I HEAR YOUR HEARTBEATS 12
I
HEAR YOUR HEARTBEATS 12
*****
Author Point Of View
*****
Author Point Of View
Sedikit gadis itu bergetar
merasakan seperti ada yang hilang dari dalamnya. Tak terbayangkan sebelumnya
kalau semudah ini melepaskan hidup satu-satunya untuk orang yang datang dengan
tiba-tiba, dan sangat mengusik semuanya. Untuk kesekian kali Wero menghela
nafasku berulang, berharap akan melupakan semua yang terjadi. Setidaknya, Wero
tersenyum lega untuk Justin yang tak lagi marah padanya. Entah apa, mulai ada
rasa sangat tidak kehilangan kalau Justin mendiamkannya. Bahkan rasanya ingin
kembali mengulang kebodohan yang sama setiap harinya dengan lelaki itu. Namun
gadis itu masih mengkhawatirkan kehadiran yang sedang tidak diharapkannya,
berulang Wero mengusap perutnya sendiri sambil merasakan sayatan yang sama.
Justin yang memperhatikannya sedaritadi hanya diam dengan tenang dia berjalan
mendekati istrinya yang tengah terpejam itu.
“Tidak
ada yang perlu kau khawatirkan, sebentar lagi tahun kelulusan.”
Justin
menghempaskan tubuhnya sambil menerawang langit-langit kamar mereka. Wero masih
tetap diam sembari mengusap-usap perutnya perlahan. Senyum menyimpul dari bibir
tipis gadis itu, lantas Justin mengernyitkan dahinya.
“Lalu? Aku bisa menceraikanmu?” Seketika Justin menatap Wero sinis lantas meletakkan telapak dibalik kepalanya.
“Kau akan menjadi istriku selamanya, apapun yang terjadi. Kau melupakan janji suci yang dulu?”
Wero menghela nafasnya dan bulu mata lentiknya menyapu pandangan disudut mata madu Justin.
“Jangan bilang kau samasekali tidak mengingatnya.”
“Bagaimana aku melupakannya bodoh -- jelas aku akan selalu mengingatnya. Pernikahan bodoh itu yang menyebabkan pria menyebalkan dengan sifatnya yang egois, mau menang sendiri, kasar dan psycho ini akan berada didekatku sampai aku berhasil menceraikannya.”
“Terserah kau saja, yang jelas aku akan mempertahankanmu dan little bieber yang ada disana.”
Wero terkesiap, dilihatnya Justin sedang tersenyum kearahnya dengan sedikit lesung pipit di pipinya yang tirus. Wero memampangkan wajah anehnya dengan sudut bibir yang tertarik ke atas setelah mendengar pernyataan yang dianggap begitu bodoh olehnya. Gadis itu membuang muka sambil melupakan wajah Justin yang memang memikat itu.
“Lalu? Aku bisa menceraikanmu?” Seketika Justin menatap Wero sinis lantas meletakkan telapak dibalik kepalanya.
“Kau akan menjadi istriku selamanya, apapun yang terjadi. Kau melupakan janji suci yang dulu?”
Wero menghela nafasnya dan bulu mata lentiknya menyapu pandangan disudut mata madu Justin.
“Jangan bilang kau samasekali tidak mengingatnya.”
“Bagaimana aku melupakannya bodoh -- jelas aku akan selalu mengingatnya. Pernikahan bodoh itu yang menyebabkan pria menyebalkan dengan sifatnya yang egois, mau menang sendiri, kasar dan psycho ini akan berada didekatku sampai aku berhasil menceraikannya.”
“Terserah kau saja, yang jelas aku akan mempertahankanmu dan little bieber yang ada disana.”
Wero terkesiap, dilihatnya Justin sedang tersenyum kearahnya dengan sedikit lesung pipit di pipinya yang tirus. Wero memampangkan wajah anehnya dengan sudut bibir yang tertarik ke atas setelah mendengar pernyataan yang dianggap begitu bodoh olehnya. Gadis itu membuang muka sambil melupakan wajah Justin yang memang memikat itu.
“Kau
pikir dia akan ada disini? Tidak akan.” Ucapnya ketus sambil membaringkan tubuhnya
kesamping. Perasaan berdebaran dan rasa bersalah begitu menyelimutinya saat
barusan gadis itu tak sengaja mengutukinya.
“Tentu saja, ingat yang kita pernah-” Wero bangkit dengan duduk menatap Justin sinis, berusaha membunuhnya.
“Hentikan Justin.”
“Kau yang hentikan.”
“Dasar munafik, kau tidak mau mendengarkanku sementara kau terus saja mengelus-elus perutmu. Kau pikir aku bodoh? Kau mengharapkannya hanya saja tidak mengakuinya.”
Wero menatap Justin dengan gelagatnya yang sudah terbaca. Gadis itu terus memutar otak bagaimana menyembunyikannya. Hal ini terasa berat dan jika diungkapkan pada lelaki itu, hidupnya akan semakin rumit. Wero menghentikan tatapannya yang ingin membunuh Justin sementara lelaki itu masih menantikan jawaban gadisnya itu.
“Tentu saja, ingat yang kita pernah-” Wero bangkit dengan duduk menatap Justin sinis, berusaha membunuhnya.
“Hentikan Justin.”
“Kau yang hentikan.”
“Dasar munafik, kau tidak mau mendengarkanku sementara kau terus saja mengelus-elus perutmu. Kau pikir aku bodoh? Kau mengharapkannya hanya saja tidak mengakuinya.”
Wero menatap Justin dengan gelagatnya yang sudah terbaca. Gadis itu terus memutar otak bagaimana menyembunyikannya. Hal ini terasa berat dan jika diungkapkan pada lelaki itu, hidupnya akan semakin rumit. Wero menghentikan tatapannya yang ingin membunuh Justin sementara lelaki itu masih menantikan jawaban gadisnya itu.
“Siapa
bilang aku mengharapkannya? Aku sedang lapar. Minggir sana aku ingin ke dapur.”
Dengan gemas Justin menarik pipi
Wero sementara gadis itu mencoba melepaskannya. Justin terkekeh sambil
memejamkan matanya melihat geli refleks yang gadis itu buat. Lelaki itu ikut
diam ketika gadis didepannya telah berkacak pinggang sambil memajukan dagunya.
“Apa yang lucu?” Katanya sengit sambil mengerucutkan bibirnya pada Justin.
“Kau tidak pandai berbohong sayangku. Sekarang kau ganti baju, dan ikut aku. Kita makan diluar saja.”
Gadis itu tercengang dan masih terperangah sementara Justin telah berjalan keluar kamar sambil bersiul. Wero merebahkan tubuhnya dengan kesal sambil mengutuki kebodohannya. Gadis itu terlalu polos untuk mengerti cara merumitkan situasi. Wero melirik lelaki yang menunggunya di pintu, dan segera ia berlarian kecil menutupnya.
“Apa yang lucu?” Katanya sengit sambil mengerucutkan bibirnya pada Justin.
“Kau tidak pandai berbohong sayangku. Sekarang kau ganti baju, dan ikut aku. Kita makan diluar saja.”
Gadis itu tercengang dan masih terperangah sementara Justin telah berjalan keluar kamar sambil bersiul. Wero merebahkan tubuhnya dengan kesal sambil mengutuki kebodohannya. Gadis itu terlalu polos untuk mengerti cara merumitkan situasi. Wero melirik lelaki yang menunggunya di pintu, dan segera ia berlarian kecil menutupnya.
*****
“Sudah
ku bilang jangan terlalu memikirkannya, sebentar lagi tahun kelulusan.”
“Kau ini apa-apaan? Aku tidak sedang memikirkannya bung.”
“Terus saja berbohong.”
“Kita mau kemana?”
“Sebentar lagi tahun kelulusan. Kau tidak ingat acaranya?”
“Kau ini apa-apaan? Aku tidak sedang memikirkannya bung.”
“Terus saja berbohong.”
“Kita mau kemana?”
“Sebentar lagi tahun kelulusan. Kau tidak ingat acaranya?”
Justin masih erat menggenggam
tangan gadisnya, dan Wero hanya memperhatikan sekeliling mengikuti langkah
lelaki disampingnya yang terlihat sedang mencari sesuatu. Wero hanya memperhatikan
tatapan Justin yang memperhatikan setiap blok fashion yang mereka lewati.
Dengan senyuman Justin mengajak Wero memasuki sebuah mini-boutique
dengan desain interior calm nuansa putih itu, diselanya Justin
melepaskan tangan gadisnya dan mulai memilih satu-demi-satu dress yang
bergantung disana. Wero hanya mematung sambil memeluk mantelnya erat, air
conditioner disini terasa dingin dari biasanya.
“Untukku?”
Wero
menatap Justin yang mengangkat kedua alisnya. Dia hanya mengangguk sederhana.
Gadis itu beralih melirik cermin disampingnya dengan meletakkan gaun itu
didepannya, sejenak dia menggeleng lantas melihat Justin yang mengangkat dagu
dengan ibu jari dan telunjuknya. Lelaki itu ikut menggeleng. Dengan semangat
Justin kembali ke beberapa dress yang lain dan memilihkan beberapa banyak. Wero
sedikit tertegun, dengan tenang dihampirinya Justin yang menjulurkan sedikit
lidahnya sambil terus menggeser dress-dress itu.
“Sebenarnya ini untuk apa?” Tanya gadis itu sambil sekedar ikut memilih gaun disamping Justin.
“Untukmu. Aku ingin membeli pasangan jas dan dress yang serasi, agar di prom-nite nanti kita berdua yang terlihat begitu menikmatinya.”
“Kalau begitu, kau pilih saja jas yang kau cari, aku akan mencarikan dress yang senada denganmu.”
“Sebenarnya ini untuk apa?” Tanya gadis itu sambil sekedar ikut memilih gaun disamping Justin.
“Untukmu. Aku ingin membeli pasangan jas dan dress yang serasi, agar di prom-nite nanti kita berdua yang terlihat begitu menikmatinya.”
“Kalau begitu, kau pilih saja jas yang kau cari, aku akan mencarikan dress yang senada denganmu.”
Justin menatap Wero sejenak
lantas mengangguk, gadis itu membalasnya dengan senyuman lantas bergegas
melakukan hal yang sama dengan Justin. Hatinya masih tidak menyangka Justin
begitu detail mempersiapkan malam itu. Sebenarnya pikirannya masih tertuju pada
bayangan hidupnya nanti saat dimasa depan mungkin akan menjadi keluarga
harmonis dengan sebuah bayi diantara mereka. Wero menggeleng perlahan. Dia
menyapu seluruh deretan dari terdepan. Kadang dia mengibaskan tangannya yang
mulai kaku untuk digerakkan. Tiba-tiba matanya berbinar ditemukannya gaun
cantik berenda merah muda redup yang senada dengan kulitnya, Wero melambaikan
tangannya pada Justin yang tengah berdiri memperhatikannya di dekat kasir.
“Eh?”
Wero
menoleh ketika seseorang lain tengah menahan gaun yang dipegangnya. Mereka
saling tatap dan gadis yang tiba-tiba datang itu melepaskannya sambil
melemparkan senyum sederhana pada Wero.
“Maafkan aku.” Ucapnya begitu lembut. “Tidak. Aku yang salah. Maaf kau boleh mengambilnya.”
“Ah tidak-tidak untukmu saja. Masih ada dress lain disini.”
“Sungguh? Sekali lagi maafkan aku dan, terimakasih.”
“Maafkan aku.” Ucapnya begitu lembut. “Tidak. Aku yang salah. Maaf kau boleh mengambilnya.”
“Ah tidak-tidak untukmu saja. Masih ada dress lain disini.”
“Sungguh? Sekali lagi maafkan aku dan, terimakasih.”
Gadis itu segera berjalan ke arah
Justin sambil terus memperhatikan gadis tadi yang masih tersenyum padanya.
Ditatapnya Justin yang telah menunggunya sambil penuh senyum. Wero membalasnya
singkat sementara dia melirik gadis tadi. Wajahnya sedikit kecewa saat dia
tidak mendapatinya kembali. Segera Wero mengikuti langkah Justin yang mulai
beranjak sambil menatapnya berbinar-binar agar Justin tidak menanyakan apa yang
barusan terjadi.
“Bagaimana kalau kita bermain?”
“Bermain?”
Justin berlarian menggandeng tangan Wero erat dan seketika berhenti disebelah lift yang berada di dekat eskalator menuju lantai dibawah mereka. Lelaki itu menertawakan Wero yang terengah-engah memegangi dadanya. Dua tas belanjaannya diletakkan sementara gadis itu menatap Justin dengan kesal. Dia meletakkan tubuhnya disebuah bangku didekat lift. Sementara orang yang berlalu-lalang disekitaran mereka terlihat tak begitu memperdulikan mereka.
“Kau puas? Kau pikir aku tidak bisa mati? Bagaimana kalau aku terkena serangan jantung? Hah?”
“Hahaha. Tunggu sebentar disini.”
“Apa? Kau mau kemana lagi?”
Justin hanya meletakkan jari telunjuknya didepan bibirnya sambil terus tersenyum pada Wero. Gadis itu muak dan masih mencari nafasnya yang hilang akibat berlarian tadi. Dia melihat tetap di depan butik tadi hingga tempat dia duduk sekarang, cukup jauh namun dilewati dengan cepat, melelahkan dan menyebalkan bersama Justin. Dia memperhatikan apa yang sedang dilakukan Justin, dia masuk ke sebuah bookstore sambil berbicara kepada pramuniaga disana. Gadis itu hanya memutarkan matanya saat Justin meliriknya sejenak. Kemudian dia tersenyum sambil merogoh sakunya. Wero yakin lelaki itu pasti membeli sesuatu yang bodoh dan tidak bermakna.
“Bagaimana kalau kita bermain?”
“Bermain?”
Justin berlarian menggandeng tangan Wero erat dan seketika berhenti disebelah lift yang berada di dekat eskalator menuju lantai dibawah mereka. Lelaki itu menertawakan Wero yang terengah-engah memegangi dadanya. Dua tas belanjaannya diletakkan sementara gadis itu menatap Justin dengan kesal. Dia meletakkan tubuhnya disebuah bangku didekat lift. Sementara orang yang berlalu-lalang disekitaran mereka terlihat tak begitu memperdulikan mereka.
“Kau puas? Kau pikir aku tidak bisa mati? Bagaimana kalau aku terkena serangan jantung? Hah?”
“Hahaha. Tunggu sebentar disini.”
“Apa? Kau mau kemana lagi?”
Justin hanya meletakkan jari telunjuknya didepan bibirnya sambil terus tersenyum pada Wero. Gadis itu muak dan masih mencari nafasnya yang hilang akibat berlarian tadi. Dia melihat tetap di depan butik tadi hingga tempat dia duduk sekarang, cukup jauh namun dilewati dengan cepat, melelahkan dan menyebalkan bersama Justin. Dia memperhatikan apa yang sedang dilakukan Justin, dia masuk ke sebuah bookstore sambil berbicara kepada pramuniaga disana. Gadis itu hanya memutarkan matanya saat Justin meliriknya sejenak. Kemudian dia tersenyum sambil merogoh sakunya. Wero yakin lelaki itu pasti membeli sesuatu yang bodoh dan tidak bermakna.
Kembali lelaki itu mengajak Wero
bangkit lantas bersiulan tanpa memperhatikan gadisnya sedang menatapnya kesal.
Justin menoleh dan mencubit pipi Wero seenaknya, Wero hanya diam sambil menahan
emosinya yang mulai naik ke ubun-ubun menghadapi tingkah suaminya yang dibenci,
konyol – namun begitu dirindukannya.
“Kau mau pesan apa?” Justin memberikan sebuah buku menu pada Wero yang barusaja duduk.
“Sandwich roasted beef dengan hot chocholate.”
“Baik. Pesan yang tadi dia ucapkan saja miss, dua porsi yang sama.”
Pelayan resto tadi bergegas sementara dengan canggung Justin mencuri pandang dengan Wero yang sedang mengikat rambutnya. Diperhatikannya gadis itu begitu cantik, dengan wajah malaikat yang mulai mengisi hati Justin saat ini. Justin menerawang jauh pada buku yang dibelinya tadi, dengan sampul seorang bayi yang tidur pulas dalam dekapan ayah dan ibunya. Teringat kelakuan Wero yang mulai keibuan, lelaki tiu tak henti menggodanya karen aingin selalu dekat dengan Wero. Tidak untuk bermusuhan. Gadis itu mengerucutkan bibirnya sambil menatap Justin datar. Segera lelaki itu menaruh tubuh Wero dalam dekapannya, tangan Justin merangkul tubuh Wero. Justin nampak tenang memperhatikan gadisnya tidak lagi memberontak.
“Kau mau pesan apa?” Justin memberikan sebuah buku menu pada Wero yang barusaja duduk.
“Sandwich roasted beef dengan hot chocholate.”
“Baik. Pesan yang tadi dia ucapkan saja miss, dua porsi yang sama.”
Pelayan resto tadi bergegas sementara dengan canggung Justin mencuri pandang dengan Wero yang sedang mengikat rambutnya. Diperhatikannya gadis itu begitu cantik, dengan wajah malaikat yang mulai mengisi hati Justin saat ini. Justin menerawang jauh pada buku yang dibelinya tadi, dengan sampul seorang bayi yang tidur pulas dalam dekapan ayah dan ibunya. Teringat kelakuan Wero yang mulai keibuan, lelaki tiu tak henti menggodanya karen aingin selalu dekat dengan Wero. Tidak untuk bermusuhan. Gadis itu mengerucutkan bibirnya sambil menatap Justin datar. Segera lelaki itu menaruh tubuh Wero dalam dekapannya, tangan Justin merangkul tubuh Wero. Justin nampak tenang memperhatikan gadisnya tidak lagi memberontak.
“Tumben
sekali kau tidak berteriak, atau memukulku?”
Dengan manja Wero menyandarkan kepalanya pada pundak Justin. “Aku lelah. Ayo kita pulang saja.”
Dengan manja Wero menyandarkan kepalanya pada pundak Justin. “Aku lelah. Ayo kita pulang saja.”
Perlahan
tangan Justin mengusap jemari Wero yang melentik. Dan dengan erat digenggamnya,
lantas mengecup punggung tangan gadis itu dengan lembut. Wero hanya terdiam dan
masih memandang datar ke depan. Gadis itu mulai terbiasa dengan perlakuan
Justin yang dapat berubah setiap saat. Tak terkendali.
“Lihat apa yang kubeli.” Justin menunjukkan bukunya tadi, lantas membiarkan Wero bangkit membacanya.
“Its all about baby. Apa? Semua tentang bayi?”
Justin mengangguk dengan semangat. Gadis itu menatap Justin tidak percaya, lantas membuka lembar demi lembar halamannya, sambil terlihat beberapa kali menelan ludah.
“Justin ku pikir kita belum cukup dewasa untuk mengurus hal seperti ini. Ingat sebelum prom-nite yang kau dambakan itu harus ada national final exam. Kau ingat? Dan tidak ada waktu untuk belajar buku ini. Kau dan aku harus belajar buku-buku yang menumpuk di perpustakaan sekolah. Mengerti?”
“Well. Aku mengerti, tapi Wero kali ini saja aku ingin kita membicarakannya. Kumohon. Aku tahu belum jelas apakah ada janin yang hidup disini-”
Wero menampis tangan Justin yang hampir mengusap perutnya itu. Gadis itu kembali tenang sambil menatap Justin yang penuh kekhawatiran. Justin semakin cemas melihat wajahnya yang begitu datar dan seperti akan meninggalkan cafe itu lantas bergegas pulang mendahuluinya. Seketika Wero tertawa renyah, sambil memegangi perutnya terpingkal-pingkal. Justin dibuatnya semakin kebingungan.
“Wajahmu sangat aneh. Kau tau itu? Bodoh.” Wero menatap Justin yang hanya tersenyum disela tawanya.
“Kalau begitu? Boleh aku berandai-andai suatu saat aku akan menjadi seorang ayah?”
“Lihat apa yang kubeli.” Justin menunjukkan bukunya tadi, lantas membiarkan Wero bangkit membacanya.
“Its all about baby. Apa? Semua tentang bayi?”
Justin mengangguk dengan semangat. Gadis itu menatap Justin tidak percaya, lantas membuka lembar demi lembar halamannya, sambil terlihat beberapa kali menelan ludah.
“Justin ku pikir kita belum cukup dewasa untuk mengurus hal seperti ini. Ingat sebelum prom-nite yang kau dambakan itu harus ada national final exam. Kau ingat? Dan tidak ada waktu untuk belajar buku ini. Kau dan aku harus belajar buku-buku yang menumpuk di perpustakaan sekolah. Mengerti?”
“Well. Aku mengerti, tapi Wero kali ini saja aku ingin kita membicarakannya. Kumohon. Aku tahu belum jelas apakah ada janin yang hidup disini-”
Wero menampis tangan Justin yang hampir mengusap perutnya itu. Gadis itu kembali tenang sambil menatap Justin yang penuh kekhawatiran. Justin semakin cemas melihat wajahnya yang begitu datar dan seperti akan meninggalkan cafe itu lantas bergegas pulang mendahuluinya. Seketika Wero tertawa renyah, sambil memegangi perutnya terpingkal-pingkal. Justin dibuatnya semakin kebingungan.
“Wajahmu sangat aneh. Kau tau itu? Bodoh.” Wero menatap Justin yang hanya tersenyum disela tawanya.
“Kalau begitu? Boleh aku berandai-andai suatu saat aku akan menjadi seorang ayah?”
Justin
tersenyum lebar saat Wero mengangguk sederhana sambil menatapnya dengan simpul
senyuman.
“Yeah. Aku berencana akan menamainya dengan cinta darimu Wero.” Justin kembali meraih tangan Wero.
“Kalau dia laki-laki, aku akan menamainya Austin. Yeah. Austin Christian Bieber.”
“Itu nama yang bagus. Hampir mirip dengan nama ayahnya nanti. Tentu saja kau harus rajin membawanya sekolah minggu bersama bayi lainnya.”
Wero mengangguk perlahan. Mereka berdua tertawa renyah sementara Justin mengacak rambut gadis itu dengan gemas. “Ternyata kau berpikir lebih jauh dari padaku.”
“Mungkin. Lalu, bagaimana jika perempuan? Beri dia nama yang cantik Justin.”
“Bagaimana kalau, kalau namanya Dakota?”
Wero tampak berpikir, sementara Justin tak henti tersenyum sembari membiarkan bibirnya melengkung ke sudut-sudut wajahnya itu. Justin menarik tangan Wero dibibirnya, lantas gadis itu menatap Justin sayu.
“Kurasa tidak. Bagaimana kalau Keyna.” Ucap Wero penuh senyuman.
“Keyna? Keyna Gracia Bieber?”
Dengan semangat mereka berdua mengangguk bersamaan. Justin mendekap Wero sekali lagi dan lelaki itu mengecupi puncak kening Wero dengan hangat. Wero hanya diam sambil mulai memikirkan hal yang sama dengan Justin. Mereka baru merencanakan namanya, namun betapa bahagia sebelum Tuhan mengaruniakannya. Wero terus mengusap perutnya tanpa sepengetahuan Justin.
“Permisi tuan, nyonya. Silahkan menikmati hidangan kami.”
“Yeah. Aku berencana akan menamainya dengan cinta darimu Wero.” Justin kembali meraih tangan Wero.
“Kalau dia laki-laki, aku akan menamainya Austin. Yeah. Austin Christian Bieber.”
“Itu nama yang bagus. Hampir mirip dengan nama ayahnya nanti. Tentu saja kau harus rajin membawanya sekolah minggu bersama bayi lainnya.”
Wero mengangguk perlahan. Mereka berdua tertawa renyah sementara Justin mengacak rambut gadis itu dengan gemas. “Ternyata kau berpikir lebih jauh dari padaku.”
“Mungkin. Lalu, bagaimana jika perempuan? Beri dia nama yang cantik Justin.”
“Bagaimana kalau, kalau namanya Dakota?”
Wero tampak berpikir, sementara Justin tak henti tersenyum sembari membiarkan bibirnya melengkung ke sudut-sudut wajahnya itu. Justin menarik tangan Wero dibibirnya, lantas gadis itu menatap Justin sayu.
“Kurasa tidak. Bagaimana kalau Keyna.” Ucap Wero penuh senyuman.
“Keyna? Keyna Gracia Bieber?”
Dengan semangat mereka berdua mengangguk bersamaan. Justin mendekap Wero sekali lagi dan lelaki itu mengecupi puncak kening Wero dengan hangat. Wero hanya diam sambil mulai memikirkan hal yang sama dengan Justin. Mereka baru merencanakan namanya, namun betapa bahagia sebelum Tuhan mengaruniakannya. Wero terus mengusap perutnya tanpa sepengetahuan Justin.
“Permisi tuan, nyonya. Silahkan menikmati hidangan kami.”
To be continued.
0 comments: