Monday 8 September 2014

0

I HEAR YOUR HEARTBEATS 3

I HEAR YOUR HEARTBEATS 3
(STILL) Justin Bieber View’s
*****
               

           “Weronika?” desisku hampir tidak terdengar saat menatap nama gadis didepanku terjahit rapi sepadan dengan seragam yang sama yang sedang aku pakai. Aku membenarkan tas selempangnya dan menutupi bet namaku, agar Weronika tidak menemukannya. Wero tercekat dan mulai kelabakan memikirkan jawaban yang akan dia katakan. Sementara aku telah menunggu jawaban Wero dengan menatapnya sedaritadi. Wero mulai memutarkan bola matanya seperti sedang memikirkan sesuatu dengan bibirnya yang terus saja terbuka-menutup-terbuka-menutup dan seperti itu secara berulang kali.
“Aku, aku-” Wero menaik-turunkan kepalanya secara tidak sadar dan aku juga mengikutinya. Tanpa sadar aku ikut cemas, mungkin seperti yang dirasakan Wero sekarang. Jantungku berdegup kencang menantikan setiap kalimat yang akan diucapkan Wero nanti.
“Aku ..”





“Katakan Wero, katakan!” Batinku dalam hati serasa ingin meledak-ledak. Rasanya persis saat aku sedang geram menghadapi orang-orang yang menantangku berkelahi, seperti itu rasanya sekarang.
Wero mengerlingkan matanya dan memejamkannya sembari memeluk erat buku yang ada dilengannya. Hampir gadis itu gemetaran mehanan sesuatu yang sulit diucapkan dengan kata-kata.

“Aku permisi!”

Belum sempat aku memanggilnya, sekejap Wero telah berjalan dengan sangat cepat dan menghilang dari tikungan menuju koridor yang lain. Ah sial. Relfeks aku memukul balkon kelas yang mejadi pembatas kelas dengan halaman. Rasanya sesuatu yang mengganjal sedang menyumpat perasaanku dengan hal yang tidak bisa kujelaskan. Payah. Gadis itu nampak seperti orang yang ketakutan saat berada didekatku seperti tadi. Namun kali ini berlebihan, pada saat kami dikelas dia kelihatan biasa saja. Dasar aneh -_-


****
Weronika Mamot View’s


“Wero!”


          Seseorang menggoncangkan tubuhku dengan cukup keras, dan membuatku sedikit tersentak. Siapalagi kalau bukan Kristen. Hanya dia yang aku kenal disekolah ini. Aku menatapnya sekilas, sementara dia menatapku dengan mata sayu dan seperti telah berates tahun menungguku.
“Ada apa?” tanyaku singkat lantas menatap sekelilingku, ternyata kelas sudah kosong hanya tinggal kami berdua saja disini. Suasana begitu lengang hanya suara air conditioner yang berderu perlahan menyeruak di kelas matematika ini. Aku mulai membereskan buku-bukuku sementara Kristen merogoh sakunya dan melahap beberapa permen karet, meniupnya.
“Harusnya aku yang bertanya ada apa? Daritadi aku mengajakmu bercerita, menanyakan tentang kelasmu hari ini dan, ternyata kau sedang mengimajinasikan Justin -_-”
Aku terdiam beberapa saat.
Ingin sekali rasanya menjitak kepala Krist. Namun, ada benarnya perkataan gadis ini tadi. Sedaritadi memang aku memikirkannya, laki-laki itu. Justin Drew Bieber, begitulah nama yang aku baca saat memasuki kelas biologi tadi. Serta kejadian seusai istirahat tadi, cara dia memandangku, memperlakukanku dengan caranya. Namun. Aku payah.
“Payah! Payah!”
“Apanya yang payah?”
Aku meringis sambil menatap Kristen seolah berkata ‘tidak ada apa-apa’ dan dia memanyunkan bibirnya, sembari terus mengunyah permen karet. Aku mengkhawatirkan Justin. Namun, entahlah apa ini benar. Aku takut semua ini salah. Aku rasa harus menceritakan semuanya pada Kristen.
“Krist, menurutmu Justin itu orangnya seperti apa?” tanyaku hati-hati karena aku yakin Kristen akan begitu meledak-ledak dan bersemangat menceritakannya atau dia akan menceramahiku dengan bahasanya yang sangat sulit kumengerti. Aku merasa aku cemas dengan perasaanku.
“Sudah kuduga! Wero kau jangan memikirkan laki-laki itu terus.”


-_-


“Tidak, aku hanya bertanya kok.” Jawabku sederhana.
“Justin itu anak aneh. Terkadang dia pendiam, namun tiba-tiba dia babak belur seperti habis berkelahi, entah dengan siapa dia sering melakukan itu semua diluar sekolah. Bukan dengan anak sekolah disini, karena semua siswa menghormatinya karena ibunya adalah kepala sekolah disini.”
Aku sedikit tercekat, “Kepala sekolah?” ulangku. Kristen mengangguk.
“Iya, namun kami jarang melihat mereka bersama, bahkan sepertinya mereka tidak serumah.”
Suasana menjadi semakin hening.
“Dia juga sangat tempramen seperti orang psikopat, kadang dia mengamuk namun tidak jelas apa penyebabnya. Dan itu adalah penyakit Justin sejak bersekolah disini. Kau tahu Wer, sahabat sahabatnya pun tidak tahu mengapa Justin bertingkah sangat misterius seperti itu.”
“Kau pernah menjadi korbannya?” selidikku pada Kristen, lebih intens lagi.
“Pernah tapi tidak parah kok hanya terkena lemparan kerikil dari batu bata yang dulu digunakannya untuk mengamuk. Entah dia mendapatkannya darimana, mungkin di parkiran depan yang sedang dibangun dulu. Tapi yang terparah itu Skandy. Tau kan? Skandar itu, dia pernah masuk rumah sakit karena dihantam Justin kemobilnya saat Justin mengamuk di parkiran. Setahun lalu.”
Aku bingung ingin bertanya apalagi, semua ini membuat telingaku panas dan tenggorokanku serasa sangat sangat kering. Menelan air ludahku sendiri saja rasanya tertahan, dan penuh ngeri mendengar pribadi Justin yang begitu temperamental seperti itu.
“Dia juga seorang penyanyi Wer, namun sepertinya berhenti di single pertamanya.”
“Penyanyi?” Aku mengernyitkan dahiku dan Kristen mengangguk-angguk padaku.
“Iya. Namun terhenti di kelas tiga ini, katanya di mading sekolah dia ingin fokus dengan ujian yang akan kita hadapi juga di akhir tahun nanti. Tapi aku yakin bukan itu, Justinkan selalu memanfaatkan uang daripada pikirannya sendiri. Kau tahu kan?”
Aku terperangah mendengar cerita Kristen. Anak ini sangat lepas membicarakan orang. Jadi aku tahu sebab Kristen selalu berusaha menjauhi Justin, dan juga melarangku mendekatinya. Aku menjadi menerawang lebih jauh seperti apa Justin sebenarnya. Tempramen, pscycho dan emosional.
 “Begitu ya. Aku tidak menyangka Justin seburuk itu disini. Aku bahkan mengiranya sangat baik.”
“Memang dia baik namun sangat misterius, kerap dia meninggalkan sesuatu yang mengganjal pada kami semua, lewat segala pelampiasan emosinya. Sekarang sejak mengikuti basket hingga menjadi kapten, dai lebih sering meluapkan emosinya kepada bola basket dengan dribble, shooting, berlari dan berteriak penuh emosi. Dia hebat bisa menyalurkan emosinya sekarang.”
Aku berdecak perlahan. Aku semakin penasaran dengan Justin. Bisa-bisanya dia sekelam itu, namun dia terlihat begitu istimewa dimataku. Secercah sinar dari mata hazelnya memang sangat menghipnotis.
“Sudah sudah. Ayo kita pulang saja. Tidak baik membicarakan mendiang.”
“Husssh!” aku mengerucutkan bibirku dan Kristen menyeringai.
Segera kami berbenah dan membereskan buku-buku kami untuk beranjak meninggalkan kelas.
Kristen masih menggandeng tanganku hingga kami keluar dari pelataran gedung sekolah.




*****
Author View’s


Wero berjalan seperti biasa menyusuri setiap langkah seperti pagi-pagi sebelumnya, namun kali ini ada yang berbeda. Tidak ada Justin yang kemarin menemaninya, hal yang tidak sengaja yang sangat dia rindukan. Gadis ini berjalan menikmati suasana lengang ketika memasuki gerbang sekolah. Sejenak dia melirik arlojinya, setengah jam lagi pelajaran dimulai. Namun sekolah tampak sepi hanya dedaunan maple yang tumbuh dihalaman sekolah ini berguguran tertiup angin.
Wero berjalan dan menaiki tangga untuk menuju gedung olahraga yang ada disebelah kamar ganti. Jam pertama hari ini adalah basket. Dan kelas lain juga sama namun waktunya saja yang berbeda. Wero  masuk dikelas bilingual, yang bercabang hingga kelas F. Sementara untuk regular mulai kurang diminati, mungkin karena kelasnya terasing dan kebanyakan pergaulan anak-disini ada dikelas akselerasi.
Diputarkannya kunci loker nomor 6 yang bertuliskan namanya dan dia mengambil kaos olahraga yang memang tersedia disini. Entahlah perasaannya menjadi tidak enak dengan rasa berdebar yang sangat-sangat menganggu. Seperti seseorang sedang mengamatinya, dan mengikutinya dari gerbang tadi. Dengan cepat dia meraih kaosnya lantas menutup loker itu singkat, segera dia berbalik dan ajaib. Tidak ada siapapun. Wero mendesah kecil menyeka keringat dingin yang menetes di pagi yang masih meninggalkan embun ini. Pagi ini begitu horror padahal Halloween sudah lama berlalu.

“WERO!”

        Kurang asam. Sampah serapah dan maki-makian serasa ingin dikeluarkan dari mulut gadis ini begitu barusan dia dikejutkan. Seseorang menepuk pundaknya keras, membuatnya hampir melemparkan kaos yang dibawanya ke muka orang tadi. Wer berubah sangat sangat ingin meledak rasanya. Justin. Dengan tampang seolah tanpa dosa dia menunjukkan wajahnya yang biasa saja sehabis mengejutkan Wero tadi. Gadis ini jadi teringat cerita Kristen kemarin, dan benar Justin memang seperti yang Kristen katakan.
“Kau. Puas mengagetkanku? Dasar sadis -_-” kata Wero sambil terus menghela nafas.
“Sadis itu seperti ini.”


PLEETAAAK!


“Kurang ajar kau Justin!” Wero mengusap-usap kepalaku yang barusan dijitak oleh laki-laki yang tiba-tiba berubah menyebalkan ini. Dia tidak berniat membalasnya, karena disisilain Wero mulai menyukai Justin, namun untuk dirinya sendiri. Darisini sisi nakal Justin begitu terlihat meski dia pendiam diluar namun begitu jahat, kasar dan jahil didalamnya. Sangat kontras.
“Dasar banci!” umpat Wero padanya lantas dia menarik samping sudut bibirnya ke atas.
Bibir Wero membulat dengan muka yang kecewa, dia berharap Justin akan meledak dan akan melakukan debat dengannya. Rasa kesalnya sudah meluap hingga ke ubun-ubun.
 “Sudah sudah. Aku malas mengenalmu, apalagi berdebat denganmu. Mengetahui semua tentangmu ataupun mendekatimu. Lebih baik aku pergi saja dari sekolah ini daripada harus bersamamu. Dasar wanita autis -___-”
Justin mengucapkan setiap kata itu, dengan penuh penekanan. Dia memaki Wero dengan enaknya, mengatakannya autis padahal Wero menganggapnya lebih dari autis atau mengalami masalah dengan psikologisnya, dasar makhluk berkepribadian ganda -,- Batin Wero sangat sengit. Wero sampai dibuat terperangah dengan menatapnya penuh rasa kesal, dan ingin mencekik lehernya itu.
“Apa? Mulai sekarang kita musuh!” teriak gadis itu sengit sembari menyipitkan mata hazel pada Justin.
Justin kembali tersenyum kecut. Meremehkan Wero.
“Sejak kapan kau menjadi temanku? Tidak level berteman dengan gadis jalanan sepertimu.”
Tanpa sadar bibirku tertarik naik-turun seolah kesulitan bicara, belum sampai satu menit berdebat seperti ini, dia sudah membuatku hampir meledak. “Apa kau bilang??”
“Dasar tuli kau ini.”
“Beraninya kau mengataiku sep-”



"......"




Mata Wero membulat ketika Justin dengan kilat menyambar pipinya, dengan singkat bibir Justin mengecup pipi Wero penuh perasaan. Justin tersenyum singkat lantas berlari menuruni anak tangga. Sementara Wero, perasaannya campur aduk karena hal tadi. Justin membuatnya marah, sebal dan dia membuatnya meleleh. Lulut gadis itu bergetar lantas dia menaruh tangannya ke atas dadanya, merasakan setiap rasa berdebaran karena ulah Justin tadi.

“Justin ..”




To be continued.

0 comments: