I HEAR YOUR HEARTBEATS 2
I HEAR YOUR HEARTBEATS 2
*****
Author’s View
Hari ini hari baru setelah
kemarin, begitu sampai rumah Wero langsung berendam dan tidur hingga pagi.
Inilah kebiasaan buruk gadis itu tiap Ia sedang kesal, Wero lebih suka
menenangkan pikiran dengan suasana yang tenang juga, daripada membebaskan
dirinya di pergaulan malam yang samasekali tak pernah terbesit dalam benaknya,
meskipun teman-temannya saat di Bali sering mengajaknya berdiskotik. Sementara
semalam Daddy-nya lembur, Wero harus menyiapkan sarapannya sendiri dan juga
menyiapkannya untuk Daddy. Lebih baik Wero berangkat sendiri saja daripada
harus membangunkan Daddy. Wero takut mengganggu jam tidur ayah kesayangannya.
“Aku
bahagia bisa tinggal bersama Daddy, namun lebih bahagia lagi kalau Mom ada
bersama kita.”
Desis Wero
perlahan sembari membenarkan selimut Daddy-nya, sementara sang ayah masih
meringkuk menunggu pukul tujuh beranjak. Weropun tersenyum kecil dan meletakkan
senampan sarapan pagi buatannya, lantas menutup pintu kamar ayahnya perlahan.
Gadis ini memang terlalu muda untuk memikirkan masalah keluarganya, namuan
dibalik senyuman tegar yang Ia selalu tunjukkan pada ayah dan ibunya, tak pelak
Wero juga gadis lemah yang perlu sandaran untuk hidup. Dia menyembunyikan
segala sesuatu dari hidupnya dengan orang lain, namun mempercayai dirinya
sendiri untuk semua rahasia dan kesedihannya. Dia berpikir, tak perlu
membaginya pada orang lain. Belum tentu mereka mengerti segala kerumitan
hidupnya, belum tentu mereka paham.
****
“Get out get out get out of my head,”
“Get out? Then I must fallin on your arms, huh?” seorang lelaki memasukkan tangannya ke dalam saku sambil berjalan beriringan mengikuti langkah Wero sembari berdeham-deham. Wero tetap berjalan dengan santai sembari memperhatikan jalanan depannya dengan seksama, dia mengibaskan sedikit rambutnya dan merogoh sakunya sejenak. Mengangkat tangannya lantas mengikatkan jepit rambut pada rambutnya.
“Get out? Then I must fallin on your arms, huh?” seorang lelaki memasukkan tangannya ke dalam saku sambil berjalan beriringan mengikuti langkah Wero sembari berdeham-deham. Wero tetap berjalan dengan santai sembari memperhatikan jalanan depannya dengan seksama, dia mengibaskan sedikit rambutnya dan merogoh sakunya sejenak. Mengangkat tangannya lantas mengikatkan jepit rambut pada rambutnya.
“Get out get out get out of my head and
come on-”
Kembali Wero bernyanyi dengan semangat, tanpa memperdulikan dunia lainnya, yang
jelas dia sedang menyukai lagu yang berputar diponselnya. Dia merogoh sakunya
dan menaikkan volume lagu tersebut, dan memaju-mundurkan kepalanya mengikuti
irama yang berputar. Menikmati setiap rinci lagu tersebut.
“Kenapa
tidak menjawab pertanyaanku?”
Lelaki tadi mulai kesal dan menyenggol lengan Wero kecil. Wero berhenti
bernyanyi ketika ada yang menyentuh lengannya yang masih terangkat tadi. Dan
menatap tajam orang yang berjalan dengannya sedaritadi -tanpa diketahuinya- dan
matanya terbelalak menyadari siapa yang berada disampingnya sekarang. Dia
sedikit tercekat menyadari ternyata Justin, anak laki-laki yang rumahnya bagai
istana kemarin, sekaligus kapten tim basket sekolahnya itu kini menatapnya
dengan tatapan sangat-sangat membosankan.
“Pantas saja.”
Justin dengan mengernyitkan dahinya. Wero mengikuti arah mata Justin yang
menatap malas telinganya yang sengaja Ia sumbat dengan earphone sejak dari
rumah tadi. Dengan kelabakan Wero melepas benda itu dan membenarkan seragamnya
lantas menyusul Justin yang langkahnya berjalan dengan kecepatan diatasnya.
Terlihat ekspresi Justin yang sangat kesal terhadap Wero yang tidak dapat
tertutupi, Justin terbiasa melakukan orang-semena-mena dan sangat tidak sopan
meskipun belum mengenal satusama-lain. Dan kini dia gusar terhadap gadis
tersebut dan memilih meninggalkannya.
“Hei tunggu
aku!”
Wero
memanggil Justin yang hampir hilang dari tikungan koridor sekolah. Sementara
lelaki itu justru mempercepat lagi langkahnya seolah agar Wero berhenti
mengikutinya. Wero mulai gusar dan merubah langkahnya dengan tidak berjalan
lagi namun dia berlari sembari membereskan iPhonenya untuk aman di dalam
tasnya.
*****
Justin
Bieber View’s
Dasar bodoh. Semuanya bodoh. Aku
juga bodoh. Bagaimana bisa aku mau mendekati wanita bodoh yang bahkan menyiakan
kesempatannya untuk mengobrol denganku hanya karena dia sedang mendengarkan
lagu One Direction. Dasar tidak memiliki semangat sekolalisme. Harusnya dia
memutar laguku di ponselnya itu, daripada artis kampungan dari sekolah lain
yang bahkan musuh sengit tim basketku. Hah -_- Dasar gadis bodoh. Untuk apa aku
mendekatinya? Sementara banyak gadis disekolah ini dan di dunia yang lebih
mengidolakanku? Maumaunya aku mengikuti taruhan One Direction juga untuk
mendapatkannya, sementara aku memiliki Logan, Cody dan Skandar yang bisa
membunuh The Boyz satu demi satu. Akkh! Aku memang bodoh hanya untuk ketenaran!
#FLASHBACK
Sehabis
pertandingan persahabatan untuk tahun ajaran baru kemarin, aku sempat berjalan
ke basecamp lawan mainku, yah siapa lagi kalau bukan The Boyz. Sebenarnya aku
hanya ingin mengambil minuman saja di kantin yang kebetulan dijadikan basecamp
oleh mereka. Haha. Dasar bodoh. Mungkin kantin sekolah ini lebih mewah daripada
markas di sekolah mereka. Mungkin :D
“Hei Justin!”
Salah satu
personil The Boyz meneriaki aku, siapa lagi kalau bukan Zayn. Boleh saja dia
terlihat manis didepan para gadis, atau terlihat begitu cool dan pendiam diantara mereka berlima namun dibalik kepolosan
dan sandiwaranya itu, dia tak ubahnya iblis yang selalu membuat biang kerok.
Terutama jika berdekatan denganku. Tidak di lapangan, sekarang di kantin. Dasar
kampungan -_-
Aku tak
memperdulikannya dan meneguk sebotol air dingin yang terasa segar di
tenggorokanku, setelah bersusah payah melawan The Boyz dipertandingan tadi,
yang hasilnya draw. Sia-sia sekali aku berjuang mati-matian untuk memenangkan
pertandingan tadi. Yang ada aku lelah aku tidak dapat apa-apa.
“Ternyata tim basketmu tak ubahnya katak dalam tempurung. Bodoh.” celoteh Niall.
“Skill sekolah yang katanya nomor satu disini ternyata sama dengan sekolah kita.” Harry menambahkan.
“Memang apalagi kaptennya, payah dan bisutuli. Tapi sok beringas dilapangan.”
Terasa begitu panas sekali mendengar suara yang menyebalkan dan minta untuk dihajar barusan. Yah siapa agi kalau bukan Zayn. Dia memang pakar biang kerok. Aku sudah diam tapi dia masih saja berusaha memantikkan api.
“Bisa saja aku membuat kalian habis oleh seluruh siswa disini.” Kataku sinis sembari meremukkan botol yang airnya telah habis ku teguk barusan. Sekarang, bukan hanya tenggorokkanku yang panas namun tubuhku terasa mengeluarkan asap.
“Sudah kuduga. Anak ini memang suka main keroyokan.” Cibir Zayn semakin panas terhadapku.
“Mau kalian apa? Tak sudi menyentuh tubuh kalian dengan tanganku. Najis. Cuih.”
Aku meludah tepat di ujung sepatu Zayn dan terlihatlah ekspresi menahan marah oleh seorang Zayn Malik. Musuh bebuyutanku yang sedang berusaha nampak cool di hadapan gadis-gadis kantin.
“Aku tak akan memukulmu, namun aku mengajakmu taruhan.”
“Untuk apa repot-repot meladenimu.” Aku melenggang dan mengusap keringatku dengan tangan.
“Kalau kau menang, aku takkan mengganggumu dan akan berusaha mengalahkan diri di setiap pertandingan basket. Namun jika aku menang, kau harus bisa membuat dirimu membenci dan harus menjauhi obyek taruhan kita.” Ucap Zayn mantap.
“Ternyata tim basketmu tak ubahnya katak dalam tempurung. Bodoh.” celoteh Niall.
“Skill sekolah yang katanya nomor satu disini ternyata sama dengan sekolah kita.” Harry menambahkan.
“Memang apalagi kaptennya, payah dan bisutuli. Tapi sok beringas dilapangan.”
Terasa begitu panas sekali mendengar suara yang menyebalkan dan minta untuk dihajar barusan. Yah siapa agi kalau bukan Zayn. Dia memang pakar biang kerok. Aku sudah diam tapi dia masih saja berusaha memantikkan api.
“Bisa saja aku membuat kalian habis oleh seluruh siswa disini.” Kataku sinis sembari meremukkan botol yang airnya telah habis ku teguk barusan. Sekarang, bukan hanya tenggorokkanku yang panas namun tubuhku terasa mengeluarkan asap.
“Sudah kuduga. Anak ini memang suka main keroyokan.” Cibir Zayn semakin panas terhadapku.
“Mau kalian apa? Tak sudi menyentuh tubuh kalian dengan tanganku. Najis. Cuih.”
Aku meludah tepat di ujung sepatu Zayn dan terlihatlah ekspresi menahan marah oleh seorang Zayn Malik. Musuh bebuyutanku yang sedang berusaha nampak cool di hadapan gadis-gadis kantin.
“Aku tak akan memukulmu, namun aku mengajakmu taruhan.”
“Untuk apa repot-repot meladenimu.” Aku melenggang dan mengusap keringatku dengan tangan.
“Kalau kau menang, aku takkan mengganggumu dan akan berusaha mengalahkan diri di setiap pertandingan basket. Namun jika aku menang, kau harus bisa membuat dirimu membenci dan harus menjauhi obyek taruhan kita.” Ucap Zayn mantap.
Aku
menoleh. Kulirik personel The Boyz lainnya, mereka terlihat tidak percaya atau
entahlah mungkin juga itu dibuat-buat dan telah direncanakan mereka sebelum
ini.
“Zayn kau terlalu baik padanya, jelas jelas Justin akan menang dan tim basket kita tidak akan maju, bahkan bisa saja bulan ini juga ada shuffle The Boyz. Pikirkanlah lagi.” Bisik Niall.
“Iya Zayn. Kau harus bijaksana, bisa saja Justin membenci obyek taruhan itu, lagian dia orangnya tidak pedulian, dan sangat dingin. Mudah kan untuknya melupakan sesuatu.”
“Zayn kau terlalu baik padanya, jelas jelas Justin akan menang dan tim basket kita tidak akan maju, bahkan bisa saja bulan ini juga ada shuffle The Boyz. Pikirkanlah lagi.” Bisik Niall.
“Iya Zayn. Kau harus bijaksana, bisa saja Justin membenci obyek taruhan itu, lagian dia orangnya tidak pedulian, dan sangat dingin. Mudah kan untuknya melupakan sesuatu.”
Harry,
Louis, Niall, dan Liam mulai menasehati Zayn dengan seribu bahasa dibelakannya
namun mereka memang bodoh. Berbisik namun aku bisa mendengar nya, dasar
ceroboh. Aku hanya tersenyum sinis sembari mulai memikirkan keuntungannya.
“BAIK AKU
TERIMA.”
*****
Aku tetap
berjalan dan menelusur koridor sekolah, dan suara gadis tadi tidak terdengar
memanggilku lagi. Gadis itu cantik juga, dengan rambut yang terurai dan mata
hazel yang sama sepertiku, menggemskan dengan seperti rona wajahnya terpancar
dari dalamnya. Inner beauty. Tanpa
make up yang menor hanya dia memakai parfum yang sangat feminine namun
sederhana. Gayanya juga tidak berlebihan. Dari fisik dia memang cukup bagus,
tinggi dan juga berkulit putih manis.
“Ehemm.” Seseorang berdeham dari arah sampingku. Aku meliriknya yang ternyata adalah Skandar.
“Memikirkan siapa kau ini? Sampai tersenyum-senyum sendiri seperti itu?”
Skandy melidikku dengan penuh kecurigaan. Aku hanya mengangkat alisku lantas menatap kosong ke depan, seorang guru menjelaskan pelajaran yang entah-apa maksudnya. Aku tidak tahu. Lagipula aku masuk dikelas ini karena uang. Bukan murni prestasiku, uang dapat membeli segalanya untukku. Sementara Skandar terus memanggilku tanpa kuperdulikan. Masa bodoh. Skandar memang orang yang menurutku sangat kepo. Mau tau urusan orang. Memang ada sisi baiknya, dia bisa membantu orang lain namun tentu saja setiap mereka risih dengan rasa-penasaran Skand yang menggebu-gebu, dan cenderung memaksa -_-
“Justin! Kau ini tidak mau menjawab pertanyaanku. Aku kan jadi pen-”
Skandy mulai menggerutu. Dasar kepo. Aku memasang wajah acuh-tak-acuh dan pura-pura memperhatikan pelajaran yang Miss Sandy jelaskan.
“Ehemm.” Seseorang berdeham dari arah sampingku. Aku meliriknya yang ternyata adalah Skandar.
“Memikirkan siapa kau ini? Sampai tersenyum-senyum sendiri seperti itu?”
Skandy melidikku dengan penuh kecurigaan. Aku hanya mengangkat alisku lantas menatap kosong ke depan, seorang guru menjelaskan pelajaran yang entah-apa maksudnya. Aku tidak tahu. Lagipula aku masuk dikelas ini karena uang. Bukan murni prestasiku, uang dapat membeli segalanya untukku. Sementara Skandar terus memanggilku tanpa kuperdulikan. Masa bodoh. Skandar memang orang yang menurutku sangat kepo. Mau tau urusan orang. Memang ada sisi baiknya, dia bisa membantu orang lain namun tentu saja setiap mereka risih dengan rasa-penasaran Skand yang menggebu-gebu, dan cenderung memaksa -_-
“Justin! Kau ini tidak mau menjawab pertanyaanku. Aku kan jadi pen-”
Skandy mulai menggerutu. Dasar kepo. Aku memasang wajah acuh-tak-acuh dan pura-pura memperhatikan pelajaran yang Miss Sandy jelaskan.
“Ehhm.”
Aku dan
Skand menoleh mengetahui yang berdeham barusan adalah Miss Sandy. Ternyata hari
ini pelajaran biologi dan Miss Sandy yang mengajar. Beruntung sekali Skandar.
Tertangkap usil saat pelajaran guru killer terserbut. Haha. Skandar membenarkan
duduknya lantas kembali menyenggol lenganku.
“Justin. Ceritakan padaku, aku jadi sangat penasaran.” Rengeknya ingin diberitahu.
“Just. Kita ini sahabatkan, segala masalahmu bisa aku bantu. Ceritalah.”
“Just-”
“Justin. Ceritakan padaku, aku jadi sangat penasaran.” Rengeknya ingin diberitahu.
“Just. Kita ini sahabatkan, segala masalahmu bisa aku bantu. Ceritalah.”
“Just-”
BRAAAAAK!
Miss Sandy
tiba-tiba memukul meja keras dengan penggaris kayu , sontak seluruh siswa yang
duudk di depan melnatap tajam kami yang ada di belakang ini dengan tatapan
datar namun penuh kebosanan. Mungkin mereka sama sepertiku. Merasakan Skandy
yang sangat membosankan.
“Sudah kuperingatkan namun masih saja
mengobrol! Mr. Keynes silahkan maju ke depan.”
“Tapi-” Skandy mencoba mengelak perintah guru itu. Aku hanya menahan tawaku saja.
“Silahkan maju ke depan. Jangan banyak bicara atau saya beri tambahan hukuman.”
“Tapi-” Skandy mencoba mengelak perintah guru itu. Aku hanya menahan tawaku saja.
“Silahkan maju ke depan. Jangan banyak bicara atau saya beri tambahan hukuman.”
Wah dasar
kambing conge. Sekarang aku yang dijadikan mangsa buat heena lapar didepan.
Dasar Skandy. Ku pelototi dia, enak saja melempar batunya padaku. Skandy
menatapku kesal lantas mengernyitkan dahinya pada guru itu. Dia menggerutu
padaku sambil terus menyenggol-nyenggol lenganku, aku sendiri tak
memperdulikannya. Masa bodoh. Dia yang mengajakku ngobrol, dia yang mengobrol
sendiri. Wajahnya terlihat sangat kesal dengan bibir yang mengerucut dan pipi
yang menggembung.
“Tapi saya
sedang ngobrol dengan Justin. Masa hanya saya saja yang dihukum harusnya kan
Justin-”
“Jangan membantah Mr. Keynes!”
“Saya perhatikan sedaritadi Justin hanya diam saja tanpa meladenimu, dan kaulah yang sedaritadi mengganggu Justin dan mengganggu pelajaran saya. Jadi silahkan-”
“Jangan membantah Mr. Keynes!”
“Saya perhatikan sedaritadi Justin hanya diam saja tanpa meladenimu, dan kaulah yang sedaritadi mengganggu Justin dan mengganggu pelajaran saya. Jadi silahkan-”
“PERMISI.”
Suasana kelas yang tegang dan begitu
panas seolah mencair karena suara dan kedatangan seorang gadis yang muncul dari
balik pintu. Aku memperhatikannya dengan seksama. Gadis ini kan yang tadi aku
temui dan aku tinggal pergi. Seluruh isi kelas memperhatikan gadis itu. Gadis
yang sedang kubayangkan tadi, yang ternyata membuatku tersenyum tanpa kusadari.
Dia terlihat begitu manis dengan seragam yang ia kenakan. Padahal seragam itu
juga dikenakan siswi lain, namun jika dia yang memakai, aku tak akan jemu
memandangnya. Dia berjalan mendekati meja guru yang ada didepan, lantas meraih
tangan guru tadi dan menciumnya. Kuperhatikan seisi kelas memandangnya heran.
“Maaf miss,
saya terlambat. Saya murid baru disini, dan saya kebingungan mencari lokasi
kelas.”
Miss Emma-pun
tersenyum padanya dan membalas gadis itu dengan baik.
“Baiklah saya maafkan. Namun lainkali jangan terlambat mengikuti pelajaran saya, nona Mamot.”
“Terimakasih banyak Miss.”
“Baiklah silakan memilih tempat duduk anda. Dan anak-anak mari kita lanjutkan materi tadi.”
“Baiklah saya maafkan. Namun lainkali jangan terlambat mengikuti pelajaran saya, nona Mamot.”
“Terimakasih banyak Miss.”
“Baiklah silakan memilih tempat duduk anda. Dan anak-anak mari kita lanjutkan materi tadi.”
Mamot?
Namanya Mamot? Haha, lucu sekali. Semua anak memperhatikan mereka. Baik lelaki ataupun perempuan. Mereka memandang ‘Mamot’ dengan penuh kekaguman. Padahal aku biasa saja melihatnya. Dia kemudian berjalan dengan lembut ke arah meja didepanku. Entah dia sengaja atau dia tidak sadar atas keberadaanku. Yang jelas masih banyak bangku kosong lain karena anak kelas ini sepenuhnya belum datang. Aku menoleh. Kuperhatikan Skandy berulang-kali mengelus dadanya dan duduk dengan nafas tak beraturan. Dasar Skandy. Sudah kepo, selalu nervous dan paling tidak bisa melihat gadis cantik yang lewat didepannya atau didekatnya.
“Justin. Aku terselamatkan.” Bisiknya perlahan dengan nada yang merendah.
“Maksudnya gadis tadi menolongku. Coba kalau tidak aku kan sudah jadi santapan siang heena itu.”
Belum kutanyakan dia sudah menjawab. Akupun mengangguk padanya lantas kembali memperhatikan gadis tadi. Meskipun hanya dari belakang dia tetap terlihat cantik.
“Mamot, terimakasih yaaaa ..”
Tiba-tiba Skandy menyentuh pundak gadis tadi dengan susah payah karena jarak mereka yang terpisah olehku dibelakangnya. Aku terkejut ketika Skandy dengan mudahnya menyentuh gadisku.
Namanya Mamot? Haha, lucu sekali. Semua anak memperhatikan mereka. Baik lelaki ataupun perempuan. Mereka memandang ‘Mamot’ dengan penuh kekaguman. Padahal aku biasa saja melihatnya. Dia kemudian berjalan dengan lembut ke arah meja didepanku. Entah dia sengaja atau dia tidak sadar atas keberadaanku. Yang jelas masih banyak bangku kosong lain karena anak kelas ini sepenuhnya belum datang. Aku menoleh. Kuperhatikan Skandy berulang-kali mengelus dadanya dan duduk dengan nafas tak beraturan. Dasar Skandy. Sudah kepo, selalu nervous dan paling tidak bisa melihat gadis cantik yang lewat didepannya atau didekatnya.
“Justin. Aku terselamatkan.” Bisiknya perlahan dengan nada yang merendah.
“Maksudnya gadis tadi menolongku. Coba kalau tidak aku kan sudah jadi santapan siang heena itu.”
Belum kutanyakan dia sudah menjawab. Akupun mengangguk padanya lantas kembali memperhatikan gadis tadi. Meskipun hanya dari belakang dia tetap terlihat cantik.
“Mamot, terimakasih yaaaa ..”
Tiba-tiba Skandy menyentuh pundak gadis tadi dengan susah payah karena jarak mereka yang terpisah olehku dibelakangnya. Aku terkejut ketika Skandy dengan mudahnya menyentuh gadisku.
Gadisku? Aku mengernyitkan dahi dan menampar pelan kedua pipiku bergantian.
Gadis itu benar-benar telah meracuni pikiranku.
“Kamu siapa? Terimakasih untuk apa?” Mamot menoleh dan menjawab Skandy dengan penuh kebingungan, dia menaikkan pundaknya seolah risih untuk dipegang oleh Skandy. Aku hanya pasrah menyaksikan mereka berdua meski sebenarnya ada rasa cemburu atau rasa envy yang menggangguku. Entahlah. Gadis itu sangat karismatik saja dimataku.
“Kamu siapa? Terimakasih untuk apa?” Mamot menoleh dan menjawab Skandy dengan penuh kebingungan, dia menaikkan pundaknya seolah risih untuk dipegang oleh Skandy. Aku hanya pasrah menyaksikan mereka berdua meski sebenarnya ada rasa cemburu atau rasa envy yang menggangguku. Entahlah. Gadis itu sangat karismatik saja dimataku.
“Ehmm. Tuan
Keynes.”
Miss Sandy
kembali berdeham cukup keras, dan Skandy hanya membalas pertanyaan Mamot dengan
cengiran super khasnya yang memperlihatkan deretan gigi tak beraturannya.
Abstrak seperti jiwa Skandar sebenarnya. Skandy menuliskan sesuatu disecarik
kertas, yang jelas aku tidak mengetahuinya lantas memberikannya pada Mamot dan
kembali tenang seolah tidak terjadi apa-apa.
*****
Weronika Mamot View’s
Barusaja
kami keluar kelas karena bel istirahat dimulai. Ratusan siswa berhamburan
keluar dari kelasnya masing-masing seperti kami, berlarian dan berebut sampai
di kantin. Aku sendiri tidak tahu harus kemana. Aku masih belum menghafali
setiap gedung dan lorong sekolah ini. Tadi saja aku tersesat saat menuju
kemari. Aku hanya berdiam sambil dudukdi sebuah bangku di depan kelas.
Tiba-tiba saja aku melihat seorang anak laki-laki yang postur tubuhnya sangat
aku kenali. Dia berdiri mematung sambil memasukkan telapak tangannya ke dalam
saku, kelihatannya dia sedang melamun atau apalah. Aku tidak tahu.
“Ehhm. Justin?”
Aku berdeham kecil berharap dia menyambutku. Dia menoleh. Dan dengan wajah datarnya dia melihatku sekilas, lantas menoleh lagi ke depan. Kudekati dia lagi dan mencoba berdiri dengannya.
“Aku hanya minta maaf tadi pagi aku tak mendengarkan apa yang kau-bicarakan-tadi. Maaf sekali.”
Aku tersenyum masam sambil menatap lurus ke depan, kemudian ku dengar dia menghela nafasnya perlahan. Aku merasakannya. Dia sedang menikmati suatu pertandingan basket yang tepat berada di depan kami sekarang.
“Bisakah kita ulang kembali?” rengekku sedikit memaksa dengan memasang wajah baby-face. Aku mulai merayunya sedikit. Dia hanya mengangkat alisnya sederhana dan menatap mataku dalam.
“Darimana kau tahu namaku?”
“Ehhm. Justin?”
Aku berdeham kecil berharap dia menyambutku. Dia menoleh. Dan dengan wajah datarnya dia melihatku sekilas, lantas menoleh lagi ke depan. Kudekati dia lagi dan mencoba berdiri dengannya.
“Aku hanya minta maaf tadi pagi aku tak mendengarkan apa yang kau-bicarakan-tadi. Maaf sekali.”
Aku tersenyum masam sambil menatap lurus ke depan, kemudian ku dengar dia menghela nafasnya perlahan. Aku merasakannya. Dia sedang menikmati suatu pertandingan basket yang tepat berada di depan kami sekarang.
“Bisakah kita ulang kembali?” rengekku sedikit memaksa dengan memasang wajah baby-face. Aku mulai merayunya sedikit. Dia hanya mengangkat alisnya sederhana dan menatap mataku dalam.
“Darimana kau tahu namaku?”
DEG!
0 comments: