Monday 8 September 2014

0

I HEAR YOUR HEARTBEATS 2

I HEAR YOUR HEARTBEATS 2

*****
Author’s View

               Hari ini hari baru setelah kemarin, begitu sampai rumah Wero langsung berendam dan tidur hingga pagi. Inilah kebiasaan buruk gadis itu tiap Ia sedang kesal, Wero lebih suka menenangkan pikiran dengan suasana yang tenang juga, daripada membebaskan dirinya di pergaulan malam yang samasekali tak pernah terbesit dalam benaknya, meskipun teman-temannya saat di Bali sering mengajaknya berdiskotik. Sementara semalam Daddy-nya lembur, Wero harus menyiapkan sarapannya sendiri dan juga menyiapkannya untuk Daddy. Lebih baik Wero berangkat sendiri saja daripada harus membangunkan Daddy. Wero takut mengganggu jam tidur ayah kesayangannya.
“Aku bahagia bisa tinggal bersama Daddy, namun lebih bahagia lagi kalau Mom ada bersama kita.”
Desis Wero perlahan sembari membenarkan selimut Daddy-nya, sementara sang ayah masih meringkuk menunggu pukul tujuh beranjak. Weropun tersenyum kecil dan meletakkan senampan sarapan pagi buatannya, lantas menutup pintu kamar ayahnya perlahan. Gadis ini memang terlalu muda untuk memikirkan masalah keluarganya, namuan dibalik senyuman tegar yang Ia selalu tunjukkan pada ayah dan ibunya, tak pelak Wero juga gadis lemah yang perlu sandaran untuk hidup. Dia menyembunyikan segala sesuatu dari hidupnya dengan orang lain, namun mempercayai dirinya sendiri untuk semua rahasia dan kesedihannya. Dia berpikir, tak perlu membaginya pada orang lain. Belum tentu mereka mengerti segala kerumitan hidupnya, belum tentu mereka paham.



****

  “Get out get out get out of my head,”
  “Get out? Then I must fallin on your arms, huh?” seorang lelaki memasukkan tangannya ke dalam saku sambil berjalan beriringan mengikuti langkah Wero sembari berdeham-deham. Wero tetap berjalan dengan santai sembari memperhatikan jalanan depannya dengan seksama, dia mengibaskan sedikit rambutnya dan merogoh sakunya sejenak. Mengangkat tangannya lantas mengikatkan jepit rambut pada rambutnya.
  “Get out get out get out of my head and come on-”

Kembali Wero bernyanyi dengan semangat, tanpa memperdulikan dunia lainnya, yang jelas dia sedang menyukai lagu yang berputar diponselnya. Dia merogoh sakunya dan menaikkan volume lagu tersebut, dan memaju-mundurkan kepalanya mengikuti irama yang berputar. Menikmati setiap rinci lagu tersebut.
   “Kenapa tidak menjawab pertanyaanku?”

Lelaki tadi mulai kesal dan menyenggol lengan Wero kecil. Wero berhenti bernyanyi ketika ada yang menyentuh lengannya yang masih terangkat tadi. Dan menatap tajam orang yang berjalan dengannya sedaritadi -tanpa diketahuinya- dan matanya terbelalak menyadari siapa yang berada disampingnya sekarang. Dia sedikit tercekat menyadari ternyata Justin, anak laki-laki yang rumahnya bagai istana kemarin, sekaligus kapten tim basket sekolahnya itu kini menatapnya dengan tatapan sangat-sangat membosankan.
   “Pantas saja.”

Justin dengan mengernyitkan dahinya. Wero mengikuti arah mata Justin yang menatap malas telinganya yang sengaja Ia sumbat dengan earphone sejak dari rumah tadi. Dengan kelabakan Wero melepas benda itu dan membenarkan seragamnya lantas menyusul Justin yang langkahnya berjalan dengan kecepatan diatasnya. Terlihat ekspresi Justin yang sangat kesal terhadap Wero yang tidak dapat tertutupi, Justin terbiasa melakukan orang-semena-mena dan sangat tidak sopan meskipun belum mengenal satusama-lain. Dan kini dia gusar terhadap gadis tersebut dan memilih meninggalkannya.


“Hei tunggu aku!”


Wero memanggil Justin yang hampir hilang dari tikungan koridor sekolah. Sementara lelaki itu justru mempercepat lagi langkahnya seolah agar Wero berhenti mengikutinya. Wero mulai gusar dan merubah langkahnya dengan tidak berjalan lagi namun dia berlari sembari membereskan iPhonenya untuk aman di dalam tasnya.


*****
Justin Bieber View’s


               Dasar bodoh. Semuanya bodoh. Aku juga bodoh. Bagaimana bisa aku mau mendekati wanita bodoh yang bahkan menyiakan kesempatannya untuk mengobrol denganku hanya karena dia sedang mendengarkan lagu One Direction. Dasar tidak memiliki semangat sekolalisme. Harusnya dia memutar laguku di ponselnya itu, daripada artis kampungan dari sekolah lain yang bahkan musuh sengit tim basketku. Hah -_- Dasar gadis bodoh. Untuk apa aku mendekatinya? Sementara banyak gadis disekolah ini dan di dunia yang lebih mengidolakanku? Maumaunya aku mengikuti taruhan One Direction juga untuk mendapatkannya, sementara aku memiliki Logan, Cody dan Skandar yang bisa membunuh The Boyz satu demi satu. Akkh! Aku memang bodoh hanya untuk ketenaran!
#FLASHBACK
Sehabis pertandingan persahabatan untuk tahun ajaran baru kemarin, aku sempat berjalan ke basecamp lawan mainku, yah siapa lagi kalau bukan The Boyz. Sebenarnya aku hanya ingin mengambil minuman saja di kantin yang kebetulan dijadikan basecamp oleh mereka. Haha. Dasar bodoh. Mungkin kantin sekolah ini lebih mewah daripada markas di sekolah mereka. Mungkin :D
   “Hei Justin!”
Salah satu personil The Boyz meneriaki aku, siapa lagi kalau bukan Zayn. Boleh saja dia terlihat manis didepan para gadis, atau terlihat begitu cool dan pendiam diantara mereka berlima namun dibalik kepolosan dan sandiwaranya itu, dia tak ubahnya iblis yang selalu membuat biang kerok. Terutama jika berdekatan denganku. Tidak di lapangan, sekarang di kantin. Dasar kampungan -_-
Aku tak memperdulikannya dan meneguk sebotol air dingin yang terasa segar di tenggorokanku, setelah bersusah payah melawan The Boyz dipertandingan tadi, yang hasilnya draw. Sia-sia sekali aku berjuang mati-matian untuk memenangkan pertandingan tadi. Yang ada aku lelah aku tidak dapat apa-apa.
   “Ternyata tim basketmu tak ubahnya katak dalam tempurung. Bodoh.” celoteh Niall.
   “Skill sekolah yang katanya nomor satu disini ternyata sama dengan sekolah kita.” Harry menambahkan.
   “Memang apalagi kaptennya, payah dan bisutuli. Tapi sok beringas dilapangan.”
Terasa begitu panas sekali mendengar suara yang menyebalkan dan minta untuk dihajar barusan. Yah siapa agi kalau bukan Zayn. Dia memang pakar biang kerok. Aku sudah diam tapi dia masih saja berusaha memantikkan api.
   “Bisa saja aku membuat kalian habis oleh seluruh siswa disini.” Kataku sinis sembari meremukkan botol yang airnya telah habis ku teguk barusan. Sekarang, bukan hanya tenggorokkanku yang panas namun tubuhku terasa mengeluarkan asap.
   “Sudah kuduga. Anak ini memang suka main keroyokan.” Cibir Zayn semakin panas terhadapku.
   “Mau kalian apa? Tak sudi menyentuh tubuh kalian dengan tanganku. Najis. Cuih.”
Aku meludah tepat di ujung sepatu Zayn dan terlihatlah ekspresi menahan marah oleh seorang Zayn Malik. Musuh bebuyutanku yang sedang berusaha nampak cool di hadapan gadis-gadis kantin.
   “Aku tak akan memukulmu, namun aku mengajakmu taruhan.”
   “Untuk apa repot-repot meladenimu.” Aku melenggang dan mengusap keringatku dengan tangan.
   “Kalau kau menang, aku takkan mengganggumu dan akan berusaha mengalahkan diri di setiap pertandingan basket. Namun jika aku menang, kau harus bisa membuat dirimu membenci dan harus menjauhi obyek taruhan kita.” Ucap Zayn mantap.
Aku menoleh. Kulirik personel The Boyz lainnya, mereka terlihat tidak percaya atau entahlah mungkin juga itu dibuat-buat dan telah direncanakan mereka sebelum ini.
“Zayn kau terlalu baik padanya, jelas jelas Justin akan menang dan tim basket kita tidak akan maju, bahkan bisa saja bulan ini juga ada shuffle The Boyz. Pikirkanlah lagi.” Bisik Niall.
“Iya Zayn. Kau harus bijaksana, bisa saja Justin membenci obyek taruhan itu, lagian dia orangnya tidak pedulian, dan sangat dingin. Mudah kan untuknya melupakan sesuatu.”
Harry, Louis, Niall, dan Liam mulai menasehati Zayn dengan seribu bahasa dibelakannya namun mereka memang bodoh. Berbisik namun aku bisa mendengar nya, dasar ceroboh. Aku hanya tersenyum sinis sembari mulai memikirkan keuntungannya.
“BAIK AKU TERIMA.”



*****


            Aku tetap berjalan dan menelusur koridor sekolah, dan suara gadis tadi tidak terdengar memanggilku lagi. Gadis itu cantik juga, dengan rambut yang terurai dan mata hazel yang sama sepertiku, menggemskan dengan seperti rona wajahnya terpancar dari dalamnya. Inner beauty. Tanpa make up yang menor hanya dia memakai parfum yang sangat feminine namun sederhana. Gayanya juga tidak berlebihan. Dari fisik dia memang cukup bagus, tinggi dan juga berkulit putih manis.
  “Ehemm.” Seseorang berdeham dari arah sampingku. Aku meliriknya yang ternyata adalah Skandar.
  “Memikirkan siapa kau ini? Sampai tersenyum-senyum sendiri seperti itu?”
Skandy melidikku dengan penuh kecurigaan. Aku hanya mengangkat alisku lantas menatap kosong ke depan, seorang guru menjelaskan pelajaran yang entah-apa maksudnya. Aku tidak tahu. Lagipula aku masuk dikelas ini karena uang. Bukan murni prestasiku, uang dapat membeli segalanya untukku. Sementara Skandar terus memanggilku tanpa kuperdulikan. Masa bodoh. Skandar memang orang yang menurutku sangat kepo. Mau tau  urusan orang. Memang ada sisi baiknya, dia bisa membantu orang lain namun tentu saja setiap mereka risih dengan rasa-penasaran Skand yang menggebu-gebu, dan cenderung memaksa -_-
   “Justin! Kau ini tidak mau menjawab pertanyaanku. Aku kan jadi pen-”
Skandy mulai menggerutu. Dasar kepo. Aku memasang wajah acuh-tak-acuh dan pura-pura memperhatikan pelajaran yang Miss Sandy jelaskan.
“Ehhm.”
Aku dan Skand menoleh mengetahui yang berdeham barusan adalah Miss Sandy. Ternyata hari ini pelajaran biologi dan Miss Sandy yang mengajar. Beruntung sekali Skandar. Tertangkap usil saat pelajaran guru killer terserbut. Haha. Skandar membenarkan duduknya lantas kembali menyenggol lenganku.
“Justin. Ceritakan padaku, aku jadi sangat penasaran.” Rengeknya ingin diberitahu.
“Just. Kita ini sahabatkan, segala masalahmu bisa aku bantu. Ceritalah.”
“Just-”


BRAAAAAK!

Miss Sandy tiba-tiba memukul meja keras dengan penggaris kayu , sontak seluruh siswa yang duudk di depan melnatap tajam kami yang ada di belakang ini dengan tatapan datar namun penuh kebosanan. Mungkin mereka sama sepertiku. Merasakan Skandy yang sangat membosankan.
  “Sudah kuperingatkan namun masih saja mengobrol! Mr. Keynes silahkan maju ke depan.”
  “Tapi-” Skandy mencoba mengelak perintah guru itu. Aku hanya menahan tawaku saja.
  “Silahkan maju ke depan. Jangan banyak bicara atau saya beri tambahan hukuman.”
Wah dasar kambing conge. Sekarang aku yang dijadikan mangsa buat heena lapar didepan. Dasar Skandy. Ku pelototi dia, enak saja melempar batunya padaku. Skandy menatapku kesal lantas mengernyitkan dahinya pada guru itu. Dia menggerutu padaku sambil terus menyenggol-nyenggol lenganku, aku sendiri tak memperdulikannya. Masa bodoh. Dia yang mengajakku ngobrol, dia yang mengobrol sendiri. Wajahnya terlihat sangat kesal dengan bibir yang mengerucut dan pipi yang menggembung.
“Tapi saya sedang ngobrol dengan Justin. Masa hanya saya saja yang dihukum harusnya kan Justin-”
“Jangan membantah Mr. Keynes!”
“Saya perhatikan sedaritadi Justin hanya diam saja tanpa meladenimu, dan kaulah yang sedaritadi mengganggu Justin dan mengganggu pelajaran saya. Jadi silahkan-”
“PERMISI.”
               Suasana kelas yang tegang dan begitu panas seolah mencair karena suara dan kedatangan seorang gadis yang muncul dari balik pintu. Aku memperhatikannya dengan seksama. Gadis ini kan yang tadi aku temui dan aku tinggal pergi. Seluruh isi kelas memperhatikan gadis itu. Gadis yang sedang kubayangkan tadi, yang ternyata membuatku tersenyum tanpa kusadari. Dia terlihat begitu manis dengan seragam yang ia kenakan. Padahal seragam itu juga dikenakan siswi lain, namun jika dia yang memakai, aku tak akan jemu memandangnya. Dia berjalan mendekati meja guru yang ada didepan, lantas meraih tangan guru tadi dan menciumnya. Kuperhatikan seisi kelas memandangnya heran.
“Maaf miss, saya terlambat. Saya murid baru disini, dan saya kebingungan mencari lokasi kelas.”
Miss Emma-pun tersenyum padanya dan membalas gadis itu dengan baik.
“Baiklah saya maafkan. Namun lainkali jangan terlambat mengikuti pelajaran saya, nona Mamot.”
“Terimakasih banyak Miss.”
“Baiklah silakan memilih tempat duduk anda. Dan anak-anak mari kita lanjutkan materi tadi.”
Mamot?
Namanya Mamot? Haha, lucu sekali. Semua anak memperhatikan mereka. Baik lelaki ataupun perempuan. Mereka memandang ‘Mamot’ dengan penuh kekaguman. Padahal aku biasa saja melihatnya. Dia kemudian berjalan dengan lembut ke arah meja didepanku. Entah dia sengaja atau dia tidak sadar atas keberadaanku. Yang jelas masih banyak bangku kosong lain karena anak kelas ini sepenuhnya belum datang. Aku menoleh. Kuperhatikan Skandy berulang-kali mengelus dadanya dan duduk dengan nafas tak beraturan. Dasar Skandy. Sudah kepo, selalu nervous dan paling tidak bisa melihat gadis cantik yang lewat didepannya atau didekatnya.
  “Justin. Aku terselamatkan.” Bisiknya perlahan dengan nada yang merendah.
  “Maksudnya gadis tadi menolongku. Coba kalau tidak aku kan sudah jadi santapan siang heena itu.”
Belum kutanyakan dia sudah menjawab. Akupun mengangguk padanya lantas kembali memperhatikan gadis tadi. Meskipun hanya dari belakang dia tetap terlihat cantik.
  “Mamot, terimakasih yaaaa ..”
Tiba-tiba Skandy menyentuh pundak gadis tadi dengan susah payah karena jarak mereka yang terpisah olehku dibelakangnya. Aku terkejut ketika Skandy dengan mudahnya menyentuh gadisku.

Gadisku? Aku mengernyitkan dahi dan menampar pelan kedua pipiku bergantian. Gadis itu benar-benar telah meracuni pikiranku.
          “Kamu siapa? Terimakasih untuk apa?” Mamot menoleh dan menjawab Skandy dengan penuh kebingungan, dia menaikkan pundaknya seolah risih untuk dipegang oleh Skandy. Aku hanya pasrah menyaksikan mereka berdua meski sebenarnya ada rasa cemburu atau rasa envy yang menggangguku. Entahlah. Gadis itu sangat karismatik saja dimataku.
“Ehmm. Tuan Keynes.”
Miss Sandy kembali berdeham cukup keras, dan Skandy hanya membalas pertanyaan Mamot dengan cengiran super khasnya yang memperlihatkan deretan gigi tak beraturannya. Abstrak seperti jiwa Skandar sebenarnya. Skandy menuliskan sesuatu disecarik kertas, yang jelas aku tidak mengetahuinya lantas memberikannya pada Mamot dan kembali tenang seolah tidak terjadi apa-apa.



*****
Weronika Mamot View’s


Barusaja kami keluar kelas karena bel istirahat dimulai. Ratusan siswa berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing seperti kami, berlarian dan berebut sampai di kantin. Aku sendiri tidak tahu harus kemana. Aku masih belum menghafali setiap gedung dan lorong sekolah ini. Tadi saja aku tersesat saat menuju kemari. Aku hanya berdiam sambil dudukdi sebuah bangku di depan kelas. Tiba-tiba saja aku melihat seorang anak laki-laki yang postur tubuhnya sangat aku kenali. Dia berdiri mematung sambil memasukkan telapak tangannya ke dalam saku, kelihatannya dia sedang melamun atau apalah. Aku tidak tahu.
    “Ehhm. Justin?”
Aku berdeham kecil berharap dia menyambutku. Dia menoleh. Dan dengan wajah datarnya dia melihatku sekilas, lantas menoleh lagi ke depan. Kudekati dia lagi dan mencoba berdiri dengannya.
  “Aku hanya minta maaf tadi pagi aku tak mendengarkan apa yang kau-bicarakan-tadi. Maaf sekali.”
Aku tersenyum masam sambil menatap lurus ke depan, kemudian ku dengar dia menghela nafasnya perlahan. Aku merasakannya. Dia sedang menikmati suatu pertandingan basket yang tepat berada di depan kami sekarang.
  “Bisakah kita ulang kembali?” rengekku sedikit memaksa dengan memasang wajah baby-face. Aku mulai merayunya sedikit. Dia hanya mengangkat alisnya sederhana dan menatap mataku dalam.
“Darimana kau tahu namaku?”



DEG!



To be continued.

0 comments: