lelaki berambut emas disana lakukan. Justin masih terus bergitar tanpa memperdulikan Wero yang sedang menjauh.

“Kau tidak bergabung?” Tanya Zayn lembut. Wero hanya menggeleng.
“Bagaimana kalau kita sekedar berjalan-jalan, aku dengar didekat sini ada gua, dan air sungai mengalir didepannya. Pasti menyenangkan kita bisa menikmati suasana disana.”

Gadis itu menatap Zayn sejenak, dirasanya ragu untuk ikut. Langit mendung tanpa bintang yang biasa menghiasinya, dan sudah hampir larut. Dadanya berdebaran dan melirik seseorang yang sedaritadi berkutat di lamunannya. Sejak kejadian didepan apartement itu, hingga kini belum juga keduanya saling bicara. Bahkan Wero harus menahan rasa cemburu saat Justin seringkali bersama Selena didepannya. Seolah menganggapnya tidak ada. Gadis itu menarik nafasnya.
              “Baiklah.” Diraihnya tangan Zayn yang mulai menggandengnya masuk ke dalam semak belukar dibelakang mereka, perlahan menjauh dari tenda.
“Tidak ada gunanya mengharapkanmu. Kau samasekali tidak menganggapku ada. Ini kenyataannya aku bukan siapa-siapa untukmu. Pernikahan itu hanya perjodohan tanpa rasa, Justin.”
“Apa?”
               Wero terhenyak menyadari langkah mereka sudah meraih sebuah mulut gua yang cukup megah. Zayn sedang melindungi satu-satu penerang jalan mereka dari air hujan yang mulai rerintikan.
“Bisa kau ulangi Wero? Aku tidak mendengarmu.” Zayn sedikit berteriak karena air hujan itu melebat dan angin kencang menerpa payung yang dipegang erat oleh Wero. Gadis itu tersadar dari lamunannya. Dia hanya menggeleng dan mempertahankan payungnya. Zayn mulai menenangkan diri sementara hujan semakin lebat. Berulangkali dia menghidupkan senternya yang mati terkena air tadi.
“Sial.” Lelaki itu membuang senternya dan menarik tangan Wero. Angin berhembus semakin kencang, payung mereka terlepas. Wero menatap Zayn cemas.
“Bagaimana kita bisa kembali? Kita terlalu jauh meninggalkan tenda.”
“Ayo Wero!”
Segera Zayn tidak berpikir panjang menarik lengan Wero. Mereka berlarian memasuki gua untuk meneduh, sementara dibenak Wero masih Justin yang dia pikirkan. Bukan bagaimana mereka untuk kembali ke tenda.




*****


Seorang lelaki sedang bersikukuh mengutak-atik ponselnya. Berulangkali dia mengubungi nomor seseorang yang mungkin dia cemaskan. Namun tidak ada jawaban, bahkan bisajadi ponsel yang dia hubungi tidak aktif. Dia berkeliling tenda. Sambil terus berpikir bagaimana cara untuk menenangkan perasaannya yang semakin kalut. Sementara gadis yang terus mengikutinya ikut duduk diantara anak-anak lain yang sedang berbaring.
“Bisakah kau berhenti berputar-putar seperti itu?” Suara yang lain membuyarkan lamunannya.
“Tidurlah. Dan kau akan pergi dari pandangan kami besok pagi.” Timpal seorang lainnya. Justin merasakan ada yang hilang padanya. Dengan geram dia berjalan menuju tempat mereka meringkuk, dan menarik kerah yang digunakan lelaki berambut jagung itu.
“Hei lepaskan Harry!”
“Jangan banyak bicara bodoh. Tutup mulutmu.”
Mata Justin berkilatan marah saat menatap mereka, sementara gadis yang tadi masuk ke tenda itu mencoba mengalangi mereka untuk menghajar Justin yang berani beremosi. Justin menghempaskan tubuh Harry masih pada tenda itu. Lantas melihat satu-per-satu anak-anak yang harus satu tenda dengannya sesuai ketentuan turnamen kemarin. Justin terpaksa harus bersama-sama dengan One Direction sampai kembali ke Louisville. Matanya mengamati sekali lagi lantas menatap dua kantung tidur yang tersisa.
“Dimana Zayn?” katanya setelah melihat mereka, dan tidak menemukan adik sekaligus musuh bebuyutannya itu berada ditempat yang sama. Mereka semua mengacuhkan Justin. Pikirannya langsung tertuju pada keberadaan Wero yang tadi tidak ada di tenda yang sama dengan Selena.


“Dimana Wero?”


Selena yang sedaritadi diam, hanya mengangkat bahunya ringan. Gadis itu memang sedaritadi menghabiskan waktunya bersma Justin, bahkan melupakan kalau ada Wero yang diketahuinya kekasih Justin itu. Justin mengepalkan jemarinya dan ponsel ditangannya hampir diremukkan. Dia segera membongkar ransel dan memakai mantelnya dengan cekatan, lantas membawa beberapa senter pada tangannya.
“Kau mau kemana Just?” Gadis latin itu bangkit dan menarik lengan Justin erat.
“Bukan urusanmu.”
Justin menampis tangan Selena sambil menjejakkan kakinya keluar tenda, membasahi sepatu boots yang dia kenakan dengan air yang hampir setinggi tumitnya itu. Matanya harus menyipit karena air hujan yang lebat serta angin kencang mencoba melepaskan payungnya.
“Diluar hujan lebat, aku takut. Suara petir juga terdengar sangat mengerikan. Berbahaya Just, bertahanlah ditenda saja. Aku yakin kalau Wero sedang tidak aman, dia bisa menjaga diri. Dia hanya kekasihmu Just-”
Suara Selena terdengar sayup-sayup dari tenda. Justin tetap berjalan memasuki semak belukar yang sama dan mengandalkan senternya saja untuk mencari keberadaan Wero.
“Wero adalah hidup dan matiku, aku harus mempertahankannya.”





*****
Weronika Point Of View


               Begitu rasanya leherku meremang. Dengan hawa dingin yang begitu menusuk. Aku bisa merasakan hal yang sama dengan yang Zayn kini rasakan. Dia terlihat berhangat pada mantelnya, sementara sedikit tubuhnya gemetaran sama sepertiku. Aku memandang luaran mulut gua yang dihujani dengan lebat, arahnya menyamping sesuai angin yang mulai ribut untuk mencekamkan suasana malam ini. Meskipun, begitu dekat kini aku dengan Zayn. Yang ada hanya rasa hambar. Aku bodoh. Mengapa harus terus memikirkan Justin? Bahkan tak sedikitpun Justin memikirkanku.
“Setidaknya ini bisa menghangatkanmu.”
Zayn dengan tubuh menggigil memakaikan mantelnya padaku. Aku sedikit terhenyak saat menatap matanya. Ada sebuah ketulusan disana. Tidak seperti yang biasa aku lihat dimata Justin. Justin?
               Aku kembali menggelengkan kepalaku. Rasanya aku ingin menangis sekarang. Sedaritadi ada Zayn disini namun dipikiranku hanya lelaki itu. Dia, dia samasekali tidak pernah menganggapku ada. Bahkan setelah berciuman kening didepanku waktu itu, dia belum bicara atau minta maaf padaku. Siapa aku dimatanya? Bahkan aku tidak ada saat aku sebenarnya ada.
“Zayn, terimakasih.”
“Anytime. Aku senang kalau kau merasa nyaman bersamaku.”
Aku menatap sendu setiap lekukan Zayn yang tengah memperhatikan dinding gua yang memang sangat ingin dia kunjungi ini. Dia dingin. Sama seperti Justin. Namun dia hangat, tidak seperti Justin. Andai saja aku mencintai Zayn sekarang, bukan mencintai Justin yang datang tiba-tiba di hidupku. Aku sedikit mendekat, kutelusupkan tanganku pada tubuhnya, lantas bersandar padanya.
“Wero? Kau-”
“Aku hanya ingin sejenak saja terjaga disini, bersamamu.”
Kurasakan Zayn tak lagi bergerak, hanya saja telingaku pada dadanya mendengar sesuatu. Detak jantungnya begitu cepat. Bisa kurasakan dia berdebaran sekarang. Setidaknya aku merasakan kehangatan seperti ini. Kupejamkan mataku disini, meski airmataku sudah berjatuhan sedari tadi tanpa ada suara isakan. Zayn tidak mengetahuinya.
“We-wero?” Aku mengusap pipiku cepat lantas mendongakkan kepalaku untuk menatapnya. Dia hanya menatapku penuh kekhawatiran, dan mataku menangkap pupilnya membesar dikegelapan gua ini. Tangannya tiba-tiba meraihku, memelukku begitu erat. Tubuhku ikut bergetar padanya.
“Aku mencintaimu Wero.”
Zayn berbisik lembut. Rasanya petir diluarsana kini menghinggapiku. Mulutku terbungkam. Aku ingin menangis lagi. Dengan susah payah aku mendekapnya juga dengan tanganku dipunggungnya. Kurasakan kerinduan yang begitu menusuk, namun bukan untuknya. Zayn melepaskan pelukannya padaku, dan menghadapkanku pada wajahnya. Mata kami bertemu, dijarak yang sangat dekat.
Dia meraih tengkuk leherku dan  menekannya, sementara aku masih menatap bibirnya. Sebuah kilauan memantik dimataku. Kilauan mata cincin yang ada pada leher Zayn, dijari manisku.
“Maaf Zayn. Aku tidak bisa.”
Kutarik tanganku dan menjauhkan tubuhku darinya. Justin. Aku begitu berdosa. Aku. Kulepaskan cincin itu dan menyimpannya pada sakuku. Mataku menatap Zayn yang menjadi diam sambil terus menatap kosong. Mulut kami sama-sama bungkam.






To be continued.

0 comments: