Wednesday, 10 September 2014

0

I HEAR YOUR HEARTBEATS 16

I HEAR YOUR HEARTBEATS 16
*****


               Justin menatap kaca mobil yang disapu berulang karena rerintikan air hujan seolah meredup mengakhiri musim yang sama seperti airmatanya, membasahi pipi dengan rasa hampa. Wero hanya ikut terdiam lantas masih berusaha menenangkan diri mencerna setiap perkataan dokter tadi. Sepanjang perjalanan yang dilewati mereka banyak diam, membiarkan deru mobil saja yang bersuara. Mobil itu lantas memasuki pekarangan rumah sederhana mereka, namun terhenti di garasi tanpa canopy itu.
“Just, maafkan aku.” ucap gadis itu lirih sambil memeluk erat lelaki itu dari samping tubuhnya. Justin hanya diam sambil tetap memegang setir tanpa membalasnya apa-apa. Namun degup jantungnya yang terasa jarang begitu dirasakan Wero sama seperti saat physco yang lama Justin hilangkan, seolah akan muncul kembali.
“Aku tahu kau senang karena aku akan berhenti membicarakan hal bodoh yang samasekali tidak ada untuk kita, sudah Wero ini salahku juga.”

               Wero menengadah, mengusap airmatanya sambil menatap Justin bingung.

“Maksudku bukan begitu, aku juga menginginkannya namun bukan sekarang ini waktu yang tepat.”
“Iya Wero aku tahu, masih ada harapan kita untuk kesana 3 minggu lagi.”
“Sekarang bergegaslah untuk istirahat agar tubuhmu bugar. Lupakan perkataan yang menyakitkan dari dokter tadi, dan semuanya akan berjalan seperti seharusnya.” tambah lelaki itu lantas mematikan mesin mobil mereka yang mengiringi rerintikan air hujan.

Gadis itu ragu sambil turun, berlarian meneduh untuk menunggu Justin menyusulnya. Bisa dirasakan ucapan dari mulut lelaki itu berbohong padanya, agar tidak ada yang perlu dicemaskan. Wero dapat membacanya dari cara bicara Justin yang sama sekali tak mau menatap mata hazel kepunyaan istrinya itu. Sementara Justin tersenyum dengan raut penuh keterpaksaan, dirangkulnya pundak Wero lantas berjalan memasuki rumah mereka.




*****
Weronika Point Of View



               Entah mengapa sejak malam itu aku enggan berbicara dengan Justin, namun lelaki itu tak henti-hentinya tersenyum. Satu dua hari setelahnya, tak ada raut kesedihan lagi di esok paginya seolah malam itu tidak terjadi apa-apa. Sebenarnya hatiku menangis mengetahui Justin begitu tulus mencintaiku sekarang, aku tahu dia menerimaku apa adanya. Meski perkataan ‘pemberhentian keturunan’ itu disebabkan salah seorang diantara kami. Namun Justin tidak terlalu menganggapnya persoalan berarti. Semuanya berjalan normal. Dengan rutinitasnya yang setiap pulang malam aku telah tidur, serta pada pagi harinya sama seperti malam disaat Justin melakukannya lagi padaku.
               Aku memilih diam dan tidak lagi memberontak meski sebenarnya aku tahu apa yang dilakukannya. Menyakitkan karena aku tahu semua itu pelampiasannya dari antara kami yang menyebabkan semua ini terjadi. Aku menghela nafasku perlahan lantas menghitung hari di kalender menuju hari ke 21 seperti perkataan dokter itu. Hari ke 21, satu hari sebelum hari ulangtahunku.

“Ayo Justin. Angkat.”

Aku masih mencoba menelfonnya, sejak jam makan siang dimulai tadi namun tidak ada jawaban. Aku mulai takut kalau-kalau Justin menjauh, aku tahu aku tidak sempurna. Aku tidak secantik bahkan dikatakan tidak bisa meneruskan keturunan untuk Justin. Airmataku menetes, rasanya hanya ingin menangis. Tanganku bergetaran mencoba memastikan kalau Justin baik-baik saja, sudah larut harusnya sejak tadi waktu dimana kami terbiasa tertawa bersama lewat ponsel sederhana kami. Aku masih menyiapkan pesta sederhanaku untuk dirumah ini sendirian, tidak ada Daddy tidak juga Mommy. Yang aku harapkan hanya kehadiran Justin saja.
“Justin!” aku hampir berteriak ketika seseorang menyapaku darisana. Dia lantas tertawa dengan suara baritonnya itu sama seperti biasanya hanya saja seperti dibuat-buat. Aku jadi sedikit merasakan ngilu.
“Ada apa Wero? Kau nampak begitu senang disitu? Apakah Kristen berkunjung?”
 “Ssssh. Tidak Just, Kristen belum ku beritahu kalau kita berdua menikah. Aku hanya  tidak sabar menantikan akhir-akhir pekan ketiga nanti.”
Iya aku melupakannya.”
Suasana kembali hening, tak seperti yang kuharapkan. Biasanya Justinlah yang memulai pembicaraan dan mengajakku bercanda. Dan dia mulai tidak mengerti perkataanku, sama sekali tidak menganggap berbicara denganku sebagai sesuatu yang begitu berarti.
“Yeah, Justin aku hanya ingin beritahu tanggal 20 kau bisakan meluangkan waktumu sehari saja untuk tidak bekerja?”
“Apa Wero bisa kau ulangi lagi?” katanya cepat seolah terkejut mendengarku.
“Oh iya maksudku, aku belum mengetahui jadwalku, Carly sedang keluar dan akhir-akhir ini dia jarang berbicara denganku.”

Lelaki itu melirihkan nada bicaranya diakhir kata lantas diam kembali menambah kesenyapan yang ada.

“Kalau kau sudah mengetahuinya, tolong bicarakan denganku ya.”
“O.k. my lovely wife.”
“Kau sudah makan malam Just?”
“Ehm sudah, Wero sudah dulu ya aku sedang dikejar deadline untuk berkas-berkasku, sampai jumpa nanti.”
“Iya Just-”
Aku menatap layar ponselku hambar. Justin terbiasa mementingkan dunianya daripadaku. Itu sudah biasa dan aku sudah terbiasa, namun aku rasa ada yang aneh. Dengan malas aku merebahkan tubuhku ke kasur kemudian menerawang langit-langit kamar yang sama. Menunggu untuk yang terakhir, kebahagiaan kecilku kalau benar tanggal 21 nanti ucapan wanita itu benar.




*****
Author Point Of View



               Lelaki itu mengusap keringat dinginnya yang mengalir entah karena apa, sementara di gedung besar itu hanya beberapa office boy yang kelihatan membersihkan setiap sudut sambil salah seorangnya berjalan mengantar pesanan minuman untuk atasan mereka yang masih bekerja. Justin nampak begitu rumit dengan berkas-berkasnya, dia mengerang sembari memegangi kepalanya yang terasa nyeri. Carly memandang Justin darisana tanpa meninggalkan pekerjaannya. Gadis cantik itu menggerakkan jemarinya terus untuk menantikan sesuatu.
               Dia mendesah perlahan kemudian berdiri sambil mendekati Justin yang nampak pening dimejanya. Hawa dingin dari air conditioner yang masih menyala ditambah hujan deras diluaran membuat pikirannya semakin suntuk. Justin melepaskan jasnya, membiarkan tubuhnya yang sudah terbasahi keringat semakin kedinginan.
“Ehm. Justin?” Lelaki itu menatap gadis cantik yang memanggilnya. Carly menggigit bibir bawahnya perlahan sembari ikut duduk didepannya, sama-sama bersender pada sisi balkon.
“Kau tidak pulang?” tanya Carly lembut. Justin hanya menggeleng lantas memandang Carly kosong.
               Gadis itu tersenyum kikuk mengetahui mata hazel lelaki didepannya menatapnya seolah terhipnotis. Carly mengusap lengannya menatapi langit malam yang begitu gelap. Justin menatapi gadis itu dalam-dalam gadis yang begitu sempurna, dia cantik, dia berkepribadian baik, dia cerdas dan berasal dari keluarga yang tak main-main serta memiliki tujuan yang jelas bersamanya sekarang. Mulai dibenaknya membandingkan sosok Wero yang seolah tidak ada apa-apanya dibanding Carly.

“Mengapa menatapku seperti itu Just?”

Carly melihat Justin yang berjalan mendekatinya, dan tepat didepannya sekarang. Lelaki itu mengusap pipinya yang tirus kemudian meraih tubuh Carly perlahan. Gadis itu menghindarinya namun dengan singkat Justin mendekapnya kembali.
“Kau cantik Carly.” ucapnya lirih sembari meraih leher gadis itu, Carly menatap manik mata Justin lekat-lekat dirasakannya sama seperti mata lelaki yang dulu pernah mengisi hatinya, Carly merasakannya pada mata Justin yang sama dengan mantan kekasihnya. Tatapannya merasuk seolah-olah semua terulang kembali.
“Justin, ku mohon jangan seperti ini.” tepis gadis itu menyingkirkan tubuh lelaki didepannya.
               Carly memejamkan matanya menikmati semua rasa sakit yang pernah diberikan seseorang yang seperti Justin dengan segala perihnya. Dia menahan pundak Justin untuk tidak mendekatinya lagi. Lelaki itu tetap pada pendiriannya yang sama sekali tidak mengingat siapa dirinya, siapa gadisnya sekarang dan siapa orang yang dihadapannya.
“Carly ada apa denganmu?” bisiknya lirih sambil mengangkat dagu Carly. Gadis itu melemparkan wajahnya sambil terus menangis membiarkan rasa debarannya itu semakin kuat menyesakkan nafasnya.
“Carly aku tahu kau menaruh hati padaku, semuanya sudah terlihat sejak kita pertama bertemu. Ada yang aneh dengan caramu menatapku dan memperlakukanku dengan hati-hati, semuanya aneh Carly.”
“Harusnya aku yang bertanya ada apa denganmu!”
               Gadis itu mencoba melepaskan genggaman Justin dilengannya, dengan erat Justin mendekapnya begitu erat merasakan jantung mereka yang sekarang sama-sama berdebaran. Carly masih terisak sementara tangannya kuat-kuat mendorong tubuh Justin.
“Kalau aku yang mempersulit semuanya, katakan. Tatap mataku Carly katakan kau tidak memiliki perasaan apapun padaku.”
Carly menengadah lantas memberanikan mata mereka bertemu, sangat sulit dijelaskan. Justin melumat bibir gadis itu lembut sementara Carly hanya diam dengan tubuh yang semakin melemas. Justin dapat membaca hatinya. Perasaan yang selama ini ditutupi, membuat gadis itu semakin dihancurkan.
“Kau mencintaiku.” ucap Justin melepaskannya. Carly menahan tangannya yang bersiap menampar lelaki itu. Rasa cintanya tidak mampu menyakiti meski dia tahu kalau dia yang akan semakin tersakiti.
“Aku mencintaimu namun jangan harap kita akan bersama.”
“Kenapa kau bicara seperti itu?”
Carly mengusap airmatanya, “Sadar Justin. Kau ini suami Wero, sadarlah kau akan memiliki keluarga!”

Justin terhening beberapa saat lantas melepas dasinya asal, menatap Carly hambar.

“Aku hanya akan berdua selamanya kalau aku tidak bersamamu.”
“Apa? Apa maksudmu?”
“Wero mandul, tidak ada keturunan yang bisa dia berikan untukku, untuk persyaratanku sebagai direktur nanti. Kecuali menikahi gadis lain, tapi itu terlalu kejam untuk Wero, jadi aku tidak melakukannya.”
“Wero mandul?” Carly menatapi sekeliling sambil tak kuasa menahan mulutnya menganga. Justin hanya mengangguk sambil tersenyum pahit namun matanya tak lepas dari Carly yang keheranan menatapnya juga.
“Lalu untuk apa kau menanyakan perasaanku?”
“Kau jawab dulu pertanyaanku, mengapa kau menolak untuk bersamaku?”
Justin bangkit lantas mendekati Carly kembali, gadis itu terduduk dimeja kerjanya sementara tangannya tak lepas dari genggaman Justin sekarang.
“Aku mencintaimu, tapi aku tahu kau bukan untuk dimiliki selain Wero saja. Kau milik Wero selamanya, bukan untukku, aku tidak ingin Wero tersakiti, kelak aku hanya akan mengulang rasa sakit hatiku yang pernah terjadi sebelumnya dengan mata yang sama dimilikinya, sama denganmu. Tidak, aku tidak ingin-”
“Tapi tidak ada satupun yang akan tersakiti kalau semuanya hanya kita berdua yang tahu.”
“Justin? Kau terlalu frustasi dengan berita kemandulan istrimu dan aku tahu kau melakukan semua ini hanya sesaat selama kau jauh dengan Wero. Aku hanya simpananmu saja.”
               Lelaki itu mengusap airmata Carly yang tersisa lantas menyimpan pundaknya untuk Carly.
“Tidak entahlah rasaku mulai hambar aku akan berusaha imbang untuk kalian. Baik Carly aku tidak akan memaksamu menjadi yang kedua untukku tapi, kita bisa lebih.”
“Aku rasa kita tidak perlu menjalinnya, kita jalani tanpa status.”


Remang-remang lelaki itu menyentuh  bibir gadis disampingnya kembali sementara malam yang menjadikan semuanya gelap untuk Justin, rasa sakit hati juga dirasa untuk gadisnya. Tidak ada Wero dipikirannya sekarang, semntara rasa menyesal itu tidak akan hadir menurutnya, namun seiring berjalannya waktu hanya tanpa kejelasan. Justin mengecup puncak kening Carly lantas menutup ruang kerja mereka untuk bergegas.





To be continued.

0 comments: