I HEAR YOUR HEARTBEATS 18
I HEAR YOUR HEARTBEATS 18
*****
(STILL) Author Point Of View
*****
(STILL) Author Point Of View
Remang-remang bayangannya di sudut cahaya lilin itu semakin temaram. Sementara petikan gitar dan senandungan dari seseorang yang lain masih mengiringi rasa harap-harap cemas. Tangannya mulai menyeka butiran bening yang tak terasa berjatuhan berteman rasa hambar, sepi dan dingin. Bayangan dirinya duduk sendirian disamping dinding bersemburat ungu itu semakin meyakinkan kalau tidak akan ada yang dinantikan.
Lelaki disudut dapur itu menoleh kembali pada gadis yang begitu tenang menantikan orang yang begitu dibencinya. Zayn mengerang halus lantas bangkit mendekati Wero yang terlihat melamun dengan mata hazelnya yang menggantung. Bibirnya terkatup manis tanpa sapuan lipbalm atau apapun, masih merona diantara temaram lilin sebagai cahaya diruangan yang begitu romantis itu.
“Wero,” ucapnya pelan sambil menempati kursi duduk
didepan sang gadis.
“Maaf aku mengambil tempat Justin, tapi maksudku hanya beberapa menit saja.”
Wero mengangguk perlahan kemudian menatapi lilin diatas kue ulangtahunnya yang semakin meleleh. Zayn mengikutinya kemudian menatapnya dalam, merasakan begitu kecewanya perasaan Wero.
“Bolehkan aku-”
“Maaf aku mengambil tempat Justin, tapi maksudku hanya beberapa menit saja.”
Wero mengangguk perlahan kemudian menatapi lilin diatas kue ulangtahunnya yang semakin meleleh. Zayn mengikutinya kemudian menatapnya dalam, merasakan begitu kecewanya perasaan Wero.
“Bolehkan aku-”
Braaaakkk ..
Mereka berdua sama-sama menoleh sementara seorang
lelaki telah tersungkur diambang pintu, tepat dihadapan Wero dan Zayn. Gadis
itu seketika bangkit dan berhamburan memeluk lelaki itu, kemudian meneteslah
kembali airmatanya. Dengan sekuat tenaga dia mencoba menyandarkan kepala orang
yang begitu dicintainya itu diatas pangkuannya.
“Justin bangun, Justin.” desis gadis itu parau.
Matanya menyorot setiap lekuk wajah Justin yang begitu lelah, lantas mencium aroma alkohol yang begitu menyengat disana. Dia menepuk pipi Justin perlahan-lahan, namun lelaki itu tetap terpejam tanpa sadar. Wero menengadah melirik Zayn yang menatap mereka sarkastik masih duduk di meja tempatnya tadi.
“Zayn. Kumohon.” kata Wero bergetaran sembari menatap wajah Justin yang ditopangnya. Zayn memutar kedua bola matanya kemudian mendekat ke arah mereka, Wero menyingkir kemudian mengikuti Zayn yang membopong tubuh kakaknya itu di belakang punggungnya.
Matanya menyorot setiap lekuk wajah Justin yang begitu lelah, lantas mencium aroma alkohol yang begitu menyengat disana. Dia menepuk pipi Justin perlahan-lahan, namun lelaki itu tetap terpejam tanpa sadar. Wero menengadah melirik Zayn yang menatap mereka sarkastik masih duduk di meja tempatnya tadi.
“Zayn. Kumohon.” kata Wero bergetaran sembari menatap wajah Justin yang ditopangnya. Zayn memutar kedua bola matanya kemudian mendekat ke arah mereka, Wero menyingkir kemudian mengikuti Zayn yang membopong tubuh kakaknya itu di belakang punggungnya.
“Dia mabuk.”
Ujar Zayn singkat selepas merebahkan tubuh Justin
di kasur, sementara Wero melepaskan sepatu dan dasi yang digunakan suaminya.
Wero meletakkannya didekat perapian kemudian kembali duduk disamping Justin
yang terlelap. Zayn berdecak sejenak melihat keadaan musuh bebuyutannya itu
yang begitu berantakan; rambut yang acak-acakan serta baju yang dikenakannya
sama sekali tak menunjukkan citra orang kantoran seperti pekerjaannya sekarang.
Wero
mengusap-usap lembut wajah Justin yang tertetesi airmatanya; dengan ibu jarinya
merasakan setiap cintanya untuk Justin yang begitu melekat. Zayn yang merasa
tidak dibutuhkan disana, kemudian melenggang pergi begitu saja keluar kamar.
Gadis itu mendongak, mengecup bibir Justin sekilas kemudian berjalan mengikuti
Zayn.
“Zayn terimakasih.” ucapnya dibelakang. Lelaki itu berhenti berjalan lantas menoleh.
“Terimakasih untuk menemaniku beberapa hari ini, membantuku menyiapkan semuanya dan yang terakhir, yang- maksudku kau membantuku untuk Justin.” suara gadis itu semakin parau lantas menutup wajah malaikat itu dengan telapak tangannya erat.
“Zayn terimakasih.” ucapnya dibelakang. Lelaki itu berhenti berjalan lantas menoleh.
“Terimakasih untuk menemaniku beberapa hari ini, membantuku menyiapkan semuanya dan yang terakhir, yang- maksudku kau membantuku untuk Justin.” suara gadis itu semakin parau lantas menutup wajah malaikat itu dengan telapak tangannya erat.
Perlahan
bahunya mulai naik-turun seirama seluruh lara hati yang dirasakannya. Dia
bersandar kemudian jatuh terduduk dilantai. Lelaki itu merasakan ada yang
menyayat hatinya begitu suara tangisan Wero memekakan telinganya. Dia mendekat
kemudian merangkul Wero dari samping tubuhnya.
“Iya Wer. Aku senang bisa membantumu.”
Gadis itu menengadah menatap dalam manik mata
saphire milik Zayn yang juga menatapinya penuh perasaan yang tidak bisa
dijelaskan. Sekuat tenaga dia meraih tubuh Zayn kemudian terisak disana. Zayn
mengusap-usap rambut cokelat gadis itu dengan penuh hati-hati.
“Aku tidak mengerti, semuanya sia-sia untuk hal yang bodoh seperti ini Zayn.”
“Aku tahu Wero, semuanya sulit. Aku tahu bagaimana perasaanmu untuk Justin, penantian dan segala hal sebelum semuanya sia-sia seperti ini. Kau hebat.”
“Aku bodoh Zayn-”
“Sssst. Sudah jangan menyesali itu, tenang Wero aku ada disini. Boleh aku?”
“Aku tidak mengerti, semuanya sia-sia untuk hal yang bodoh seperti ini Zayn.”
“Aku tahu Wero, semuanya sulit. Aku tahu bagaimana perasaanmu untuk Justin, penantian dan segala hal sebelum semuanya sia-sia seperti ini. Kau hebat.”
“Aku bodoh Zayn-”
“Sssst. Sudah jangan menyesali itu, tenang Wero aku ada disini. Boleh aku?”
Wero
melepaskan pelukannya, kemudian Zayn merogoh saku celananya. Lelaki itu lantas
mengeluarkan sebuah kalung darisana, dengan senyum dia menyerahkannya untuk
gadis itu. Wero menatap Zayn nanar, sementara dia mengalihkannya menatap kalung
berliontin hati itu dengan seksama. Zayn mengusap kedua pundaknya, membuat
mereka berhadap-hadapan sekarang.
“Kau boleh membuangnya setelah ini. Maaf hanya itu saja,” bisiknya pada Wero yang sesegukan.
“Tidak Zayn aku tidak akan membuangnya. Aku akan mengenakannya nanti untukmu.”
“Terimakasih.”
“Kau boleh membuangnya setelah ini. Maaf hanya itu saja,” bisiknya pada Wero yang sesegukan.
“Tidak Zayn aku tidak akan membuangnya. Aku akan mengenakannya nanti untukmu.”
“Terimakasih.”
Wero
sedikit tersenyum kemudian meraih tangan Zayn untuk berdiri. Mereka lantas
menuju ruang tamu didepan kembali ke suasana gelap lagi. Semuanya hening,
sementara gadis itu meniup lilin yang hampir habis dari wujudnya tadi. Dia
berjalan terseret lantas membuang segala apa yang ada di atas meja tadi ke luar
rumah tepat di tempat sampah disana. Zayn hanya diam sembari mematung diambang
pintu.
“Sebaiknya kau beristirahat Wero. Sudah terlalu
larut, dan kupikir Mom akan mencariku.”
“Kau benar Zayn maaf aku merepotkanmu untuk hal seperti ini. “
“Tidak sama sekali, jangan lupa kau harus beristirahat setelah ini.”
“Kau benar Zayn maaf aku merepotkanmu untuk hal seperti ini. “
“Tidak sama sekali, jangan lupa kau harus beristirahat setelah ini.”
Dengan
kilat Zayn meraih kening gadis itu, membuat Wero tertegun sejenak.
“Happy birthdays my lovely sister ..” desis Zayn lirih diakhir ucapannya, gadis itu menatapi lelaki tadi menaiki motornya. Zayn mengedipkan matanya dari kaca helm kemudian melambaikan tangannya pada Wero. Gadis itu hanya tersenyum kemudian bayangan Zayn menghilang dibalik gelapnya malam.
“Happy birthdays my lovely sister ..” desis Zayn lirih diakhir ucapannya, gadis itu menatapi lelaki tadi menaiki motornya. Zayn mengedipkan matanya dari kaca helm kemudian melambaikan tangannya pada Wero. Gadis itu hanya tersenyum kemudian bayangan Zayn menghilang dibalik gelapnya malam.
*****
Weronika Point Of View
Weronika Point Of View
Aku
menyeret langkahku menuju kamar. Rasa dingin menusuk tulang diluaran tadi
apalagi aku mengenakan dress yang begitu tipis, dress pemberian Justin. Aku
harap dia datang tepat waktu kemudian mengucapkannya di hari yang tadinya
kuharapkan istimewa ini. Semuanya persiapanku dari awal ternyata sia-sia.
Entahlah aku tidak akan pernah bisa memarahi Justin, hati ini rasanya tak
sampai mengucapkannya. Asalkan Justin baik-baik saja aku terima kenyataannya;
dia tidak lagi Justinku yang dulu.
Aku
merebahkan tubuhku tepat disamping Justin, rasanya lelah, kecewa dan begitu
rumit dijelaskan. Dengan susah payah aku mengusap airmataku yang tak mau
berhenti menetes. Justin masih terpejam, aku kembali mencium aroma yang tidak
sepantasnya ada pada Justin. Bau alkohol itu begitu menyengat, sementara baju
Justin dengan aroma yang sama. Perlahan aku membuka kancing kemejanya dengan
hati-hati, kelopak mata Justin sedikit terangkat. Aku tetap melanjutkan
pekerjaanku.
“Carl .. hmmm,” desisnya tiba-tiba. Carl? Aku berhenti namun tangan Justin menarik tubuhku jatuh padanya. Astaga, aku tidak tahan dengan bau alkohol seperti ini. Rasa mual itu kembali membuatku harus berlari ke wastafel.
“Justin aku-”
“Carl .. hmmm,” desisnya tiba-tiba. Carl? Aku berhenti namun tangan Justin menarik tubuhku jatuh padanya. Astaga, aku tidak tahan dengan bau alkohol seperti ini. Rasa mual itu kembali membuatku harus berlari ke wastafel.
“Justin aku-”
Bibir
kami tertaut, Justin melakukannya lembut membuat rasa itu terhalang. Namun
semakin sering semakin gencar tangannya bergerak. Aku menepisnya kemudian
bangkit darinya.
“Carl.” desisnya lagi. Carl? Carly? Aku mengernyitkan dahiku kemudian mengusap bibirku perlahan. Tiba-tiba saja Justin bangkit menatapku dengan matanya yang sayu kemudian tersenyum begitu manis. Aku terpaku melihatnya, aku benar-benar merindukan Justinku.
“Wero? Kau menyamar menjadi Wero, hmm?”
“Carl.” desisnya lagi. Carl? Carly? Aku mengernyitkan dahiku kemudian mengusap bibirku perlahan. Tiba-tiba saja Justin bangkit menatapku dengan matanya yang sayu kemudian tersenyum begitu manis. Aku terpaku melihatnya, aku benar-benar merindukan Justinku.
“Wero? Kau menyamar menjadi Wero, hmm?”
Justin
berucap tak begitu jelas dengan tubuh yang berusaha tetap duduk.
“Maksudmu Just? Ini aku Wero, kau pikir aku-”
“Maksudmu Just? Ini aku Wero, kau pikir aku-”
“Aku mencintaimu Carl.”
“Justin apa maksudmu?”
“Justin apa maksudmu?”
Lelaki itu melumat bibirku kembali sementara aku
tak bisa menampisnya, aku mulai menangis merasakan ada yang semakin berbeda
dengan Justin. Dia semakin liar, entah mungkin karena dia mabuk perlahan dia
meneruskan membuka satu persatu kancing piyama yang kukenakan. Aku menepisnya
namun tiba-tiba tangan Justin menamparku begitu saja.
“Diam! Dasar murahan! Turuti saja apa mauku!”
“Justin apa yang kau pikir? Ini aku Wero!”
“Diam! Dasar murahan! Turuti saja apa mauku!”
“Justin apa yang kau pikir? Ini aku Wero!”
Plaaaaak ..
Airmataku berjatuhan kembali menatap lelaki itu
menatapku kosong namun begitu tajam, aku meraih selimut disampingku kemudian
menangis dibaliknya, Justin meraih bibirku dengan paksa kemudian menggigitnya
hingga kurasakan kalau bibirku telah luka. Astaga Tuhan ada apa dengannya?
“Justin cukup! Kau bukan Justin! Justin tidak akan kasar padaku!”
“Justin cukup! Kau bukan Justin! Justin tidak akan kasar padaku!”
Dengan
kesakitan aku menahannya, lelaki ini menarik rambutku dengan kasar sementara
dia meninggalkan kissmark di leherku. Justin bangkit sementara aku
mendorong tubuhnya untuk menjauh dia justru menyeringai ..
*****
Author Point Of View
Author Point Of View
Gadis itu masih menangis didalam lututnya yang merapat, dia mendekap
selimut yang dikenakannya dengan perasaan yang semakin hancur. Sementara lelaki
yang juga polos tidur disampingnya tiba-tiba mengerang kemudian mengerjapkan
matanya. Wero masih terdiam menahan tangisnya tak terpecah lagi, perasaannya
telah dihancurkan oleh lelaki yang dicintainya sendiri. Justin bangkit kemudian
terpejam memegangi kepalanya, lelaki itu mengibaskan rambut emasnya perlahan
kemudian menatap sekeliling.
Dia
terkesiap mendapati istrinya tengah meringkuk dibalik selimut merah marun itu.
Justin segera merangkul Wero dari belakang, seketika dia merenung memikirkan
apa yang terjadi. Dia menengadah menatapi tubuhnya yang shirtless lantas
melihat Wero tidak lagi dengan piyamanya.
Tangannya singkat membuat gadis itu berhadapan dengannya.
Tangannya singkat membuat gadis itu berhadapan dengannya.
“Wero?”
Desisnya menatap bibir gadis itu, terlihat bekas
luka dengan darah yang belum mengering. Sementara mata hazel mereka bertemu
namun saling pahit satu-sama-lain. Wero menaikkan sebelah alisnya, kemudian air
matanya sigap diseka begitu mengalir dikerlingannya.
“Semalam kita?” ucapnya terhenti, Wero mengangguk lemas.
“Bagaimana bisa? Tapi, mengapa kau tidak marah?”
“Semalam kita?” ucapnya terhenti, Wero mengangguk lemas.
“Bagaimana bisa? Tapi, mengapa kau tidak marah?”
Wero
tersenyum tipis kemudian memaksa dirinya mencium kilat bibir Justin. Lelaki itu
menahan dagu gadis berparas malaikat itu dengan ibu jarinya, membuat Wero
menengadah.
“Karena aku mencintaimu Just, ya aku mencintaimu.”
“Uhm, aku, aku juga mencintaimu.”
Wero hanya tersenyum kecut merasakan ucapan lirih yang suaminya ucapkan. Justin terdiam kemudian menatap langit-langit kamar mereka dengan tatapan kosong lantas segera bangkit begitu saja setelah meraih handuk didepan wastafel. Dia menuju kamar mandi tanpa berucap sepatah katapun lagi
“Karena aku mencintaimu Just, ya aku mencintaimu.”
“Uhm, aku, aku juga mencintaimu.”
Wero hanya tersenyum kecut merasakan ucapan lirih yang suaminya ucapkan. Justin terdiam kemudian menatap langit-langit kamar mereka dengan tatapan kosong lantas segera bangkit begitu saja setelah meraih handuk didepan wastafel. Dia menuju kamar mandi tanpa berucap sepatah katapun lagi
“Semuanya akan terjawab. Aku yakin semua ini tidak
main-main Justin, ada gadis lain yang selalu menemanimu disaat kau selalu jauh,
dan menjauh dariku, kalian mengkhianatiku.”
“Ada yang kau katakan Wero?”
“Ada yang kau katakan Wero?”
Gadis
itu terkesiap menatap Justin keluar lagi dari kamar mandi menatapnya penuh
curiga. Wero menggeleng perlahan lantas tersenyum. Pintu kembali tertutup.
“Tidak ada Justin, semuanya akan terjadi seolah tidak ada apa-apa sejak semalam.”
“Tidak ada Justin, semuanya akan terjadi seolah tidak ada apa-apa sejak semalam.”
*****
Weronika Point Of View
Weronika Point Of View
Aku menatap Justin yang sibuk dengan pekerjaannya, seolah terburu-buru
menuju kantor. Yeah tentu saja ada Carly disana yang akan menemaninya, bukan
aku. Semalam aku sudah cukup tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ah tidak-tidak
aku berharap semuanya hanya perasaanku dan aku hanya salah dengar dengan ucapan
Justin semalam, tidak ada alasan bahwa Justin memang tidak begitu jelas
mengucapkannya. Dan aku bisa maklum dia kasar padaku karena dia mabuk semalam.
Tiba-tiba
ponselku berdering, aku menerawang ke langit-langit kemudian menerimanya.
“Wero .. bisakah kita bertemu nanti? Aku ingin menyiapkan kadoku yang belum kusampaikan padamu semalam.”
Zayn berucap darisana, aku melirik Justin yang masih asyik dengan pekerjaannya.
“Tentu saja Zayn, baik nanti sore ditempat biasanya ya, aku bisa datang.”
“Wero .. bisakah kita bertemu nanti? Aku ingin menyiapkan kadoku yang belum kusampaikan padamu semalam.”
Zayn berucap darisana, aku melirik Justin yang masih asyik dengan pekerjaannya.
“Tentu saja Zayn, baik nanti sore ditempat biasanya ya, aku bisa datang.”
Aku
terkesiap, tiba-tiba saja Justin merebut ponselku kemudian menyimpannya dalam
tas kerjanya. Dia menatapku tajam, seperti Justin yang dulu cemburu pada setiap
lelaki yang mendekatiku. Aku bisa tersenyum meski sakit hatiku tertinggal.
“Aku berangkat, dan jangan nakal disaat aku tidak ada disampingmu Wer.”
“Baik Just,”
“Aku berangkat, dan jangan nakal disaat aku tidak ada disampingmu Wer.”
“Baik Just,”
Dia mengecup keningku sekilas lantas menaiki
mobilnya, aku melambaikan tanganku sembari deru mobil itu perlahan tidak
kudengar lagi. Hela nafasku tak cukup untuk semuanya, Justin berlalu begitu
saja, melukaiku dan melupakan hari ulangtahunku. Yang jelas aku mencintainya.
Aku mencintaimu Justin.
To be continued.
0 comments: