I HEAR YOUR HEARTBEATS 11
I HEAR YOUR HEARTBEATS 11
*****
Author Point Of View
*****
Author Point Of View
Lelaki itu masih mengusap pipi tirus
gadis disampingnya. Sementara gadis itu masih meringkuk dengan wajah malaikat
yang tidak dimiliki gadis lainnya. Justin menengadah, ditatapnya jam dinding
yang memantik diangka yang membelah keduanya. Masih cukup pagi untuk meminta
sarapan pada perempuan bermata madu itu. Perlahan bibir Justin menyentuh puncak
kening Wero, kemudian jari telunjuknya mengusap-usap bibir cantiknya.
“Emhh,” Gadis itu mengerang perlahan. “Cepat bangun dan buatkan aku sarapan.”
“Emhh,” Gadis itu mengerang perlahan. “Cepat bangun dan buatkan aku sarapan.”
Wero
masih mengerjap-ngerjapkan matanya berulang, lantas samar-samar melihat Justin
bangkit keluar kamar. Dia hanya diam melihat Justin masih sama seperti semalam.
Dingin, bahkan dia berjalan sambil mengalungkan handuk dilehernya. Gadis itu
lantas turun ingin membasuh muka.
Bayangannya dicermin meja rias seketika mengejutkannya, segera Wero
mengancingkan kemejanya. Ditatapnya ranjang yang tadi ditidurinya begitu
berantakan. Mulutnya hanya bungkam, dan dadanya sesak terasa dicabik-cabik
sembilu. Wero terduduk lemas ditepiannya, serta menatap airmata yang terjatuh
dari sudut kerlingan itu.
“Ada apa Wero?” Dengan kilat gadis itu menghapusnya lantas tersenyum pada Justin yang bersandar dipintu. Ditatapnya mata Wero yang masih sembab, lantas Justin mengecup kelopaknya.
“Kita tidak akan terlambat sekolah kalau kau bergegas.”
Wero hanya mengangguk sekilas, lantas bungkam menuju kamar mandi.
“Ada apa Wero?” Dengan kilat gadis itu menghapusnya lantas tersenyum pada Justin yang bersandar dipintu. Ditatapnya mata Wero yang masih sembab, lantas Justin mengecup kelopaknya.
“Kita tidak akan terlambat sekolah kalau kau bergegas.”
Wero hanya mengangguk sekilas, lantas bungkam menuju kamar mandi.
*****
Lihat
gadis itu. Tubuhnya kotor. Semalam lelaki yang menyebalkan itu menyentuh
tubuhnya. Lihat saja sendiri bahkan dengan bodoh dia tidur bersama orang yang
tidak mengharapkannya.
Wero terus menatapi bayangan di cermin. Sementara tangannya dengan kasar
menjambak setiap rambutnya dibawah air shower yang menuruni tubuhnya. Dia
membiarkan airmatanya larut bersama air itu, lantas hanya menangis tak melebihi
suara gemercikan.
“Wero, cepatlah aku juga ingin mandi.”
Suara diluar membuatnya terkesiap, dia memutar knop hingga shower tertutup.
Wero bercermin kembali sambil mengikat handuk ditubuhnya. Gadis itu tersenyum,
namun airmatanya terjatuh kembali.
“Wero? Apa kau baik-baik saja?” Justin mengangkat dagu istrinya itu, lantas menatap dalam-dalam matanya. Wero hanya diam dan menahan airmatanya dengan memperhatikan sekeliling. Justin masih menanti jawabannya. Mata Wero meleleh menatap mata madu yang sama sedang mencemaskannya. Perlahan tangan gadis itu melingkar tubuh Justin dan memeluknya erat-erat. Wero menenggelamkan wajah cantiknya di dada Justin, sementara lelaki itu hanya diam dan membalas pelukan Wero tak kalah erat.
“Tenang Wero, tenangkan dirimu.” Justin mengusap punggung Wero lembut, sementara bahu gadis itu masih naik turun dengan isakannya. Justin memejamkan matanya merasakan kesedihan istrinya itu, membiarkan dadanya terbasahi dengan airmata Wero.
“Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi?” Seketika Wero menatap Justin berkilatan marah, namun hanya sejenak lantas meleleh kembali. Tangannya memeluk Justin semakin erat sambil mengusap-usapkan keningnya pada dada Justin.
“Terimakasih kau tidak lagi marah padaku.” Wero berkata lirih. Justin hanya diam lantas menatap bayangan mereka dicermin. Wero melepaskan tangannya lantas menatap lelaki itu dari bawah ke atas.
“Terimakasih kau telah datang, mengganggu, merusak, dan mengambil hidupku Just! Terimakasih untuk semuanya. Kau pikir aku senang? Tidak. Aku samasekali tidak senang dengan sifatmu yang psycho dan semena-mena!” Wero memukuli dada Justin dengan kuat, sambil terus menangis.
“Hei, tenanglah Wero tenanglah. Maaf untuk yang semalam aku-”
“Kau puas mengambil hidupku?”
“Wero? Apa kau baik-baik saja?” Justin mengangkat dagu istrinya itu, lantas menatap dalam-dalam matanya. Wero hanya diam dan menahan airmatanya dengan memperhatikan sekeliling. Justin masih menanti jawabannya. Mata Wero meleleh menatap mata madu yang sama sedang mencemaskannya. Perlahan tangan gadis itu melingkar tubuh Justin dan memeluknya erat-erat. Wero menenggelamkan wajah cantiknya di dada Justin, sementara lelaki itu hanya diam dan membalas pelukan Wero tak kalah erat.
“Tenang Wero, tenangkan dirimu.” Justin mengusap punggung Wero lembut, sementara bahu gadis itu masih naik turun dengan isakannya. Justin memejamkan matanya merasakan kesedihan istrinya itu, membiarkan dadanya terbasahi dengan airmata Wero.
“Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi?” Seketika Wero menatap Justin berkilatan marah, namun hanya sejenak lantas meleleh kembali. Tangannya memeluk Justin semakin erat sambil mengusap-usapkan keningnya pada dada Justin.
“Terimakasih kau tidak lagi marah padaku.” Wero berkata lirih. Justin hanya diam lantas menatap bayangan mereka dicermin. Wero melepaskan tangannya lantas menatap lelaki itu dari bawah ke atas.
“Terimakasih kau telah datang, mengganggu, merusak, dan mengambil hidupku Just! Terimakasih untuk semuanya. Kau pikir aku senang? Tidak. Aku samasekali tidak senang dengan sifatmu yang psycho dan semena-mena!” Wero memukuli dada Justin dengan kuat, sambil terus menangis.
“Hei, tenanglah Wero tenanglah. Maaf untuk yang semalam aku-”
“Kau puas mengambil hidupku?”
Wero hanya menatap Justin nanar sambil menghapus airmatanya, didorongnya
kuat-kuat tubuh lelaki itu dan segera ia pergi membanting pintu kamar dengan
kasar. Justin hanya menatap Wero dengan penuh kecemasan. Apa yang dialukannya
selama ini memang kelewatan. Wajar kalau Wero akan marah padanya, bahkan benar
yang dikatakan gadis itu kalau dia telah mengambil hidupnya. Perjodohan bodoh
ini. Justin meludah di wastafel sambil terus membasuh mukanya.
“Aku harus bergegas.” Ucapnya lantas menutup pintu kamar mandi.
“Aku harus bergegas.” Ucapnya lantas menutup pintu kamar mandi.
*****
Gadis itu masih melamun sementara
gadis pucat disebelahnya terus memperhatikan mereka yang berada dilapangan.
Wero hanya mengaduk-aduk makan siangnya di nampan, sementara Kristen terus
memperhatikan anak-anak kelas unggulan yang bertanding.
“Hei Wero coba kau perhatikan. Sedari tadi Justin memperhatikan ke arah kita.” Bisik Kristen. Wero hanya menoleh ke lapangan dan matanya langsung disambut dengan wajah Justin yang penuh kekhawatiran. Gadis itu lantas bergegas meletakkan selempang tasnya dibahu.
“Mau kemana?” Tanya Kristen singkat. “Aku ke toilet sebentar.”
Wero berjalan dengan menyeret kakinya, sementara Justin terus memperhatikannya. Laki-laki itu melemparkan bola pada temannya lantas berlarian menyusul Wero dengan handuk yang dikalungkan di lehernya seperti tadi pagi. Terlihat disudut lapangan beberapa gadis cheers datang dengan seragam mereka, tertawa terbahak-bahak sambil memberikan selebaran berwarna merah hati.
“Hei Justin, ini untukmu. Kalau kau kosong, kau bersamaku saja ya?”
Dengan ketus laki-laki itu merebut pamflet yang ditawarkan Selena kepadanya lantas bergegas keluar lapangan. Wero tersenyum kecut melihat apa yang dilihatnya barusan, rasanya ingin menghajar gadis yang berani mendekati Justin. Namun dia kembali menggeleng.
“Hei Wero coba kau perhatikan. Sedari tadi Justin memperhatikan ke arah kita.” Bisik Kristen. Wero hanya menoleh ke lapangan dan matanya langsung disambut dengan wajah Justin yang penuh kekhawatiran. Gadis itu lantas bergegas meletakkan selempang tasnya dibahu.
“Mau kemana?” Tanya Kristen singkat. “Aku ke toilet sebentar.”
Wero berjalan dengan menyeret kakinya, sementara Justin terus memperhatikannya. Laki-laki itu melemparkan bola pada temannya lantas berlarian menyusul Wero dengan handuk yang dikalungkan di lehernya seperti tadi pagi. Terlihat disudut lapangan beberapa gadis cheers datang dengan seragam mereka, tertawa terbahak-bahak sambil memberikan selebaran berwarna merah hati.
“Hei Justin, ini untukmu. Kalau kau kosong, kau bersamaku saja ya?”
Dengan ketus laki-laki itu merebut pamflet yang ditawarkan Selena kepadanya lantas bergegas keluar lapangan. Wero tersenyum kecut melihat apa yang dilihatnya barusan, rasanya ingin menghajar gadis yang berani mendekati Justin. Namun dia kembali menggeleng.
“Ini semua hanya perjodohan bodoh. Ingat
Wero, kau dan Justin hanya terikat dalam sangkar neraka itu, dan diluar
semuanya kalian hanyalah orang asing. Hei jangan terus berkhayal kalau
kehidupanmu akan indah Wero. Bangunlah kau harus hidup sendiri tanpa siapapun
dan jauh dari ibu ayahmu hanya karena lelaki itu dank au tidak pernah tahu
omongannya yang berkata kalau dia mencintaimu itu-”
“Benar.
Justin memang sangat mencintaimu.”
“Just?”
“Just?”
Seketika
nafas Wero tersendat seperti barusaja tenggelam dalam kolam lumpur. Dibelakangnya
Justin berdiri sambil berjalan mendekatinya. “Justin ini kamar mandi wanita,
bagaimana kalau?”
Dengan singkat Justin menarik lengan Wero lantas mengunci pintu toilet. Wero terdiam sejenak, lantas berusaha merebut kunci yang disembunyikan Justin dalam kaosnya.
“Kau, keluarkan aku darisini. Tolong! Tol-”
“Sssst! Diamlah. Aku hanya ingin melanjutkan yang semalam.”
Dengan singkat Justin menarik lengan Wero lantas mengunci pintu toilet. Wero terdiam sejenak, lantas berusaha merebut kunci yang disembunyikan Justin dalam kaosnya.
“Kau, keluarkan aku darisini. Tolong! Tol-”
“Sssst! Diamlah. Aku hanya ingin melanjutkan yang semalam.”
Justin
membungkam mulut Wero dengan tangannya. Mata Wero membulat dan dia semakin
memberontak ingin dilepaskan. Justin lantas membungkam Wero dengan kecupan
singkat dibibirnya. Gadis itu hanya mendengus kesal sambil menatap Justin
sengit.
“Tidak Wero. Aku hanya bercanda.” Lelaki itu mengangkat bahunya berharap Wero menyambut pelukannya. Wero menatap Justin dengan tatapan menjijikkan sambil meludah kecil dilantai. Justin hanya diam sambil menarik tangannya kembali.
“Ada apa?” Tanya Wero singkat.
“Ada ini.”
Dengan kasar Wero merebut pamflet yang dipegang Justin. Dia membacanya dengan teliti disetiap tulisan yang ada disana. Wero lantas menatap mata Justin, sambil mengulangi membaca pamflet itu. Lelaki itu lantas mencubit pipi Wero perlahan sambil menatap gadisnya itu dengan gemas.
“Maksudmu kau akan mengajakku kesana, bersamamu?” Justin mengangguk dengan semangat.
“Tapi bagaimana kalau hubungan kita-”
“Berhentilah berbicara mengenai hubungan kita dan hubungan kita. Hanya ada kau dan aku dan kalau mereka mengetahuinya itu wajar, pernikahan ini lama-lama akan terbongkar.”
Wero lantas menerawang jauh dimata Justin, raut wajah yang lelah hanya ditutupi dengan senyumannya yang tak henti menghilang. Wero sejurus memeluk tubuh lelaki itu erat.
“Tentu saja aku akan ikut, asalkan kau tidak akan mempermalukanku disana.”
“Kau takut padaku?” Justin mengusap punggung Wero lembut. Terasa anggukan Wero di dada lelaki itu. Tangan Wero mulai menyelusup dibalik kaos Justin sambil sesekali terbasahi keringat.
“Tenang kalau kau tidak macam-macam aku tidak akan memanggil Skandy untuk mengguyurmu dengan kopi margarin. Jadi berhati-hatilah untuk tidak nakal disana.”
“Huh. Pantas saja.”
“Tidak Wero. Aku hanya bercanda.” Lelaki itu mengangkat bahunya berharap Wero menyambut pelukannya. Wero menatap Justin dengan tatapan menjijikkan sambil meludah kecil dilantai. Justin hanya diam sambil menarik tangannya kembali.
“Ada apa?” Tanya Wero singkat.
“Ada ini.”
Dengan kasar Wero merebut pamflet yang dipegang Justin. Dia membacanya dengan teliti disetiap tulisan yang ada disana. Wero lantas menatap mata Justin, sambil mengulangi membaca pamflet itu. Lelaki itu lantas mencubit pipi Wero perlahan sambil menatap gadisnya itu dengan gemas.
“Maksudmu kau akan mengajakku kesana, bersamamu?” Justin mengangguk dengan semangat.
“Tapi bagaimana kalau hubungan kita-”
“Berhentilah berbicara mengenai hubungan kita dan hubungan kita. Hanya ada kau dan aku dan kalau mereka mengetahuinya itu wajar, pernikahan ini lama-lama akan terbongkar.”
Wero lantas menerawang jauh dimata Justin, raut wajah yang lelah hanya ditutupi dengan senyumannya yang tak henti menghilang. Wero sejurus memeluk tubuh lelaki itu erat.
“Tentu saja aku akan ikut, asalkan kau tidak akan mempermalukanku disana.”
“Kau takut padaku?” Justin mengusap punggung Wero lembut. Terasa anggukan Wero di dada lelaki itu. Tangan Wero mulai menyelusup dibalik kaos Justin sambil sesekali terbasahi keringat.
“Tenang kalau kau tidak macam-macam aku tidak akan memanggil Skandy untuk mengguyurmu dengan kopi margarin. Jadi berhati-hatilah untuk tidak nakal disana.”
“Huh. Pantas saja.”
Wero melepaskan pelukannya singkat lantas mengibas-ibaskan tangannya. Justin
sadar perkataannya terbaca oleh Wero lantas membiarkan apa reaksi istirnya itu.
Wero kemudian berjalan ke arah pintu lantas menatap Justin penuh senyum
kemenangan.
“Bye-bye Justin! Kau yang kena jebakanku!” Wero menjulurukan lidahnya sambil bergegas menutup pintu kamar mandi. Sementara knop dalam terputar, dan suara tertawaan gadis itu renyah terdengar dari luar.
“Wero! Buka pintunya!” Justin berteriak dari dalam sambil memutar-mutar knop itu.
“Buka saja sendiri.” Perlahan gadis itu berlarian kecil meninggalkan Justin didalam.
To be continued.
0 comments: