I HEAR YOUR HEARTBEATS 14
I HEAR YOUR HEARTBEATS 14
*****
*****
Perlahan
debu itu terkoyak, dan diterbangkan. Gadis itu masih mengerjapkan matanya
sembari menengok lagi apa yang akan terjadi. Sementara hanya ada dirinya
sendirian saja, dihirupnya nafas lekat-lekat. Ditatapnya lagi kehidupannya
setelah semua yang berlalu. Wero mengibaskan
selimutnya lantas beranjak. Waktu sudah larut malam, namun lelaki yang
dinantikannya tak kunjung pulang. Pada dasarnya mereka mulai saling mencintai,
hanya ada rasa yang membatasi saja.
Justin
dengan sifat physco-nya yang datang tiba-tiba, dan Wero dengan hatinya
yang memaksa menutup diri. Gadis itu melangkah menuruni tangga, sudah hampir
satu jam sekali tidurnya selalu terjaga. Mengkhawatirkan Justin. Seharian juga
belum ada sesuap makanan yang dia nikmati, hanya pikirannya untuk Justin saja.
“Dasar menyebalkan. Aku sudah lelah dia masih sibuk dengan urusannya.” gerutunya sambil memegangi perutnya yang terasa sedikit nyeri. Suara berisik membuat langkahnya terhenti. Telinganya peka mendengar setiap suara yang muncul dari ruangan samping tangga itu. Dia berjalan berjinjit sembari mengendap-endap masuk ke dapur.
“Dasar menyebalkan. Aku sudah lelah dia masih sibuk dengan urusannya.” gerutunya sambil memegangi perutnya yang terasa sedikit nyeri. Suara berisik membuat langkahnya terhenti. Telinganya peka mendengar setiap suara yang muncul dari ruangan samping tangga itu. Dia berjalan berjinjit sembari mengendap-endap masuk ke dapur.
“Justin?” desisnya lirih menatap seseorang yang
berdiri disana.
Piyama
yang dikenakannya sama dengan yang Wero kenakan. Gadis itu lantas duduk tanpa
suara sembari mengamati yang Justin lakukan. Wajahnya nampak begitu
berkonsentrasi pada masakan yang ada didepannya, bahkan samasekali tak
menyadari keberadaannya. Wero hanya tersenyum namun sesekali kembali berwajah
datar mewaspadai kalau-kalau Justin menoleh. Lelaki itu sedikit berlarian lalu
buru-buru mematikan kompor dengan sebuah sebuah piring ditangannya.
“Wero?” katanya begitu kaget. Gadis itu hanya diam sambil menatapnya. “Kau sudah bangun.”
“Wero?” katanya begitu kaget. Gadis itu hanya diam sambil menatapnya. “Kau sudah bangun.”
Justin menghela nafasnya lirih saat Wero seperti mengacuhkannya.
“Sejak kapan kau disini?”
“Sejak kau berdiri disana dan tidak menyadari kalau aku ada disini.” balasnya sambil mendengus kesal.
“Sejak kapan kau disini?”
“Sejak kau berdiri disana dan tidak menyadari kalau aku ada disini.” balasnya sambil mendengus kesal.
Justin
melepaskan celemeknya lantas meletakkan piring berisi omelett keju itu atas
meja, tepat dihadapan Wero. Ditatapnya gadis itu dengan jarinya yang secara
bergantian mengetuk meja kayu berulang seakan menunggu sesuatu. Suasana hening
melekat begitu Justin beranjak menuju lemari es sambil mulai berlama-lama
disana. Sementara asap telur panggang itu tercium harum menusuk lidah Wero,
segera dia mengambil pisau dan garpu ditangannya kemudian mendekatkan piring
itu dengan senyum.
“Ehm.”
Justin berdeham sambil membawa sekotak ice cream
disana. Wero berhenti mengunyah lantas meletakkan sendok garpunya seakan mati
kutu didepan lelaki itu. Justin hanya diam mematung menunggu dia menelan
makanannya.
“Maaf Just. Aku sangat lapar, kau tahu aku tidak bisa memasak dan, aku benci harus menunggu.” ucap gadis itu terus terang sambil menggigit bibir bawahnya. Justin hanya mengangkat kedua alisnya sembari menatap asal ruangan tempat mereka sekarang. Wajah datarnya berubah menjadi manis saat senyuman kejutan itu ditarik lembut dari bibirnya.
“Tidak apa istriku sayang. Sebenarnya omelett itu memang untukmu, maaf membuatmu lama menungguku. Hari ini ada hal besar untukku, untuk kita. Aku sudah ke kamar tadi, namun kau terlihat tidur begitu pulas. Aku tidak tega membangunkanmu. Jadi aku pilih ke dapur, karena aku tau istriku ini ..”
Dengan gemas lelaki itu meraih kedua pipi Wero perlahan. “Belum berniat belajar memasak.”
Mata Wero sedikit berkaca-kaca saat menatap mata madu yang sejak awal telah memikat hatinya. Justin membalas tatapan haru istirnya itu dengan senyum yang mengungkapkan rasa yang tidak bisa diungkapkan. Tangan Justin meraih milik gadisnya dan mengusapnya dengan penuh kelembutan. Dia melimangi cincin dengan satu permata yang berada dijari manis mereka masing-masing, namun sesekali melirik wajah malaikat Wero yang sedang mengamati apa yang dilakukannya.
“Maaf Just. Aku sangat lapar, kau tahu aku tidak bisa memasak dan, aku benci harus menunggu.” ucap gadis itu terus terang sambil menggigit bibir bawahnya. Justin hanya mengangkat kedua alisnya sembari menatap asal ruangan tempat mereka sekarang. Wajah datarnya berubah menjadi manis saat senyuman kejutan itu ditarik lembut dari bibirnya.
“Tidak apa istriku sayang. Sebenarnya omelett itu memang untukmu, maaf membuatmu lama menungguku. Hari ini ada hal besar untukku, untuk kita. Aku sudah ke kamar tadi, namun kau terlihat tidur begitu pulas. Aku tidak tega membangunkanmu. Jadi aku pilih ke dapur, karena aku tau istriku ini ..”
Dengan gemas lelaki itu meraih kedua pipi Wero perlahan. “Belum berniat belajar memasak.”
Mata Wero sedikit berkaca-kaca saat menatap mata madu yang sejak awal telah memikat hatinya. Justin membalas tatapan haru istirnya itu dengan senyum yang mengungkapkan rasa yang tidak bisa diungkapkan. Tangan Justin meraih milik gadisnya dan mengusapnya dengan penuh kelembutan. Dia melimangi cincin dengan satu permata yang berada dijari manis mereka masing-masing, namun sesekali melirik wajah malaikat Wero yang sedang mengamati apa yang dilakukannya.
“Ewghh.”
Lelaki
itu terkesiap ketika dengan sekejap tangan Wero terlepas. Ditatapnya gadis itu
menutup mulutnya dengan kedua tangannya tadi dengan mata terpejam berat. Suara
mual itu kembali terdengar saat bahu Wero terangkat, Justin menatapnya dengan
sebelah alisnya dinaikkan.
“Kau tidak apa-apa Wero?” Gadis itu hanya mengerjapkan matanya lantas bangkit berdiri. Tangan satunya memegangi perutnya. Segera dia berlari kecil menuju wastafel didekat mereka lantas terbungkuk sembari membiarkan isi perutnya keluar lewat mulutnya lagi.
“Kau tidak apa-apa Wero?” Gadis itu hanya mengerjapkan matanya lantas bangkit berdiri. Tangan satunya memegangi perutnya. Segera dia berlari kecil menuju wastafel didekat mereka lantas terbungkuk sembari membiarkan isi perutnya keluar lewat mulutnya lagi.
“Astaga Wero,” Justin mendekat lantas
mengusap-usap punggungnya perlahan. Tangan Wero menyibakkan rambutnya sementara
yang lain memegangi lehernya, kemudian sesekali berkumur menahan rasa perih.
Justin masih menatap wajahnya yang berubah sedikit memucat lewat kaca dengan
cemas.
“Sebaiknya kita beristirahat sekarang.”
“Sebaiknya kita beristirahat sekarang.”
Gadis itu mengangguk perlahan sambil mencoba
tenang. Namun seperti ada yang masih memaksanya bertahan di wastafel. Sekelumit
rasa perih mengekang lehernya. Langkahnya terseok sembari bertopang pada lengan
Justin yang menuntunnya berjalan perlahan. Kepalanya menjadi perlahan terasa
pening dan sulit untuk melangkahkan kaki lebih lagi. Lelaki itu dengan lembut
menjaganya agar tidak terjatuh.
“Pelan-pelan Wero.” tangan Justin membantu gadis
itu untuk meraih ranjang.
“Masakanku tidak enak ya?” ujar lelaki itu sembari menatap sendu wanita didepannya. Wero hanya menggeleng perlahan. Dia berusaha tersenyum meyakinkan Justin.
“Masakanku tidak enak ya?” ujar lelaki itu sembari menatap sendu wanita didepannya. Wero hanya menggeleng perlahan. Dia berusaha tersenyum meyakinkan Justin.
Wero terpejam namun masih terduduk lemas dengan menopangkan tubuh pada
kedua tangannya. Justin meraih korden yang belum sempat disibakkannya, lantas
duduk tepat disebelah Wero sambil ikut terdiam. Menatap wajahnya sudah
memilukan, seperti ada rasa yang menganggunya lama. Wajah malaikatnya tidak
merona lagi, karena dipucatkan oleh kabut. Sangat terbaca.
“Wero berbaringlah aku yang akan menjagamu.” bisik Justin pelan pada telinganya. Wero mengerjap kemudian menatap Justin sayu dengan remang-remang lampu tidur yang menyala temaram.
“Aku takut kalau aku mual lagi. Sudah cukup memalukan saat kau menolongku tadi Just.”
“Wero berbaringlah aku yang akan menjagamu.” bisik Justin pelan pada telinganya. Wero mengerjap kemudian menatap Justin sayu dengan remang-remang lampu tidur yang menyala temaram.
“Aku takut kalau aku mual lagi. Sudah cukup memalukan saat kau menolongku tadi Just.”
Suaranya
begitu lirih serta dengan manja gadis itu berusaha mendekat padanya. Justin
mengecup keningnya lembut dan membiarkannya menikmati perih yang mungkin masih
berkelumit.
“Boleh aku memelukmu Just?” katanya polos. Justin mengusap pipinya lembut sambil mengangguk.
“Wero tugasku adalah menjagamu setiap saat yang aku bisa. Beristirahatlah sekarang. Aku yakin jika tertidur rasa mual itu perlahan akan hilang dan besok pagi kau pulih kembali.”
Gadis itu menghela nafasnya. “Aku sudah biasa seperti tadi. Jangan mengkhawatirkanku.”
“Boleh aku memelukmu Just?” katanya polos. Justin mengusap pipinya lembut sambil mengangguk.
“Wero tugasku adalah menjagamu setiap saat yang aku bisa. Beristirahatlah sekarang. Aku yakin jika tertidur rasa mual itu perlahan akan hilang dan besok pagi kau pulih kembali.”
Gadis itu menghela nafasnya. “Aku sudah biasa seperti tadi. Jangan mengkhawatirkanku.”
Sudah terbiasa?
Justin masih mencerna ucapan gadisnya.
“Maksudmu dengan 'sudah terbiasa'?” tanya Justin. Wero menengadah pada lelaki itu.
“Entahlah Just, akhir-akhir ini aku sering mual. Padahal aku ingin sekali makan banyak makanan, camilan, junk food, ice cream semuanya entah aku jadi ingin menyantap semuanya.”
Lelaki itu terdiam sesaat, “Hmm. Ada yang tidak beres denganmu Wero.”
“Kurasa begitu. Mungkin aku sedang tidak enak badan saja.”
“Tunggu Wero. Kau ingin makan semua makanan yang terbesit di pikiranmu? Lalu mual dan memuntahkannya kembali seperti tadi? Berulang-ulang kali?”
“Maksudmu dengan 'sudah terbiasa'?” tanya Justin. Wero menengadah pada lelaki itu.
“Entahlah Just, akhir-akhir ini aku sering mual. Padahal aku ingin sekali makan banyak makanan, camilan, junk food, ice cream semuanya entah aku jadi ingin menyantap semuanya.”
Lelaki itu terdiam sesaat, “Hmm. Ada yang tidak beres denganmu Wero.”
“Kurasa begitu. Mungkin aku sedang tidak enak badan saja.”
“Tunggu Wero. Kau ingin makan semua makanan yang terbesit di pikiranmu? Lalu mual dan memuntahkannya kembali seperti tadi? Berulang-ulang kali?”
Gadis
itu ikut berpikir lantas mengangguk pada Justin. Senyuman lebar membuat Wero
mengernyitkan dahinya pada Justin yang mulai memaparkan wajahnya yang begitu
sumringah. Lelaki itu mendekap Wero lebih erat kemudian mengayunkan tubuh
mereka sambil bersenandung. Wero memejamkan matanya perlahan lantas menikmati
iramanya.
“Wero kau tahu? Apa itu artinya?” Gadis itu menggelengkan kepalanya dibahu Justin.
“Mungkin disini ada little bieber Wero. Ada kehidupan lain disini.”
“Wero kau tahu? Apa itu artinya?” Gadis itu menggelengkan kepalanya dibahu Justin.
“Mungkin disini ada little bieber Wero. Ada kehidupan lain disini.”
Justin
mengusap-usap perut Wero dengan penuh sukacita. Suasana hening semakin merasuk
lagi terlebih jarum jam tengah membelah kedua bagiannya. Justin menatap gadis
itu dengan senyuman. Wero tengah mendengkur pelan sambil meringkuk di dekapan
Justin.
*****
Weronika Point Of View
Weronika Point Of View
Dengan
malas aku menunggu sahabat yang hampir lima belas menit lalu berkata memintaku
ikut untuk menemaninya wawancara lisan untuk penerimaan mahasiswa baru di
Institute Technology of Louisville ini. Kristen sepertinya mulai tertarik
dengan kamera, serta hobinya yang membuat manga itu. Kerap dia berandai-andai membuat anime
dengan laser dan show outdoor. Imajinasinya begitu tinggi. Sekarang aku harus
menunggunya di ruangan yang hening namun terpenuhi oleh orang-orang yang
sepertinya keluarga peserta seleksi. Terlihat seorang ayah sedang mengecupi
kening anaknya dengan wajah yang cemas, sementara bahunya menopang tas berisi map
yang terlihat menyembul keluar karena ukurannya. Wajahnya tersenyum saat
anaknya itu tertawa lepas melihat banyak orang berlalu-lalang. Justin.
Lelaki
itu yang terbesit sekarang. Mungkin seperti itu kalau dia memiliki bayi. Sangat
bahagia namun penuh kecemasan. Ayah yang baik harus pandai-pandai agar anaknya
tidak menangis. Seperti lelaki tadi. Aku mengacuhkannya sejenak lantas
berkonsentrasi kembali pada gadis albino itu. Kristen. Siapa lagi --
persahabatan selalu memiliki kekurangan dan harus melengkapi satu-sama-lain.
Begitu pula dia yang mulai terlihat menutup pintu ruang interview
sembari tersenyum penuh kejutan. Dia tak lagi membawa berkas-berkasnya seperti
tadi.
“Wero aku diterimaaaa!”
Kristen
berlarian padaku dan tak memperdulikan banyak pasang mata yang menatapnya
dengki. Gadis itu berhamburan memelukku sambil meloncat-loncatkan dirinya
dengan bodoh. Aku sudah menduganya. Sedikit aku tersenyum lebar sambil
mengusap-usap punggungnya.
“Sepertinya ada yang tidak sia-sia bangun pagi lantas memakai high heels kemudian berbicara pada bayangannya di cermin sambil meminta pendapatku sebelum kemari?” aku mengerling padanya.
“Aku bangga padamu Krist.” kataku mengacungkan jempol. Kristen mengusap tengkuknya kikuk.
“Ini semua juga berkat bantuanmu Wero. Terimakasih banyak.”
“Berarti ini adalah usaha kita untukmu.”
“Sepertinya ada yang tidak sia-sia bangun pagi lantas memakai high heels kemudian berbicara pada bayangannya di cermin sambil meminta pendapatku sebelum kemari?” aku mengerling padanya.
“Aku bangga padamu Krist.” kataku mengacungkan jempol. Kristen mengusap tengkuknya kikuk.
“Ini semua juga berkat bantuanmu Wero. Terimakasih banyak.”
“Berarti ini adalah usaha kita untukmu.”
Kristen
masih meloncat-loncat kecil sambil berjalan beriringan denganku. Kami hanya
saling pandang dan tersenyum karena kebahagiaan yang sederhana ini. Perlahan
kami berjalan lambat menuju lobby kampus. Tentu saja terpenuhi ratusan manusia
yang nampak sibuk dengan penampilan dan persiapan mentalnya masing-masing.
Gadis itu nampak tersenyum miring sambil menatap mereka satu demi satu. Aku
hanya berdecak padanya.
*****
Author Point Of View
Author Point Of View
“Apa? Harus kesana sekarang?”
“Ah tapi kan aku sedang-”
“Ah tapi kan aku sedang-”
“Baiklah
aku akan kesana namun jangan mempermalukanku.”
Dengan malas gadis itu berjalan memutar ke arah gedung yang berkilauan puncaknya dari seluruh sudut kota. Kristen menuruti perkataan Wero yang sebenarnya tidak mau diketahui tentang hubungannya dengan Justin dan kepindahan rumahnya sekarang. Gadis itu menghela nafas kembali lantas mengerjapkan matanya ke langit-langit melihat banyak mobil berlalu lalang serta kendaraan lain yang berhembus melawan langkahnya. Rencananya pulang ke rumah dengan taksi sekarang gagal. Ponselnya kembali berdering dan nama suaminya tertera kembali di layarnya. Dia mendiamkan telefon itu lantas bergegas masuk ke gedung.
“Ada apa sebenarnya. Siapa aku siapa dia? Tidak
penting urusan bisnis keluarganya bagiku -_-”
Gerutunya
sambil menunggu lift disamping meja resepsionis. Kakinya diketukkan seirama
orang berjalan, kebetulan seperti gadis yang berjalan mondar-mandir di kejauhan
sambil membawa kain dengan berbagai macam jenis dan kertas desain yang
bertebaran tanpa disadari si pembawanya. Wero menatap pintu lift yang tertutup
itu lantas berjalan beberapa langkah mengambil dua lembar gambar desain yang
ada didekatnya. Sementara wanita yang mengenakan baju kantoran itu menunduk
sembari memeriksa kembali bawannya.
“Ah.” dengan singkat dia menutup ponselnya yang lima menit sekali berdering karena Justin.
“Ah.” dengan singkat dia menutup ponselnya yang lima menit sekali berdering karena Justin.
Wero melambaikan tangan pada wanita itu yang
seperti kelihatan kehilangan. Tentu saja desain yang ada pada tangan Wero
sekarang. Gadis itu hanya menaikkan sebelah alisnya ketika wanita disana masih
acuh-tak-acuh padanya.
“Baiklah ini hanya terjadi sekali seumur hidupku.”
gumamnya sambil berlari menuju gadis itu.
“Ehm.”
Gadis itu menatap wanita didepannya yang terlihat
lebih tinggi darinya karena memakai high heels yang cukup membuatnya
semampai. Sementara blouse putihnya menyembul dibalik jas dan rok yang warnanya
hitam, senada dengan rambutnya yang bergelombang. Wero menengok namun gadis itu
tidak begitu memperdulikannya. Ponselnya kembali berdering.
“Maaf nona kau meninggalkan kertas ini yang mungkin penting ...”
“Maaf nona kau meninggalkan kertas ini yang mungkin penting ...”
Gadis itu terperangah menatap yang diajaknya
bicara telah melenggang sambil menekan tombol lift. Tanpa disadari mata Wero
terpicing sambil meremas kertas itu pada tangannya, menyaksikan pintu lift
perlahan tertutup. Serasa tidak cukup menyebalkan harus berulang kali me-reject
panggilan dari suaminya. Dengan kesal gadis itu berlarian menaiki tangga
menuju ruang pertemuan, kertas itu dibuangnya sembarang sambil mengutuki gadis
yang dirasanya bodoh barusan.
*****
Weronika Point Of View
Weronika Point Of View
Tubuhku
hampir terpelanting saat tiba-tiba tanganku ditarik seseorang dengan paksa.
Kemudian mata madunya menatapku tajam dari ujung kaki hingga membunuhku lewat
tatapannya. Namun sorotnya melemah sambil tersenyum begitu lebarnya padaku. Aku
hanya diam menantinya.
“Baiklah Wero status kita disini terbebaskan. Seluruh orang disini akan mengetahui kalau kita sudah menikah. Jadi kurasa wajar untuk kita bisa berdekatan jika didalam.”
Dengan wajahnya yang berseri dia menunjuk sebuah ruang rapat yang terlihat dari kaca. Dia menggenggam tanganku erat lantas mengajakku untuk masuk. Seketika seorang yang kelihatannya aku kenal tersenyum ke arahku. Astaga. Wanita dengan high heels serta setelan jas yang senada dengan rambutnya yang hitam bergelombang. Sepertinya aku pernah melihat mata yang sama sebelum disini. Dia, dia carly? Ada apa lagi sebenarnya. Aku menelan ludahku perlahan sambil kembali mengamatinya, suasana tegang dengan keheningan menjadi satu disini.
“Baiklah Wero status kita disini terbebaskan. Seluruh orang disini akan mengetahui kalau kita sudah menikah. Jadi kurasa wajar untuk kita bisa berdekatan jika didalam.”
Dengan wajahnya yang berseri dia menunjuk sebuah ruang rapat yang terlihat dari kaca. Dia menggenggam tanganku erat lantas mengajakku untuk masuk. Seketika seorang yang kelihatannya aku kenal tersenyum ke arahku. Astaga. Wanita dengan high heels serta setelan jas yang senada dengan rambutnya yang hitam bergelombang. Sepertinya aku pernah melihat mata yang sama sebelum disini. Dia, dia carly? Ada apa lagi sebenarnya. Aku menelan ludahku perlahan sambil kembali mengamatinya, suasana tegang dengan keheningan menjadi satu disini.
“Itukan gadis menyebalkan saat di lobby tadi?”
ucapku terlepas begitu saja.
“Wero bisakah kau menjaga image-mu sebagai istri calon direktur disini?”
“Wero bisakah kau menjaga image-mu sebagai istri calon direktur disini?”
Aku
menatap Justin dengan kosong lantas bergantian melihat setiap orang yang
kira-kira satu lusin jas mereka pakai disini. Cukup banyak serta mereka
melihatiku dengan wajah datar, namun memancarkan kecemasan. Aneh sekali. Aku
mengangguk perlahan pada Justin lantas bergegas menutup pintu ruangan itu dan
keluar. Menyebalkan sekali.
“Kuharap Carly tidak melihatku.” ucapku sambil menengok kembali dari kaca, Justin tengah menatapku dengan sorotan tajam dimata madunya.
“Kuharap Carly tidak melihatku.” ucapku sambil menengok kembali dari kaca, Justin tengah menatapku dengan sorotan tajam dimata madunya.
“Justin jaga rahasia kita.” dengan tergesa aku
memasukkan ponselku ke dalam tas setelah mengirim pesan singkat untuk lelaki
itu didalam. Kemudian aku bergegas pulang, rasanya nafasku tak kuat lagi. Sudah
cukup menyebalkan, dan tidak untuk gadis itu ketahui siapa aku sebenarnya.
To be continued.
0 comments: