I HEAR YOUR HEARTBEATS 3
I HEAR YOUR HEARTBEATS 3
(STILL) Justin Bieber View’s
*****
*****
“Weronika?” desisku hampir tidak terdengar saat menatap nama gadis didepanku terjahit rapi sepadan dengan seragam yang sama yang sedang aku pakai. Aku membenarkan tas selempangnya dan menutupi bet namaku, agar Weronika tidak menemukannya. Wero tercekat dan mulai kelabakan memikirkan jawaban yang akan dia katakan. Sementara aku telah menunggu jawaban Wero dengan menatapnya sedaritadi. Wero mulai memutarkan bola matanya seperti sedang memikirkan sesuatu dengan bibirnya yang terus saja terbuka-menutup-terbuka-menutup dan seperti itu secara berulang kali.
“Aku, aku-” Wero menaik-turunkan kepalanya secara tidak sadar dan aku juga mengikutinya. Tanpa sadar aku ikut cemas, mungkin seperti yang dirasakan Wero sekarang. Jantungku berdegup kencang menantikan setiap kalimat yang akan diucapkan Wero nanti.
“Aku ..”
“Aku, aku-” Wero menaik-turunkan kepalanya secara tidak sadar dan aku juga mengikutinya. Tanpa sadar aku ikut cemas, mungkin seperti yang dirasakan Wero sekarang. Jantungku berdegup kencang menantikan setiap kalimat yang akan diucapkan Wero nanti.
“Aku ..”
“Katakan Wero, katakan!” Batinku dalam hati serasa ingin meledak-ledak. Rasanya
persis saat aku sedang geram menghadapi orang-orang yang menantangku berkelahi,
seperti itu rasanya sekarang.
Wero mengerlingkan matanya dan memejamkannya sembari memeluk erat buku yang ada
dilengannya. Hampir gadis itu gemetaran mehanan sesuatu yang sulit diucapkan
dengan kata-kata.
“Aku permisi!”
Belum
sempat aku memanggilnya, sekejap Wero telah berjalan dengan sangat cepat dan
menghilang dari tikungan menuju koridor yang lain. Ah sial. Relfeks aku memukul
balkon kelas yang mejadi pembatas kelas dengan halaman. Rasanya sesuatu yang
mengganjal sedang menyumpat perasaanku dengan hal yang tidak bisa kujelaskan.
Payah. Gadis itu nampak seperti orang yang ketakutan saat berada didekatku
seperti tadi. Namun kali ini berlebihan, pada saat kami dikelas dia kelihatan
biasa saja. Dasar aneh -_-
****
Weronika Mamot View’s
Weronika Mamot View’s
“Wero!”
Seseorang menggoncangkan tubuhku dengan cukup keras, dan membuatku sedikit
tersentak. Siapalagi kalau bukan Kristen. Hanya dia yang aku kenal disekolah
ini. Aku menatapnya sekilas, sementara dia menatapku dengan mata sayu dan
seperti telah berates tahun menungguku.
“Ada apa?” tanyaku singkat lantas menatap sekelilingku, ternyata kelas sudah kosong hanya tinggal kami berdua saja disini. Suasana begitu lengang hanya suara air conditioner yang berderu perlahan menyeruak di kelas matematika ini. Aku mulai membereskan buku-bukuku sementara Kristen merogoh sakunya dan melahap beberapa permen karet, meniupnya.
“Harusnya aku yang bertanya ada apa? Daritadi aku mengajakmu bercerita, menanyakan tentang kelasmu hari ini dan, ternyata kau sedang mengimajinasikan Justin -_-”
“Ada apa?” tanyaku singkat lantas menatap sekelilingku, ternyata kelas sudah kosong hanya tinggal kami berdua saja disini. Suasana begitu lengang hanya suara air conditioner yang berderu perlahan menyeruak di kelas matematika ini. Aku mulai membereskan buku-bukuku sementara Kristen merogoh sakunya dan melahap beberapa permen karet, meniupnya.
“Harusnya aku yang bertanya ada apa? Daritadi aku mengajakmu bercerita, menanyakan tentang kelasmu hari ini dan, ternyata kau sedang mengimajinasikan Justin -_-”
Aku terdiam
beberapa saat.
Ingin
sekali rasanya menjitak kepala Krist. Namun, ada benarnya perkataan gadis ini
tadi. Sedaritadi memang aku memikirkannya, laki-laki itu. Justin Drew Bieber,
begitulah nama yang aku baca saat memasuki kelas biologi tadi. Serta kejadian
seusai istirahat tadi, cara dia memandangku, memperlakukanku dengan caranya.
Namun. Aku payah.
“Payah!
Payah!”
“Apanya yang payah?”
“Apanya yang payah?”
Aku
meringis sambil menatap Kristen seolah berkata ‘tidak ada apa-apa’ dan dia
memanyunkan bibirnya, sembari terus mengunyah permen karet. Aku mengkhawatirkan
Justin. Namun, entahlah apa ini benar. Aku takut semua ini salah. Aku rasa
harus menceritakan semuanya pada Kristen.
“Krist,
menurutmu Justin itu orangnya seperti apa?” tanyaku hati-hati karena aku yakin
Kristen akan begitu meledak-ledak dan bersemangat menceritakannya atau dia akan
menceramahiku dengan bahasanya yang sangat sulit kumengerti. Aku merasa aku
cemas dengan perasaanku.
“Sudah kuduga! Wero kau jangan memikirkan laki-laki itu terus.”
“Sudah kuduga! Wero kau jangan memikirkan laki-laki itu terus.”
-_-
“Tidak, aku
hanya bertanya kok.” Jawabku sederhana.
“Justin itu anak aneh. Terkadang dia pendiam, namun tiba-tiba dia babak belur seperti habis berkelahi, entah dengan siapa dia sering melakukan itu semua diluar sekolah. Bukan dengan anak sekolah disini, karena semua siswa menghormatinya karena ibunya adalah kepala sekolah disini.”
Aku sedikit tercekat, “Kepala sekolah?” ulangku. Kristen mengangguk.
“Iya, namun kami jarang melihat mereka bersama, bahkan sepertinya mereka tidak serumah.”
“Justin itu anak aneh. Terkadang dia pendiam, namun tiba-tiba dia babak belur seperti habis berkelahi, entah dengan siapa dia sering melakukan itu semua diluar sekolah. Bukan dengan anak sekolah disini, karena semua siswa menghormatinya karena ibunya adalah kepala sekolah disini.”
Aku sedikit tercekat, “Kepala sekolah?” ulangku. Kristen mengangguk.
“Iya, namun kami jarang melihat mereka bersama, bahkan sepertinya mereka tidak serumah.”
Suasana
menjadi semakin hening.
“Dia juga
sangat tempramen seperti orang psikopat, kadang dia mengamuk namun tidak jelas
apa penyebabnya. Dan itu adalah penyakit Justin sejak bersekolah disini. Kau
tahu Wer, sahabat sahabatnya pun tidak tahu mengapa Justin bertingkah sangat
misterius seperti itu.”
“Kau pernah menjadi korbannya?” selidikku pada Kristen, lebih intens lagi.
“Pernah tapi tidak parah kok hanya terkena lemparan kerikil dari batu bata yang dulu digunakannya untuk mengamuk. Entah dia mendapatkannya darimana, mungkin di parkiran depan yang sedang dibangun dulu. Tapi yang terparah itu Skandy. Tau kan? Skandar itu, dia pernah masuk rumah sakit karena dihantam Justin kemobilnya saat Justin mengamuk di parkiran. Setahun lalu.”
“Kau pernah menjadi korbannya?” selidikku pada Kristen, lebih intens lagi.
“Pernah tapi tidak parah kok hanya terkena lemparan kerikil dari batu bata yang dulu digunakannya untuk mengamuk. Entah dia mendapatkannya darimana, mungkin di parkiran depan yang sedang dibangun dulu. Tapi yang terparah itu Skandy. Tau kan? Skandar itu, dia pernah masuk rumah sakit karena dihantam Justin kemobilnya saat Justin mengamuk di parkiran. Setahun lalu.”
Aku bingung
ingin bertanya apalagi, semua ini membuat telingaku panas dan tenggorokanku
serasa sangat sangat kering. Menelan air ludahku sendiri saja rasanya tertahan,
dan penuh ngeri mendengar pribadi Justin yang begitu temperamental seperti itu.
“Dia juga
seorang penyanyi Wer, namun sepertinya berhenti di single pertamanya.”
“Penyanyi?” Aku mengernyitkan dahiku dan Kristen mengangguk-angguk padaku.
“Iya. Namun terhenti di kelas tiga ini, katanya di mading sekolah dia ingin fokus dengan ujian yang akan kita hadapi juga di akhir tahun nanti. Tapi aku yakin bukan itu, Justinkan selalu memanfaatkan uang daripada pikirannya sendiri. Kau tahu kan?”
“Penyanyi?” Aku mengernyitkan dahiku dan Kristen mengangguk-angguk padaku.
“Iya. Namun terhenti di kelas tiga ini, katanya di mading sekolah dia ingin fokus dengan ujian yang akan kita hadapi juga di akhir tahun nanti. Tapi aku yakin bukan itu, Justinkan selalu memanfaatkan uang daripada pikirannya sendiri. Kau tahu kan?”
Aku
terperangah mendengar cerita Kristen. Anak ini sangat lepas membicarakan orang.
Jadi aku tahu sebab Kristen selalu berusaha menjauhi Justin, dan juga
melarangku mendekatinya. Aku menjadi menerawang lebih jauh seperti apa Justin
sebenarnya. Tempramen, pscycho dan emosional.
“Begitu ya. Aku tidak menyangka Justin seburuk
itu disini. Aku bahkan mengiranya sangat baik.”
“Memang dia baik namun sangat misterius, kerap dia meninggalkan sesuatu yang mengganjal pada kami semua, lewat segala pelampiasan emosinya. Sekarang sejak mengikuti basket hingga menjadi kapten, dai lebih sering meluapkan emosinya kepada bola basket dengan dribble, shooting, berlari dan berteriak penuh emosi. Dia hebat bisa menyalurkan emosinya sekarang.”
“Memang dia baik namun sangat misterius, kerap dia meninggalkan sesuatu yang mengganjal pada kami semua, lewat segala pelampiasan emosinya. Sekarang sejak mengikuti basket hingga menjadi kapten, dai lebih sering meluapkan emosinya kepada bola basket dengan dribble, shooting, berlari dan berteriak penuh emosi. Dia hebat bisa menyalurkan emosinya sekarang.”
Aku
berdecak perlahan. Aku semakin penasaran dengan Justin. Bisa-bisanya dia
sekelam itu, namun dia terlihat begitu istimewa dimataku. Secercah sinar dari
mata hazelnya memang sangat menghipnotis.
“Sudah
sudah. Ayo kita pulang saja. Tidak baik membicarakan mendiang.”
“Husssh!” aku mengerucutkan bibirku dan Kristen menyeringai.
“Husssh!” aku mengerucutkan bibirku dan Kristen menyeringai.
Segera kami
berbenah dan membereskan buku-buku kami untuk beranjak meninggalkan kelas.
Kristen masih menggandeng tanganku hingga kami keluar dari pelataran gedung sekolah.
Kristen masih menggandeng tanganku hingga kami keluar dari pelataran gedung sekolah.
*****
Author View’s
Author View’s
Wero
berjalan seperti biasa menyusuri setiap langkah seperti pagi-pagi sebelumnya,
namun kali ini ada yang berbeda. Tidak ada Justin yang kemarin menemaninya, hal
yang tidak sengaja yang sangat dia rindukan. Gadis ini berjalan menikmati
suasana lengang ketika memasuki gerbang sekolah. Sejenak dia melirik arlojinya,
setengah jam lagi pelajaran dimulai. Namun sekolah tampak sepi hanya dedaunan
maple yang tumbuh dihalaman sekolah ini berguguran tertiup angin.
Wero
berjalan dan menaiki tangga untuk menuju gedung olahraga yang ada disebelah
kamar ganti. Jam pertama hari ini adalah basket. Dan kelas lain juga sama namun
waktunya saja yang berbeda. Wero masuk
dikelas bilingual, yang bercabang hingga kelas F. Sementara untuk regular mulai
kurang diminati, mungkin karena kelasnya terasing dan kebanyakan pergaulan
anak-disini ada dikelas akselerasi.
Diputarkannya
kunci loker nomor 6 yang bertuliskan namanya dan dia mengambil kaos olahraga
yang memang tersedia disini. Entahlah perasaannya menjadi tidak enak dengan
rasa berdebar yang sangat-sangat menganggu. Seperti seseorang sedang
mengamatinya, dan mengikutinya dari gerbang tadi. Dengan cepat dia meraih
kaosnya lantas menutup loker itu singkat, segera dia berbalik dan ajaib. Tidak
ada siapapun. Wero mendesah kecil menyeka keringat dingin yang menetes di pagi
yang masih meninggalkan embun ini. Pagi ini begitu horror padahal Halloween sudah
lama berlalu.
“WERO!”
Kurang asam.
Sampah serapah dan maki-makian serasa ingin dikeluarkan dari mulut gadis ini
begitu barusan dia dikejutkan. Seseorang menepuk pundaknya keras, membuatnya
hampir melemparkan kaos yang dibawanya ke muka orang tadi. Wer berubah sangat
sangat ingin meledak rasanya. Justin. Dengan tampang seolah tanpa dosa dia
menunjukkan wajahnya yang biasa saja sehabis mengejutkan Wero tadi. Gadis ini
jadi teringat cerita Kristen kemarin, dan benar Justin memang seperti yang
Kristen katakan.
“Kau. Puas
mengagetkanku? Dasar sadis -_-” kata Wero sambil terus menghela nafas.
“Sadis itu seperti ini.”
“Sadis itu seperti ini.”
PLEETAAAK!
“Kurang
ajar kau Justin!” Wero mengusap-usap kepalaku yang barusan dijitak
oleh laki-laki yang tiba-tiba berubah menyebalkan ini. Dia tidak berniat
membalasnya, karena disisilain Wero mulai menyukai Justin, namun untuk dirinya
sendiri. Darisini sisi nakal Justin begitu terlihat meski dia pendiam diluar
namun begitu jahat, kasar dan jahil didalamnya. Sangat kontras.
“Dasar banci!” umpat Wero padanya lantas dia menarik samping sudut bibirnya ke atas.
“Dasar banci!” umpat Wero padanya lantas dia menarik samping sudut bibirnya ke atas.
Bibir Wero
membulat dengan muka yang kecewa, dia berharap Justin akan meledak dan akan
melakukan debat dengannya. Rasa kesalnya sudah meluap hingga ke ubun-ubun.
“Sudah sudah. Aku malas mengenalmu, apalagi
berdebat denganmu. Mengetahui semua tentangmu ataupun mendekatimu. Lebih baik
aku pergi saja dari sekolah ini daripada harus bersamamu. Dasar wanita autis
-___-”
Justin
mengucapkan setiap kata itu, dengan penuh penekanan. Dia memaki Wero dengan
enaknya, mengatakannya autis padahal Wero menganggapnya lebih dari autis atau
mengalami masalah dengan psikologisnya, dasar makhluk berkepribadian ganda -,- Batin
Wero sangat sengit. Wero sampai dibuat terperangah dengan menatapnya penuh rasa
kesal, dan ingin mencekik lehernya itu.
“Apa? Mulai sekarang kita musuh!” teriak gadis itu sengit sembari menyipitkan mata hazel pada Justin.
“Apa? Mulai sekarang kita musuh!” teriak gadis itu sengit sembari menyipitkan mata hazel pada Justin.
Justin
kembali tersenyum kecut. Meremehkan Wero.
“Sejak
kapan kau menjadi temanku? Tidak level berteman dengan gadis jalanan
sepertimu.”
Tanpa sadar bibirku tertarik naik-turun seolah kesulitan bicara, belum sampai satu menit berdebat seperti ini, dia sudah membuatku hampir meledak. “Apa kau bilang??”
“Dasar tuli kau ini.”
“Beraninya kau mengataiku sep-”
Tanpa sadar bibirku tertarik naik-turun seolah kesulitan bicara, belum sampai satu menit berdebat seperti ini, dia sudah membuatku hampir meledak. “Apa kau bilang??”
“Dasar tuli kau ini.”
“Beraninya kau mengataiku sep-”
"......"
Mata Wero
membulat ketika Justin dengan kilat menyambar pipinya, dengan singkat bibir
Justin mengecup pipi Wero penuh perasaan. Justin tersenyum singkat lantas
berlari menuruni anak tangga. Sementara Wero, perasaannya campur aduk karena
hal tadi. Justin membuatnya marah, sebal dan dia membuatnya meleleh. Lulut
gadis itu bergetar lantas dia menaruh tangannya ke atas dadanya, merasakan
setiap rasa berdebaran karena ulah Justin tadi.
“Justin ..”
To be continued.
0 comments: