Monday 8 September 2014

0

I HEAR YOUR HEARTBEATS 5

I HEAR YOUR HEARTBEATS 5
*****
(STILL) Author Point Of View



“SHUT UP!”


                 Seketika itu Wero langsung terdiam menatap Justin yang terbangun dari tidurnya menatap Wero dengan tatapan membunuhnya. Wero kembali menangis sejadi-jadinya tanpa suara yang begitu berarti namun tidak lagi berbicara pada cerminnya sendiri seperti barusan.
“Berhentilah menangis. Kau menggangguku saja.”
Justin terjaga karena gadis yang sekarang satu kamar dengan lelaki itu terus saja menangis didepan meja rias sambil terus menggerutu tak jelas. Justin berdecak. Kemudian lelaki itu berjalan menuju lemari es. Dia mengambil sebuah botol air minum dan menuangkannya pada dua gelas kaca yang berbeda. Matanya mencari sebuah jam dikamar ini, sudah tengah malam gadis menyebalkan itu tidak kunjung tidur batinnya. Dia menatap Wero yang sesegukan diatas ranjang.

“Tapi ini semua tidak lucu Justin. Bahkan aku barusaja mengenalmu.”
“Kau pikir aku tidak sama.” Balas Justin tak kalah sengit sambil duduk disamping Wero.

Justin menyerahkan gelas ditangan kanannya pada Wero, dan gadis itu segera meneguknya habis. Keduanya masih merasa kalau kejadian tadi itu adalah mimpi. Ternyata tidak. Kejadian yang berlangsung setengah jam mengubah hidup mereka. Selamanya.
“Eh, kenapa kau duduk disini?” Wero menatap Justin yang juga melamun di springbed-nya.
“Rumahmu juga rumahku, kamarmu juga kamarku. Kasurmu juga kasurku.” Jawab Justin masih tetap dengan pandangannya yang lurus ke balkon kamar mereka. Gadis itu terdiam lagi untuk beberapa saat lantas mulai menangis kembali dengan nada seperti anak kecil yang kehilangan permennya.

“MENYINGKIRLAH DARIKU!”

Justin menatap Wero dengan sengit sementara Wero hanya meringkuk sambil memeluk bantalnya erat-erat. Justinpun dengan angkuh berdiri lantas mengembalikan gelasnya ke dekat lemari es, dan berjalan menuju sofa didepan kasur yang digunakan Wero tidur tadi. Dia berbaring sejenak disana menatap langit-langit kamar mereka. Tidak lagi berada dirumahnya yang mewah seperti dulu. Justin hanya diperbolehkan memakai uangnya untuk membeli kebutuhan; bukan untuk membeli rumah yang seperti sebelumnya. Sekarang mereka diasingkan dikota yang sama.
                  “Justin?”

Wero kembali bangkit, matanya tak bisa terpejam memikirkan perjodohannya yang begitu mendadak. Gadis itu mengendap-endap melihat Justin yang masih berbaring disana. Didapatinya pipi tirus Justin sedang menggembung, dengan wajah yang tersenyum aneh. Wero mengernyitkan dahinya. Pikiran mereka sama, memikirkan hari ini yang begitu singkat namun sangat jelas mengukir hidup mereka untuk bersama. Dengan menarik nafas Justin teringat mendiang ayahnya, sejenak dia mempercayai adik tirinya, Zayn yang juga musuh bebuyutannya. Memang benar harus Justin yang dijodohkan seperti kata Zayn. Dan yang membuat geli, dunia ini begitu sempit. Gadis taruhannyalah yang menjadi istrinya sekarang. Terngiang kembali ucapan terakhir Zayn saat race sore tadi. Tiba-tiba Justin terjaga kembali tatkala tubuhnya terkena lemparan bantal dari arah Wero berbaring. Lamunannya buyar seketika. Dia segera bangkit dan memandang gadis itu tengah pulas meringkuk, perlahan dia mulai duduk di sebelah Wero.
“Sepertinya bukan aku yang akan kalah. Kau yang akan memenangkanku sayang.”




*****

               Cahaya matahari mulai memasuki celah-celah gorden berwarna merah marun itu dengan kicauan burung yang bertengger diantara pepohonan maple yang menutupi sebagian jendela kamar rumah klasik tersebut. Wero mulai terbangun, dan menggeliat perlahan. Dia mengernyitkan dahinya saat tangannya menyentuh sesuatu disampingnya.

“JUSTIN!”

Wero berteriak melengking hingga burung-burung yang bertengger berterbangan meninggalkan sarangnya terlihat lewat siluet korden mereka yang tak begitu cerah.
“Ada apa?” Erang Justin dengan wajah tak bersalah sambil terus memasang wajah tampannya itu.
“Berani-beraninya kau tidur satu ranjang bersamaku! Kau ingin ku bunuh?”
Dengan tatapan datarnya lelaki itu menekuk tangannya untuk terbangun. Justin terkekeh perlahan lantas ikut bangkit bersama Wero, dan menguap lebar didepan gadis itu yang menatapnya tajam.
“Tenang saja. Aku tidak berbuat apa-apa kok.” Wero terperangah begitu Justin mengucapkannya.
“Sampai kau berani melakukannya padaku, jangan harap perjodohan ini bertahan lebih lama.”
Justin hanya tersenyum simpul sambil menatap Wero yang menggerutu sambil membanting pintu kamar mandi dengan sangat keras, membuat suaminya itu terus berdecak menyikapi sikapnya yang berubah kekanak-kanakan.



*****
Weronika Point Of View

Tuhan. Kalau bukan rencana ayah yang memang sangat keterlaluan. Aku tak akan tinggal bersama Justin seperti ini. Bahkan bukan hanya tinggal. Aku menikah dengannya. M-E-N-I-K-A-H. Ingin rasanya aku membanting segala sesuatu yang ada disini. Namun ini semua sekarang juga barang-barang milikku, milik Justin juga. Aku tidak bisa berkutik jika seperti ini terus. Kenapa harus dengan dia aku dijodohkan? Kenapa bukan dengan lelaki lain saja? Kenapa dunia ini begitu sempit?
“Wero aku juga ingin mandi, cepatlah sedikit dan buatkan aku sarapan.”
Barusaja aku menarik nafasku, terdengar lagi suara yang paling menyebalkan yang sekarang, mulai sekarang hidup dan tinggal selamanya denganku, disini. Dirumah ini? Aku jadi malas melakukan apa-apa kalau terus begini. Dan memang harus begini. Dengan gontai kubukakan pintu kamar mandi dan Justin telah berkalungkan handuk sambil mengangkat kedua alisnya menatapku yang hampir terperangah karena dia tengah shirtless. Tidak tidak. Aku tidak boleh memandang Justin!
“Kau pikir aku pembantumu?” Kataku angkuh padanya. Dia hanya diam memegangi handuknya itu.
“Kau lupa? Aku ini sekarang suamimu, dan seorang istri wajib-”
“Shut up!”
Aku berjalan keluar kamar mandi menghindari tubuh Justin agar tak sedikitpun bersentuhan denganku, yang ada kalau Justin tahu aku sedikit mengagumi tubuhnya itu pasti dia langsung besar kepala dan semakin keras kepala juga. Suami macam apa dia? Baru sehari saja dia sudah seperti majikanku, dasar lelaki -_- dengan malas-malasan aku kembali ke ranjang, lantas merapikan tempat tidur yang sangat berantakan. Jika saja Justin tidur di sofa, pasti tak akan seburuk ini.
“Hei mana sarapanku?”
Hampir saja aku ingin terpental karena kaget mendapati Justin tengah memakai kaosnya didepanku. Bisa-bisanya barusan dia masuk ke kamar mandi dan kini sudah hampir rapi?
“Kau mandi atau cuci muka?” Tanyaku dengan wajah superduper muak dengan lelaki ini.
“Kalau tadi denganmu pasti lebih lama dari ini.”
Kurang ajar! Refleks aku menarik bantal dan juga guling yang berserakan dikasur ini. Segera aku memukul Justin berulang kali dengan bantal yang tadinya ingin aku rapihkan. Dasar mesum! Aku begitu membencinya sekarang. Sudah dingin angkuh menyebalkan, sekarang apa? Dia mesum. Aku menyesalkan pernikahan kemarin. Benar-benar diluar batas pikiran manusia. Aku terus memukulnya dan terus melampiaskan segala kekesalanku padanya.
“Hahaha! Geli bodoh.” Ucapnya disela pukulanku yang cukup keras ini. “Rasakan!”


Bruukkk!


Sial. Kakiku tersandung kaki Justin yang berusaha menghindari pukulanku. Mataku dan mata Justin bertemu, namun ada bantal yang membatasi tubuhku yang diatas tubuh Justin. Dia malah tersenyum sementara dengan muak aku mencoba bangkit darinya.
“Lepaskan bodoh.” Kataku. Justin menahan lenganku kuat-kuat.
“Cukup. Aku sudah muak denganmu. Konyol. Semua ini tidak lucu dan sangat-sangat konyol.”
“Its fine, so?” Balas Justin sambil menaikkan kedua alisnya.
“Lepaskan tanganku dan-”
Dengan singkat Justin mencium kilat bibirku, membuatku berhenti berkata-kata. Dia segera membangkitkanku, dan beralih duduk ke sofanya sambil memainkan ponselnya. Dasar! Justin! Lancang dan sangat menyebalkan. Kalau saja bukan ayah yang memintanya menjadi suamiku, tak sudi aku bertemu apalagi berbicara padanya!





*****
Author Point Of View

               Kristen terus menunggu sahabatnya selesai membaca pamflet yang ditemukannya. Bukan saja dia tidak sabar menantikan pendapatnya disetujui Wero, namun alangkah bangganya menjadi sahabat seorang murid baru yang sudah menguasai berbagai bidang di sekolah mereka ini.
“Aku rasa aku bisa ikut.” Kata Wero meletakkan pamflet olimpiade physics itu kepada Kristen. Binar mata Kristen ingin meledak, dia berhamburan memeluk Wero penuh harapan Wero akan menang mengikuti olimpiade yang cukup bergengsi itu.
“Aku yakin kau bisa Wero. Kau cukup berambisi untuk menjadi yang terbaik.”
“Ada apa?”
Wero dan Kristen melepas pelukan mereka masing-masing, lantas dengan sedikit ketakutan Kristen menyingkir melihat orang yang baru saja datang ternyata Justin. Lelaki itu duduk disamping meja mereka berdua kebetulan saja hari ini pelajaran sastra mereka akan lewati bersama. Terlihat pula Skandar yang ikut duduk sambil memegangi PSP seperti biasanya.
“Sejak kapan kau peduli dengan hidupku?” Tanya Wero sinis menyipitkan matanya pada Justin.
“Kau lupa? Aku ini-”
Belum selesai Justin bicara, Mr. Sean datang dengan menarik layar proyektor yang ada didepan kelas. Sementara Wero masih menajamkan matanya pada Justin. Dengan terkekeh Justin mencoba mengacak rambut Wero namun gadis itu menampisnya.
“Oh tidak. Sastra menyedihkan itu.” Kristen menutup mukanya dengan lipatan lengannya dimeja.
“Romantisme, Romeo and Juliet. Aku sangat mengidolakan Shakespare.”
Skandar seketika langsung menaruh PSPnya dan duduk manis memperhatikan setiap yang diputar dalam film tersebut. Wero dan Justin sama-sama terdiam namun mereka duduk berdampingan di deretan meja paling belakang. Semua orang berkonsentrasi dengan setiap cuplikan, sudah pasti mereka khawatir kalau-kalau Mr. Sean tiba-tiba mengadakan kuis lewat setiap detail film itu. Suasana kelas yang gaduh langsung menjadi sepi seiring jalannya cerita yang membuat hampir seluruh siswa sedikit terbawa emosi.
“Lihat, wajah mereka begitu serius memperhatikannya.” Bisik Justin perlahan tepat ditelinga Wero. Wero yang tadi juga berkonsentrasi langsung blank dan menatap lelaki disampingnya muak.
“Kau menggangguku bodoh.” Umpat Wero begitu saja. Justin hanya tersenyum sederhana.
“Aku minta jangan pernah berkata didepan siapapun kalau kita terikat dalam perjodohan bodoh kemarin sore. Anggap saja aku tetap musuhmu, seperti yang kau bilang saat-”
“Kau masih mengingat peristiwa itu.”

Wajah Wero seketika ikut memucat, senada dengan Juliet yang jalan ceritanya  sedang terbaring namun tanpa roh dan hampir kehilangan nyawanya dipembaringan. Debar jantung gadis itu tak beraturan dan terasa kelu untuk membantah ucapan Justin.

“Aku-aku,”
“Baiklah. Untuk memastikan kalau kalian memperhatikan drama ini, saya minta Tuan Bieber mengulang sajak yang diucapkan tokoh Romeo dalam cerita barusan.”
Nafas Wero semakin tak beraturan tatkala Justin mengangguk. Sedikit rasa bersalah menghinggapinya karena tadi gadis itu yang mengajak Justin sedikit berdebat. Namun setidaknya dia merasa senang karena Justin terkalahkan dengan hukuman mendadak dari guru sastra itu.


Disini aku akan tempatkan pembaringan terakhirku,
Dan mengguncang sepasang bintang sial dari kehidupan ini
Mataku menatapmu terakhir kali
Lenganku memelukmu terakhir kali
Dan bibir pintu nafasmu, tertutup dengan ciuman tanpa batas
Yang ditawar murah oleh kematian.”

Seluruh kelas riuh dengan tepuk tangan yang menggema memenuhi sudut ruangan karena lelaki itu dengan sempurna melakukan hukuman Mr. Sean dengan mudah. Wero semakin terperangah dengan tingkah Justin yang tak dapat ditebak, menyebalkan, dan tidak dapat dipercaya itu. Hati Wero sedikit bergetar tatkala berpikir kalau Justin tidak akan mampu. Justin samasekali tidak bisa diremehkan.



*****

Guratan warna emas dengan cahaya matahari yang mulai temaram menghiasi sebuah sudut kota yang mulai gemerlapan dengan suasana kota yang berdegradasi tua hampir meninggalkan sudut masa kini disaat senja. Gadis itu berjalan sendirian setelah menaiki kereta bawah tanah untuk pulang ke rumah barunya dengan seorang lelaki yang mungkin sedang menikmati dunianya disana. Bahkan masih terlalu belia untuk berpikiran panjang melewati pernikahan dan bagaimana menjalaninya. Wero menarik nafasnya kembali sambil memotret sudut taman kota yang mulai ramai dikunjungi karena festival musim gugur dimulai.
               Diraihnya sebuah bangku yang masih kosong di pinggiran taman yang dipayungi air mancur menorehkan suasana yang hangat. Wero melihat sekeliling, seorang wanita, laki-laki dan anak kecil tengah mereka gandeng bersama. Terbesit dipikirannya wajah Justin.
Gadis itu mendesah kecil, menggelengkan kepalanya lantas menengok hasil jepretannya kali ini. Diliriknya pula ponselnya, dengan malas dia bangkit dan menuju beberapa halte yang tertutupi oleh bus yang terhenti. Satu persatu penumpang mulai masuk, sudah terlewat malam untuk bermalas-malasan. Wero segera berlari menyusul bus itu.
“Aduh!”
Wero menghentikan larinya lantas membereskan beberapa buku yang ikut berserakan bersama gadis yang barusan tersungkur. Dengan lembut mereka saling melemparkan senyum, namun gadis yang tak sengaja tertabrak oleh Wero terhenyak membatu menatap setiap Wero.
“Saya permisi dan maaf sekali.”
“Tunggu sebentar.”
                   Wero juga menatap gadis itu, dengan pipi yang sedikit tembab dan bibir yang manis serta wajah latinnya yang begitu cantik sepadan dengan cara bicaranya yang halus. Sedikit pendiam sama seperti yang Wero biasa lakukan. Wero tersenyum seolah menemukan orang yang hampir berjiwa sama dengannya menatapnya dengan mata yang berkerlingan.
“Gadis ini, memang dialah yang saat itu bersama Justin.”
“Apa?” Wero sedikit terkaget saat mendengar desisan seperti nama Justin diakhir bicaranya yang begitu lirih dan terkesan sangat menutup dirinya sendiri itu. Muka gadis itu memandang Wero datar lantas menggelengkan kepalanya lembut, matanya tergerak ke sudut kanan atas memperlihatkan sedikit kilauan darisana.
“Tidak. Hanya saja seragammu sama seperti seragam sekolahku.” Wero tertegun, Ia barusadar masih mengenakan seragam sekolah karen amemang dia langsung ke rumah ayahnya di Washington selepas jam pulang sekolah tadi. Gadis itu lantas terkekeh perlahan.
“Terimakasih. Namaku Selena, senang bertemu denganmu.”




*****
Justin Bieber Point Of View

               Dengan tubuh yang sudah sangat pegal dan lelah aku mendongakkan kepalaku keatas menikmati air yang memancar dari shower. Kubasuh mukaku yang mulai sering melipat karena ulah orang-orang. Termasuk istriku sendiri dan juga mengingat Zayn. Aku harus berusaha memulainya tanpa kecurigaan pada Wero. Namun tak yakin pula aku dapat meluluhkan hati gadis batu itu. Apa yang ada dipikirannya? Hari mulai larut. Sudah kuduga gadis itu tak akan pulang kemari, atau bahkan dia justru akan kembali bersama ayahnya dirumahnya dahulu seperti yang ingin aku lakukan juga. Beruntung Wero memiliki suami sebaik aku, jika tidak sudah aku segel rumah ini untuk membeli motor race baruku saja. Bertanding habis-habisan waktu itu membuat motorku turun mesin -_-
“Darimana saja kau?”
Barusaja aku keluar dari kamar mandi, gadis yang aku khawatirkan itu terlihat membelakangiku seperti melepaskan kancing seragam yang masih ia kenakan. Dia melanjutkan pekerjaannya tanpa menggubrisku sama sekali. Kudekati dia, lantas memeluknya erat dari belakang.
“Aku mencemaskanmu Wero.” Bisikku lembut padanya. Gadis itu terlihat tidak suka dengan perlakuanku, dan menggoyangkan pundaknya berusaha melepaskanku.
“Lepaskan aku Justin. Kau ini konyol sekali.”

Kubiarkan gadis ini merasakan sedikit rasa perhatianku padanya, meski sebenarnya aku juga enggan melakukan hal bodoh ini. Dia pasti tidak akan menolak. Seperti gadis lainnya disekolahan, Wero tak jauh berbeda dari mereka. Murahan.


“Tapi, jangan pernah pulang larut lagi.” Kataku lembut sambil mengelus pundaknya perlahan. Dia menoleh lantas menampis tanganku dengan angkuh dan berjalan menuju kamar mandi.





To be continued.

0 comments: