I HEAR YOUR HEARTBEATS 4
I HEAR YOUR HEARTBEATS 4
*****
*****
Mata
Wero membulat ketika Justin dengan kilat menyambar pipinya, dengan singkat
bibir Justin mengecup pipi Wero penuh perasaan. Justin tersenyum singkat lantas
berlari menuruni anak tangga. Sementara Wero, perasaannya campur aduk karena
hal tadi. Justin membuatnya marah, sebal dan dia membuatnya meleleh. Lulut
gadis itu bergetar lantas dia menaruh tangannya ke atas dadanya, merasakan
setiap rasa berdebaran karena ulah Justin tadi.
“Justin ..”
Seorang
gadis berlari sambil menyeka airmatanya perlahan sementara sekolah yang masih
sepi sebagai temannya menyaksikan orang yang dicintainya barusan mengecup pipi
gadis yang bahkan dia tidak kenal. Dia menangis terisak sementara dia terus
mengutuki dirinya yang seakan kurang sempurna untuk kekasihnya itu. Dari
matanya berkilat sebuah rasa dendam, perlahan yang merasuki hingga rasa cemburu
membakar setiap hatinya.
“Kau akan selalu menjadi milikku Justin.”
“Kau akan selalu menjadi milikku Justin.”
*****
Wero masih terpaku dengan
perlakuan Justin tadi. Semua rasa dia rasakan dengan begitu jelas dengan emosi
yang sangat melekat. Lututnya bahkan tak sanggup menahan rasa yang begitu dia
takuti. Menyukai Justin. Namun kenyataannya rasa itu juga mulai tumbuh secara
perlahan.
“Justin-” Wero tersenyum sekilas.
Gumamannya terputus saat bayangan lelaki yang sedang dia pikirkan tiba-tiba berlari didepannya. Dengan gayanya yang selangit, berhasil menebar pesona sehingga gadis-gadis yang melihatnya juga berteriak histeris. Wero menjadi canggung menatap Justin, karena banyak gadis yang menurutnya lebih cantik darinya lebih berani menunjukkan rasa cintanya itu.
“Justin-” Wero tersenyum sekilas.
Gumamannya terputus saat bayangan lelaki yang sedang dia pikirkan tiba-tiba berlari didepannya. Dengan gayanya yang selangit, berhasil menebar pesona sehingga gadis-gadis yang melihatnya juga berteriak histeris. Wero menjadi canggung menatap Justin, karena banyak gadis yang menurutnya lebih cantik darinya lebih berani menunjukkan rasa cintanya itu.
“JUSTIN!”
“JUSTIN!”
“JUSTIN!”
Wero
berubah kikuk dan berencana hendak meninggalkan bangkunya, pergi sejenak untuk
berlindung dari kerumunan gadis yang menjadi semakin banyak. Wero merogoh
tasnya dan mengeluarkan kamera keluaran canon EO5 lantas bersiap membidik. Justin
memang anak yang bandel, tanpa mengenakan kaos olahraga dia ikut bertanding
dengan kelas regular, sengaja membolos dari jam pelajarannya. Seragamnya yang
keluar dari celananya, terlihat begitu keren sepadan dengan rambutnya yang emas
tersibak diterpa angin. Sementara gerakannya sangat lincah memasukkan bola ke
dalam ring, bermain tanpa egois dan mencetakkan angka untuk dirinya sendiri. Wero
sedikit bergetar. Dia menatap Justin jauh, beruntungnya yang sedang dia
perhatikan beralih menatapnya sekilas, jari Wero tergerak memotret tatkala
Justin menatapnya dari kejauhan. Sepertinya lelaki itu juga tak memperdulikan
gadis itu. Menatap Wero sejenak lantas kembali mengacuhkannya.
*****
Perlahan
wajah gadis bermuka pucat itu bermain dengan permen karet yang juga sepucat
wajahnya, kemudian kembali dia sedikit berseri melihat sahabatnya duduk
menghampirinya sesaat.
“Barusaja aku akan mencarimu Wer.” Sapanya pada Wero yang melepaskan tas dari bahunya. Wero hanya tersenyum singkat kemudian meneguk air mineral yang dia simpan.
“Kau ada apa kenapa lebih meledak-ledak dari biasanya?” Kata Wero menggoda Krist.
“Lihat!”
Wero mengentikan minumnya lantas menatap lelaki yang barusaja lewat diantara mereka dengan kaos olahraga dan bola basket di lengannya, berjalan dengan kesan maskulin dan sangat gagah memamerkan lekuk tubuhnya yang atletis dari balik kaosnya yang samar-samar melewati mereka begitu saja dan dengan angkuh melewati siswi lain tanpa memperdulikan teriakan mereka yang histeris seolah menyambut pangeran mereka yang sehabis pulang berperang. Lelaki itu nampak begitu cerah.
“Kau ini –_ _–” Wero mengangkat kedua alisnya seolah menanyakan letak kesalahannya.
“Aku kan menyuruhmu melihat ini, bukan lelaki yang barusan lewat itu Wero.”
Wero terkekeh perlahan lantas menerima kameranya sendiri dari tangan Krist yang mengutak-atiknya sedaritadi. Memang Krist itu hobi sekali membuka-buka privasi orang, dan untunglah Wero tidak pernah menyembunyikan hal privasinya di sembarang tempat.
“Maaf maaf. Aku pikir begitu maksudmu, biasanya kan kau begitu histeris melihat cowok.”
“Yeah. Bukannya sekarang justru kau ya yang sangat histeris? Hmm.” Kristen menggumam.
“Tidak juga.” Balas Wero sekenanya. Keduanya lantas tertawa terbahak-bahak dan berjalan beriringan menuju kelas mereka.
“Barusaja aku akan mencarimu Wer.” Sapanya pada Wero yang melepaskan tas dari bahunya. Wero hanya tersenyum singkat kemudian meneguk air mineral yang dia simpan.
“Kau ada apa kenapa lebih meledak-ledak dari biasanya?” Kata Wero menggoda Krist.
“Lihat!”
Wero mengentikan minumnya lantas menatap lelaki yang barusaja lewat diantara mereka dengan kaos olahraga dan bola basket di lengannya, berjalan dengan kesan maskulin dan sangat gagah memamerkan lekuk tubuhnya yang atletis dari balik kaosnya yang samar-samar melewati mereka begitu saja dan dengan angkuh melewati siswi lain tanpa memperdulikan teriakan mereka yang histeris seolah menyambut pangeran mereka yang sehabis pulang berperang. Lelaki itu nampak begitu cerah.
“Kau ini –_ _–” Wero mengangkat kedua alisnya seolah menanyakan letak kesalahannya.
“Aku kan menyuruhmu melihat ini, bukan lelaki yang barusan lewat itu Wero.”
Wero terkekeh perlahan lantas menerima kameranya sendiri dari tangan Krist yang mengutak-atiknya sedaritadi. Memang Krist itu hobi sekali membuka-buka privasi orang, dan untunglah Wero tidak pernah menyembunyikan hal privasinya di sembarang tempat.
“Maaf maaf. Aku pikir begitu maksudmu, biasanya kan kau begitu histeris melihat cowok.”
“Yeah. Bukannya sekarang justru kau ya yang sangat histeris? Hmm.” Kristen menggumam.
“Tidak juga.” Balas Wero sekenanya. Keduanya lantas tertawa terbahak-bahak dan berjalan beriringan menuju kelas mereka.
*****
Suasana
diruangan itu menjadi kalang-kabut. Sehabis berujar demikian wanita itu
langsung diam menungu tanggapan kedua puteranya yang duduk saling berjauhan,
tak selayaknya adik dan kakak yang hidup dalam keluarga yang harmonis.
“Aku tidak sudi melakukannya!” Seorang lelaki berseragam sama dengan siswa lain disekolah ibunya itu berdiri sambil menggebrak meja dengan keras. Sementara dengan tenang lelaki yang lain nampak menahan emosi wanita paruh baya yang tengah bersungut-sungut.
“Ini semua demi ayahmu, bieber. Hanya anak biologisnya saja yang dapat meneruskan bisnis itu.”
“Sejak kapan kalian mulai berhak mengatur hidupku? Memangnya kalian siapaku?”
Justin menatap tajam lelaki yang ikut andil bicara barusan, berusaha untuk mencekiknya dengan kilatan kebenciannya tersebut. Dengan acuh-tak-acuh dia menatap ibu angkat dan saudara tirinya itu.
“Kau, harusnya kau saja, anak manja Nyonya Malik yang sangat terhormat disini. Bukan aku, yang hanya anak tirinya. Yang hanya menjadi pelengkap embel-embel nama Bieber sang Nyonya itu!”
“Aku tidak sudi melakukannya!” Seorang lelaki berseragam sama dengan siswa lain disekolah ibunya itu berdiri sambil menggebrak meja dengan keras. Sementara dengan tenang lelaki yang lain nampak menahan emosi wanita paruh baya yang tengah bersungut-sungut.
“Ini semua demi ayahmu, bieber. Hanya anak biologisnya saja yang dapat meneruskan bisnis itu.”
“Sejak kapan kalian mulai berhak mengatur hidupku? Memangnya kalian siapaku?”
Justin menatap tajam lelaki yang ikut andil bicara barusan, berusaha untuk mencekiknya dengan kilatan kebenciannya tersebut. Dengan acuh-tak-acuh dia menatap ibu angkat dan saudara tirinya itu.
“Kau, harusnya kau saja, anak manja Nyonya Malik yang sangat terhormat disini. Bukan aku, yang hanya anak tirinya. Yang hanya menjadi pelengkap embel-embel nama Bieber sang Nyonya itu!”
Plakkkk!
Tamparan
keras mulus mendarat pada pipi tirus Justin. Zayn menatap Justin dengan tatapan
membenci yang kian membara. Bukan saja musuh di lapangan basket. Mereka juga
musuh dalam satu ikatan keluarga yang sangat berkesenjangan. Emosi Justin
hampir meluap, dan mencapai ubun-ubun.
“Hentikan! Ini lingkungan sekolah. Zayn bisa saja kau terkena larangan etik saat berkunjung pada jam pelajaran sekolah lain seperti ini. Justin jaga sikapmu pada adikmu sendiri. Jangan terus bertengkar seperti ini.” Ibu itu segera berdiri dan melerai kedua puteranya. Dia begitu menyayangi Justin dan Zayn, bahkan menganggap Justin yang beda ibu seperti anaknya sendiri.
“Sekali lagi kau merendahkan ibuku, akan kubunuh kau!” Justin hanya tersenyum miring.
“Sejak dulu aku tak sudi bertemu apalagi berbicara dengan kalian.”
Dengan menahan setiap emosinya Justin beranjak dan berjalan menuju pintu.
“Ingat Justin, bersiaplah untuk besok lusa.” Ibu Zayn itu nampak begitu mencemaskan Justin. Memang dia sadar dia terlalu memaksakan kehendaknya pada putera mendiang suaminya tersebut. Apa boleh buat, semuanya juga untuk masa depan Justin. Nyonya Malik hanya melaksanakan amanat saja. Wanita itu lantas memeluk puteranya sementara Zayn mengelus pundak ibunya itu perlahan.
“Maafkan kakakmu Zayn. Ini semua karena-”
“Cukup cukup, cukup Mom. Jangan pernah membahas hal itu lagi.”
“Hentikan! Ini lingkungan sekolah. Zayn bisa saja kau terkena larangan etik saat berkunjung pada jam pelajaran sekolah lain seperti ini. Justin jaga sikapmu pada adikmu sendiri. Jangan terus bertengkar seperti ini.” Ibu itu segera berdiri dan melerai kedua puteranya. Dia begitu menyayangi Justin dan Zayn, bahkan menganggap Justin yang beda ibu seperti anaknya sendiri.
“Sekali lagi kau merendahkan ibuku, akan kubunuh kau!” Justin hanya tersenyum miring.
“Sejak dulu aku tak sudi bertemu apalagi berbicara dengan kalian.”
Dengan menahan setiap emosinya Justin beranjak dan berjalan menuju pintu.
“Ingat Justin, bersiaplah untuk besok lusa.” Ibu Zayn itu nampak begitu mencemaskan Justin. Memang dia sadar dia terlalu memaksakan kehendaknya pada putera mendiang suaminya tersebut. Apa boleh buat, semuanya juga untuk masa depan Justin. Nyonya Malik hanya melaksanakan amanat saja. Wanita itu lantas memeluk puteranya sementara Zayn mengelus pundak ibunya itu perlahan.
“Maafkan kakakmu Zayn. Ini semua karena-”
“Cukup cukup, cukup Mom. Jangan pernah membahas hal itu lagi.”
*****
Dengan perasaan gusar Justin begitu
saja menarik tasnya dari samping Skandar yang tengah bermain PSP. Skandar
memaklumi kebiasaan Justin itu. Sudah hafal benar setiap yang akan Justin
lakukan, mengapa, bagaimana dan apa yang akan dilakukan sahabatnya itu.
“Jangan melampiaskannya dengan racing Just.” Nasehat Skandar disela kesibukannya itu. Sementara Justin sama sekali tak menggubrisnya dan tetap terngiang ucapan ibu tirinya tadi.
“Aduh!” Seorang gadis mengusap kepalanya perlahan, sementara suara tawa gadis yang lain terhenti menyaksikan orang yang barusan menabrak sahabatnya adalah sahabat Skandar yang sangat mengerikan itu.
“Maaf maafkan dia Justin.”
Justin menatap tajam keduanya bergantian dan kembali berjalan dengan cepat meninggalkan kelas yang akan mereka tempati bersama itu. Kristen membantu Wero berjalan menuju bangku yang masih tersedia, Wero masih merasakan rasa ngilu karena tulang belikat Justin yang begitu kentara kerasnya.
“Justin tadi kenapa Skand?” bisik Kristen pada Skandar disebelahnya. Skandar menoleh.
“Kau ini seperti tidak tahu saja. Biasanya kan dia sedang ada masalah, entah dengan gadis, ibunya, siswa disini, anak kantin, atau anak basket lain. Paling-paling dia akan balapan sebentar lagi.”
Wero menyimak percakapan keduanya, lantas duduk menghadap Skandy sama yang seperti Krist lakukan.
“Kalau ingin membantu memperbaiki moodnya, belikan saja dia ice cream cokelat dengan toping chocochips diatasnya. Tapi, ini rahasia. Jangan sampi orang lain mengetahuinya.”
“Kau ini. Sahabat atau ibunya sih?”
Skandy menatap Kristen dengan tatapan yang membosankan. Sementara Kristen terbahak-bahak. Wero sendiri hanya tersenyum saja karena belum sepenuhnya paham dengan gaya mereka bercanda. Namun Wero sedikit mencemaskan Justin meskipun lelaki itu begitu menyebalkan dengan caranya memperlakukan Wero yang se-enaknya. Dari mulai mengejeknya, membuatnya marah, menciumnya, dan kembali mengacuhkannya.
“Dasar pemberi harapan palsu.” Desis Wero perlahan. Skand dan Kristen menoleh pada Wero.
Wero yang merasa diperhatikan melirik sebentar, lantas terkekeh. Dia mencubit pipi Krist, dan ikut tertawa dengan Skandy.
“Jangan melampiaskannya dengan racing Just.” Nasehat Skandar disela kesibukannya itu. Sementara Justin sama sekali tak menggubrisnya dan tetap terngiang ucapan ibu tirinya tadi.
“Aduh!” Seorang gadis mengusap kepalanya perlahan, sementara suara tawa gadis yang lain terhenti menyaksikan orang yang barusan menabrak sahabatnya adalah sahabat Skandar yang sangat mengerikan itu.
“Maaf maafkan dia Justin.”
Justin menatap tajam keduanya bergantian dan kembali berjalan dengan cepat meninggalkan kelas yang akan mereka tempati bersama itu. Kristen membantu Wero berjalan menuju bangku yang masih tersedia, Wero masih merasakan rasa ngilu karena tulang belikat Justin yang begitu kentara kerasnya.
“Justin tadi kenapa Skand?” bisik Kristen pada Skandar disebelahnya. Skandar menoleh.
“Kau ini seperti tidak tahu saja. Biasanya kan dia sedang ada masalah, entah dengan gadis, ibunya, siswa disini, anak kantin, atau anak basket lain. Paling-paling dia akan balapan sebentar lagi.”
Wero menyimak percakapan keduanya, lantas duduk menghadap Skandy sama yang seperti Krist lakukan.
“Kalau ingin membantu memperbaiki moodnya, belikan saja dia ice cream cokelat dengan toping chocochips diatasnya. Tapi, ini rahasia. Jangan sampi orang lain mengetahuinya.”
“Kau ini. Sahabat atau ibunya sih?”
Skandy menatap Kristen dengan tatapan yang membosankan. Sementara Kristen terbahak-bahak. Wero sendiri hanya tersenyum saja karena belum sepenuhnya paham dengan gaya mereka bercanda. Namun Wero sedikit mencemaskan Justin meskipun lelaki itu begitu menyebalkan dengan caranya memperlakukan Wero yang se-enaknya. Dari mulai mengejeknya, membuatnya marah, menciumnya, dan kembali mengacuhkannya.
“Dasar pemberi harapan palsu.” Desis Wero perlahan. Skand dan Kristen menoleh pada Wero.
Wero yang merasa diperhatikan melirik sebentar, lantas terkekeh. Dia mencubit pipi Krist, dan ikut tertawa dengan Skandy.
*****
Justin terus saja memacu motornya
sejak sore kemarin hingga sore hari ini, merasakan setiap emosinya berusaha
untuk mencelakakan dirinya sendiri namun bayangan mendiang ayahnya juga yang
terlintas berulang-kali dibenaknya. Dia berhenti setelah mengalahkan
penantang-penantangnya, namun Justin tidak menerima uang taruhan mereka. Dia
bukan anak berandalan. Hanya pelampiasan menjadi anak berandalan saja.
“Hei Just, ada yang mau menantangmu!” Justin masih tetap duduk diatas motornya. Suara motor yang hampir sama dengan milik Justin terdengar mendekat ke arah lelaki itu dengan tempo pelan.
“Mengalahlah sekali lagi untukku pecundang.”
Dengan singkat Justin menoleh dan menyaksikan Zayn-lah yang akan menantangnya untuk race. Dia menatap Zayn acuh-tak-acuh sementara Zayn masih terus tersenyum.
“Apa maksudmu? Bisabisanya bersikap manis, sementara kau sama sekali tak menghormatiku.”
“Untuk apa menghormatimu. Kau bilang kami bukan siapa-siapamu. Sudah mengalah lagi saja.”
“Kapan aku kalah darimu?” Justin memekikkan suaranya sambil menatap Zayn yang semakin menjadi.
“Nanti malam aku yang akan mengalahkan taruhan kita saat awal semester dulu. Oh ya, jangan harap aku kesini menjemputmu, Mom telah mengawalku dengan bodyguards-nya tanpa perlu melukaiku.”
Zayn tersenyum penuh kemenangan karena berhasil membungkam mulut Justin. Sementara dia menoleh memperhatikan sekeliling banyak orang dengan tubuh yang sangar dan besar telah berjajar di sepanjang badan jalan, sore itu semakin ramai karena memang Saturday night. Jalanan taman yang biasa mereka -para kawula muda- untuk berpacaran ditempat ini, ditutup untuk race antara Zayn dan Justin. Zayn yang berbuat dengan menyewa tempat ini.
“Kalian siap?”
Seorang gadis berteriak dari ujung garis start sambil membawa bendera. Keduanyapun berjalan perlahan menuju gadis itu. Secara bersamaan Justin dan Zayn merekatkan pengaman di dagu mereka dan menutup kaca helm mereka masing-masing.
“Hei Just, ada yang mau menantangmu!” Justin masih tetap duduk diatas motornya. Suara motor yang hampir sama dengan milik Justin terdengar mendekat ke arah lelaki itu dengan tempo pelan.
“Mengalahlah sekali lagi untukku pecundang.”
Dengan singkat Justin menoleh dan menyaksikan Zayn-lah yang akan menantangnya untuk race. Dia menatap Zayn acuh-tak-acuh sementara Zayn masih terus tersenyum.
“Apa maksudmu? Bisabisanya bersikap manis, sementara kau sama sekali tak menghormatiku.”
“Untuk apa menghormatimu. Kau bilang kami bukan siapa-siapamu. Sudah mengalah lagi saja.”
“Kapan aku kalah darimu?” Justin memekikkan suaranya sambil menatap Zayn yang semakin menjadi.
“Nanti malam aku yang akan mengalahkan taruhan kita saat awal semester dulu. Oh ya, jangan harap aku kesini menjemputmu, Mom telah mengawalku dengan bodyguards-nya tanpa perlu melukaiku.”
Zayn tersenyum penuh kemenangan karena berhasil membungkam mulut Justin. Sementara dia menoleh memperhatikan sekeliling banyak orang dengan tubuh yang sangar dan besar telah berjajar di sepanjang badan jalan, sore itu semakin ramai karena memang Saturday night. Jalanan taman yang biasa mereka -para kawula muda- untuk berpacaran ditempat ini, ditutup untuk race antara Zayn dan Justin. Zayn yang berbuat dengan menyewa tempat ini.
“Kalian siap?”
Seorang gadis berteriak dari ujung garis start sambil membawa bendera. Keduanyapun berjalan perlahan menuju gadis itu. Secara bersamaan Justin dan Zayn merekatkan pengaman di dagu mereka dan menutup kaca helm mereka masing-masing.
“GO!”
*****
“Dad, aku kan-”
“Sudahlah sayang. Semua ini akan dirahasiakan, Daddy mengerti kau masih bersekolah.”
“Tapi, dad. Aku masih ingin menikmati masa remajaku.”
Tangan
lelaki yang mengenakan tuxedo hitam itu mengusap pipi puterinya yang terbasahi
airmata. Dengan berat hati, memang inilah jalan satu-satunya yang harus
ditempuh demi masa depan perusahaanya tersebut. Wero memeluk erat tubuh ayahnya
di pinggiran balkon gereja itu, memandang jauh burung-burung pipit mulai
bersarang disela-sela atap gereja itu berkumpul bersama keluarganya.
“Lalu bagaimana dengan Mom jika-”
“Daddy sudah bilang semuanya dirahasiakan. Tenanglah sayang.”
Wero terduduk lemas disamping meja rias, jika diizinkan gadis itu memilih pergi bersama Kristen untuk menghabiskan waktu bersama di taman kota. Namun semuanya terbatalkan setelah dia diajak ayahnya untuk pergi ke gereja, awalnya Wero tidak menolak namun mengetahui dia akan dijodohkan, segera dia meronta pulang. Namun terlambat. Yang tersisa hanya penyesalah akan hidupnya dimasa depan nanti. Menikah bukanlah pilihan yang tepat untuk gadis berusia 16 tahun sepertinya. Bahkan dia belum merayakan sweetseventeen seperti kebanyakan gadis sebaya dengannya, mereka akan melewatinya tahun ini. Namun, Wero harus melewati itu setelah menikah. Dengan orang yang belum dia ketahui siapa sebenarnya.
“Pengantin pria masih dalam perjalanan kemari, silahkan bersiap-siap nona.” Ucap seorang coster gereja pada Wero, namun Bibi Anne yang merias Wero-lah yang membalasnya dengan senyuman. Adik ibunya itu berjalan menuju Wero yang sedang menangis dengan berlipat lengan di meja riasnya.
“Lalu bagaimana dengan Mom jika-”
“Daddy sudah bilang semuanya dirahasiakan. Tenanglah sayang.”
Wero terduduk lemas disamping meja rias, jika diizinkan gadis itu memilih pergi bersama Kristen untuk menghabiskan waktu bersama di taman kota. Namun semuanya terbatalkan setelah dia diajak ayahnya untuk pergi ke gereja, awalnya Wero tidak menolak namun mengetahui dia akan dijodohkan, segera dia meronta pulang. Namun terlambat. Yang tersisa hanya penyesalah akan hidupnya dimasa depan nanti. Menikah bukanlah pilihan yang tepat untuk gadis berusia 16 tahun sepertinya. Bahkan dia belum merayakan sweetseventeen seperti kebanyakan gadis sebaya dengannya, mereka akan melewatinya tahun ini. Namun, Wero harus melewati itu setelah menikah. Dengan orang yang belum dia ketahui siapa sebenarnya.
“Pengantin pria masih dalam perjalanan kemari, silahkan bersiap-siap nona.” Ucap seorang coster gereja pada Wero, namun Bibi Anne yang merias Wero-lah yang membalasnya dengan senyuman. Adik ibunya itu berjalan menuju Wero yang sedang menangis dengan berlipat lengan di meja riasnya.
“Wero. Ini yang terbaik bagimu. Kau tak akan menyesal sayang.”
Wanita itu
mengelus pundak Wero.
Wero masih terus menangis dan kini beralih memeluk bibinya dengan erat seakan ketakutan menghadapi apa yang akan terjadi beberapa waktu lagi padanya.
“Bibi akan selalu menjadi pendengar yang baik untukmu, kemarilah akan bibi perbaiki.”
Wero kembali dirias, berikut mascara yang dia gunakan telah melunturi wajahnya yang tadi terlihat sempurna. Airmatanya membuat matanya sembab dan hampir tembam. Berantakan sekali. Wero menatap bibinya sambil terus sesegukan menahan tangisnya hingga sentuhan sedikit lipgloss dibibir bawahnya menyempurnakan riasan Bibi Anne.
“Lihatlah dirimu sayang.” Wero bercemin sejenak, “Gaun ini khusus didesain oleh mendiang ayah calon suamimu nanti. Dia seorang perancang hebat, dan ayahmu berguru padanya. Dia berjanji akan menjodohkan kalian, bahkan sejak kalian masih kecil.”
Wero masih terus menangis dan kini beralih memeluk bibinya dengan erat seakan ketakutan menghadapi apa yang akan terjadi beberapa waktu lagi padanya.
“Bibi akan selalu menjadi pendengar yang baik untukmu, kemarilah akan bibi perbaiki.”
Wero kembali dirias, berikut mascara yang dia gunakan telah melunturi wajahnya yang tadi terlihat sempurna. Airmatanya membuat matanya sembab dan hampir tembam. Berantakan sekali. Wero menatap bibinya sambil terus sesegukan menahan tangisnya hingga sentuhan sedikit lipgloss dibibir bawahnya menyempurnakan riasan Bibi Anne.
“Lihatlah dirimu sayang.” Wero bercemin sejenak, “Gaun ini khusus didesain oleh mendiang ayah calon suamimu nanti. Dia seorang perancang hebat, dan ayahmu berguru padanya. Dia berjanji akan menjodohkan kalian, bahkan sejak kalian masih kecil.”
*****
Dengan hati yang berdebaran,
gadis itu berjalan digandeng oleh ayahnya menuju altar. Terlihat seorang lelaki
berdiri membelakangi mereka disana mengenakan tuxedo hitam seperti yang
dikenakan oleh ayahnya sendiri. Suasana gereja yang sepi hanya dihiasi
lentiknya jari seorang pianist yang mengiringi langkah Wero dengan lagu
pernikahan. Wero menahan tangisnya dengan mendekap lengan ayahnya semakin erat,
melampiaskan segala rasa takutnya pada malam hari ini.
Suasana yang sangat sakral menyambut Wero ketika sampai untuk menaiki altar, kakinya hampir melemas sementara ayahnya memandangnya penuh kebanggaan saat berhasil berdiri sejajar dengan lelaki yang ada disebelahnya sekarang. Sejenak diperhatikan ayahnya memberi kode kepada para misdinar untuk meminta Bapa Uskup memimpin misa pernikahan. Wero masih terus menundukkan kepalanya. Tidak ingin menerima kenyataan siapa sebenarnya dan apa yang akan terjadi.
“Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu. Setiap yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia. Justin Drew Bieber, bersediakah engkau menemani Weronika Mamot dalam suka dan duka, sakit dan sehat, sehidup semati dan hingga Tuhan sendiri yang memisahkan kalian lewat maut?”
Seketika itu Wero menoleh menyaksikan laki-laki yang ada disampingnya, begitu pula sebaliknya. Justin menatap dari ujung kaki hingga ujung rambut, dia pikir gadis ini bukanlah Wero. Dia sangat berbeda seperti pada saat sekolah pada biasanya. Bibirnya sekaan terbuka ingin memuji kecantikan Wero, namun kembali terngiang perjodohan ini membunuhnya juga. Mereka saling bertatapan dengan mata yang sama-sama terkejut, muak, kesal, kecewa, sedih dan pada akhirnya berakhir dengan tatapan yang seperti saling ingin membunuh satu-sama-lain.
“Kenapa kau bias ada disini?” bisik Wero sengit pada lelaki disampingnya.
“Mana ku tahu, kau juga?”
Wero menggeleng perlahan. Sementara semua orang di gereja itu sedang menantikan jawaban dari mulut Justin. Justin menatap Bapa Uskup dengan tatapan datar sementara terasa begitu kuat ada banyak roh dalam gereja ini, memaksa lelaki itu untuk menjawab janji suci dari sang imam.
“Saya bersedia menjadi pendamping hidup Weronika Mamot dalam suka dan duka, sakit dan sehat, sehidup semati hingga Tuhan sendiri yang akan memisahkan kami dengan maut.”
Wero menatap Justin tidak percaya, sambil mencoba menahan airmatanya yang berasa sudah mencapai kelopaknya namun tertahan oleh emosinya saat mendengar Justin dengan lancar berujar demikian. Kembali pastur itu berucap sama kepada Wero, dengan anggukan saja sang pasturpun memberkati mereka dengan doa dan pemberian hosti langsung dari tabernakel beserta anggur layaknya mereka yang barusaja melewati sakramen komuni pertama.
Justin menarik lengan Wero sehingga keduanya berhadapan. Inilah waktu yang sangat Wero benci. Wero sudah tidak kuat lagi menahan lututnya yang melemas, dia hanya dapat memejamkan mata ketika wajah Justin perlahan mendekat, rasa berdebaran yang begitu membuat Wero ingin berteriak keras-keras dan lari dari gereja ini.
“Mengapa kau mau menjawab janji pastur tadi?” Wero berdesis pelan saat wajah mereka sudah sangat dekat.
“Entahlah.” Justin memejamkan matanya.
Suasana yang sangat sakral menyambut Wero ketika sampai untuk menaiki altar, kakinya hampir melemas sementara ayahnya memandangnya penuh kebanggaan saat berhasil berdiri sejajar dengan lelaki yang ada disebelahnya sekarang. Sejenak diperhatikan ayahnya memberi kode kepada para misdinar untuk meminta Bapa Uskup memimpin misa pernikahan. Wero masih terus menundukkan kepalanya. Tidak ingin menerima kenyataan siapa sebenarnya dan apa yang akan terjadi.
“Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu. Setiap yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia. Justin Drew Bieber, bersediakah engkau menemani Weronika Mamot dalam suka dan duka, sakit dan sehat, sehidup semati dan hingga Tuhan sendiri yang memisahkan kalian lewat maut?”
Seketika itu Wero menoleh menyaksikan laki-laki yang ada disampingnya, begitu pula sebaliknya. Justin menatap dari ujung kaki hingga ujung rambut, dia pikir gadis ini bukanlah Wero. Dia sangat berbeda seperti pada saat sekolah pada biasanya. Bibirnya sekaan terbuka ingin memuji kecantikan Wero, namun kembali terngiang perjodohan ini membunuhnya juga. Mereka saling bertatapan dengan mata yang sama-sama terkejut, muak, kesal, kecewa, sedih dan pada akhirnya berakhir dengan tatapan yang seperti saling ingin membunuh satu-sama-lain.
“Kenapa kau bias ada disini?” bisik Wero sengit pada lelaki disampingnya.
“Mana ku tahu, kau juga?”
Wero menggeleng perlahan. Sementara semua orang di gereja itu sedang menantikan jawaban dari mulut Justin. Justin menatap Bapa Uskup dengan tatapan datar sementara terasa begitu kuat ada banyak roh dalam gereja ini, memaksa lelaki itu untuk menjawab janji suci dari sang imam.
“Saya bersedia menjadi pendamping hidup Weronika Mamot dalam suka dan duka, sakit dan sehat, sehidup semati hingga Tuhan sendiri yang akan memisahkan kami dengan maut.”
Wero menatap Justin tidak percaya, sambil mencoba menahan airmatanya yang berasa sudah mencapai kelopaknya namun tertahan oleh emosinya saat mendengar Justin dengan lancar berujar demikian. Kembali pastur itu berucap sama kepada Wero, dengan anggukan saja sang pasturpun memberkati mereka dengan doa dan pemberian hosti langsung dari tabernakel beserta anggur layaknya mereka yang barusaja melewati sakramen komuni pertama.
Justin menarik lengan Wero sehingga keduanya berhadapan. Inilah waktu yang sangat Wero benci. Wero sudah tidak kuat lagi menahan lututnya yang melemas, dia hanya dapat memejamkan mata ketika wajah Justin perlahan mendekat, rasa berdebaran yang begitu membuat Wero ingin berteriak keras-keras dan lari dari gereja ini.
“Mengapa kau mau menjawab janji pastur tadi?” Wero berdesis pelan saat wajah mereka sudah sangat dekat.
“Entahlah.” Justin memejamkan matanya.
"....."
Dengan
singkat Justin mengecup pipi Wero lantas membiarkan Wero agak menjauh darinya,
namun tangan mereka masih saling mengait. Disaksikan oleh Tuhan sendiri, ayah
Wero serta ketiga rekannya sebagai saksi, dan ibu tiri Justin seorang tanpa
Zayn yang ikut di gereja ini.
To be continued.
0 comments: