I HEAR YOUR HEARTBEATS 15
I HEAR
YOUR HEARTBEATS 15
*****
Justin menatap istrinya yang melenggang begitu saja, dengan menutupi rasa
kesalnya dia tersenyum menyambut beberapa orang didalam serta memulai
pembicaraan. Gadis disudut sana tak nampak mengetahui apa yang barusan terjadi,
justru dengan wajah merona menunjukkan deretan rapi giginya. Justin tak
sengaja menatap matanya yang menyorotkan sesuatu, hingga tak berkedip namun
dengan wajahnya yang terlihat berwibawa.
Gadis
itu melirik seorang diantara mereka, lantas berdiri sambil berdeham. Justin
mengerjap kemudian mengusap wajahnya perlahan, dia tersenyum hambar.
“Baiklah penandatanganan kontrak masa jabatan dengan jaminan pendidikan bagi tuan muda Justin, serta yang terhormat Nona Carly yang akan selanjutnya membantu tugas beliau selaku asisten sekaligus sekretaris pribadi tuan muda, akan kita mulai dr penandatanganan oleh saya, William Sher selaku pengacara terkait.”
“Baiklah penandatanganan kontrak masa jabatan dengan jaminan pendidikan bagi tuan muda Justin, serta yang terhormat Nona Carly yang akan selanjutnya membantu tugas beliau selaku asisten sekaligus sekretaris pribadi tuan muda, akan kita mulai dr penandatanganan oleh saya, William Sher selaku pengacara terkait.”
Semua
orang nampak gugup dan diam dalam benaknya masing-masing. Carly, gadis yang
Wero tidak salah lihat itu menggigit bibir bawahnya sambil menatap Justin
sedikit cemas. Lelaki itu lantas membalasnya dengan pipinya yang berlesung
karena senyumannya untuk gadis itu
*****
Perlahan dia
mengerjap lantas menatapi gadis didepannya, serta meletakkan berkas-berkas desain
itu di meja kerjanya sekarang. Justin berdeham hingga Carly menoleh sekilas
lantas mendekat dengan menggeser layar tablet itu sederhana.
“Ehm. Maaf sir, ehm saya-maksud saya hari ini ada agenda untuk survey beberapa mode.” ucapnya dengan terbata. Justin hanya mengangguk lantas menatap aneh pada gadis bermata hitam itu. Sementara tangan Carly terlihat gemetaran menghalangi rasa gugupnya. Justin menggeleng perahan merasakan ada yang tidak beres setiap harinya, sedang ada pergumulan tentang pekerjaan dan waktunya untuk gadis yang sekarang dicintainya. Menatap Carly rasanya menatap Wero, mereka sama-sama gadis namun berbeda sifat dan segalanya.
Justin menengok arlojinya, “Kalau begitu ayo kita pergi, kebetulan jam makan siang sebentar lagi dimulai.”
“Ehm. Maaf sir, ehm saya-maksud saya hari ini ada agenda untuk survey beberapa mode.” ucapnya dengan terbata. Justin hanya mengangguk lantas menatap aneh pada gadis bermata hitam itu. Sementara tangan Carly terlihat gemetaran menghalangi rasa gugupnya. Justin menggeleng perahan merasakan ada yang tidak beres setiap harinya, sedang ada pergumulan tentang pekerjaan dan waktunya untuk gadis yang sekarang dicintainya. Menatap Carly rasanya menatap Wero, mereka sama-sama gadis namun berbeda sifat dan segalanya.
Justin menengok arlojinya, “Kalau begitu ayo kita pergi, kebetulan jam makan siang sebentar lagi dimulai.”
“Maksud-maksud
anda, saya dan anda pergi berdua?”
Lelaki
itu menutup laptop kerjanya lantas bangkit, “Tentu saja.”
Carly Point Of View
Sungguh kesempatan langka setelah
saat pertama kali melihat matanya, awalnya memang ketidaksengajaan namun
sekarang aku semakin berdebaran kalau bertatapan langsung dengan lelaki itu.
Yeah. Justin Bieber yang sekarang atasanku, lelaki yang sama pada waktu bertemu
singkat dibutik. Andai saja waktu itu
aku tidak segera pergi, aku lebih lama mengerti siapa dirinya. Matanya sama,
caranya berbicara, berjalan serta menatapku. Tuhan. Aku samasekali tak berharap
untuk menemukan kenangan pahit itu. Dimana harus lekat seperti melihat mata yang
sama sepertinya.
Tidak. Dia sudah berlalu dan-aku rasa sekarang
bukan waktu yang tepat. Aku harus pergi untuk menerima kepergiannya, untuk
hidupnya. Bukan alasan lagi kalau dia memang lebih mementingkan hidupnya
daripada siapa aku untuknya. Mungkin ini jalanku, pelampiasanku sebagai pekerja
keras. Bahkan dua tahun sudah berlalu sejak perpisahan itu terjadi, sekarang
bayangannya melekat pada mata Justin. Sulit sekali menghapusnya setelah sekian
lama aku terbiasa sendiri -- matanya memaksaku untuk mengaguminya.
“Ah
tidak Carly. Jangan bermimpi lebih lagi.”
Berulangkali aku menepuk pipiku
bergantian, membiarkan buliran air itu berhenti menetes dengan wajah anehku.
Tak pelak, bukan berhenti justru hal yang kulakukan sekarang semakin
mengingatkanku padanya, aku sangat merindukannya.
“Carly apa aku menganggu?” suara bariton seseorang lembut menyapaku. Singkat kuhapus sekatan airmata itu dengan sudut jariku yang sekarang terbasahi. Sekilas aku menggeleng padanya.
“Syukurlah. Kau tahu aku sama sekali tidak berbakat dengan goresan sketsa seperti ini.”
Lelaki itu menengadah padaku, “Sshh. Jadi kukira kau lebih mengerti dengan ini.”
“Carly apa aku menganggu?” suara bariton seseorang lembut menyapaku. Singkat kuhapus sekatan airmata itu dengan sudut jariku yang sekarang terbasahi. Sekilas aku menggeleng padanya.
“Syukurlah. Kau tahu aku sama sekali tidak berbakat dengan goresan sketsa seperti ini.”
Lelaki itu menengadah padaku, “Sshh. Jadi kukira kau lebih mengerti dengan ini.”
Aku menatap bibirnya yang
mendesah pelan. Kutahan sudut bibirku agar tidak terkoyak. Matanya tak henti
menatapku dengan sihirnya yang mirip seperti kekasih yang hilang dariku. Mereka
berdua benar-benar mirip. Bahkan, aku sempat mengira kalau Justin adalah dia
setiap kali bertemu di kejauhan. Hal bodoh yang mengotori pikiranku.
“Tentu saja sir.” balasku dengan menarik sudutku yang kaku.
“Tentu saja sir.” balasku dengan menarik sudutku yang kaku.
“Baiklah
Carly, terimakasih banyak kau memang malaikat penolongku.”
Perlahan lelaki itu bergegas menuju pintu dengan senyumnya yang tak menghilang.
“Kau bisa menyelesaikannya dirumah. Atau mengerjakannya disini. Malam ini aku lembur jadi-”
Perlahan lelaki itu bergegas menuju pintu dengan senyumnya yang tak menghilang.
“Kau bisa menyelesaikannya dirumah. Atau mengerjakannya disini. Malam ini aku lembur jadi-”
Ucapannya
terhenti sementara dengan tergesa dia mengangkat ponselnya yang tiba-tiba saja berdering.
Dia nampak bersemangat sambil tak menghilangkan senyumnya sejak awal
percakapan. Aku menelan ludahku perlahan, sadar Carly – sadar, telefon itu jauh
lebih penting darimu.
Dengan sedikit kesal aku membereskan
berkasnya. Dia berdiri tepat disamping meja kerjaku memulai pembiacaraan dengan
tertawaan yang begitu lepas. Suara seorang gadis nampak kurang begitu jelas
untukku dengar.
“Hahaha.
Kau bodoh.”
“Tidak kau yang bodoh.”
“Bagaimana apa sudah berhenti mual?”
“Kalau begitu ada bieber jun-”
“Baik-baik aku tidak akan mengulanginya.”
“Tidak kau yang bodoh.”
“Bagaimana apa sudah berhenti mual?”
“Kalau begitu ada bieber jun-”
“Baik-baik aku tidak akan mengulanginya.”
Sesekali
dia tertawa lebar kembali, nampak begitu hangat dengan seseorang yang ada
disana. Entah siapa, dan apa yang mereka bicarakan tidak terlalu jelas.
Sepertinya tidak ada kesempatan bagiku untuknya. Mungkin saja kekasihnya sedang
menantinya atau yang sedang berbincang dengannya sekarang? Atau jangan-jangan
Justin sedang berbincang dengan Wero. Gadis prom itu, yang diantarnya ke butik
saat bertemu denganku. Gadis yang dikecup kilat olehnya.
“Ada
apa Carly?” tubuhku terkesiap mendapatinya melihatku. Aku yang melamun
dibelakangnya sudah mati kutu sekarang. Dasar bodoh -_- sekarang apa?
“Tidak sir, aku ingin-aku, aku ingin menanyakan sesuatu tadi. Ya, sesuatu namun aku tidak jadi-tidak jadi menanyakannya. Hehehh, seperti itulah.”
“Tidak sir, aku ingin-aku, aku ingin menanyakan sesuatu tadi. Ya, sesuatu namun aku tidak jadi-tidak jadi menanyakannya. Hehehh, seperti itulah.”
Justin
menaikkan sebelah alisnya lantas menatapku aneh.
“Baiklah
selesaikan itu dan kita akan segera pulang.”
“Iya sir.”
“Oh iya Carly berhenti memanggilku sir. Kau tidak tahu kalau umur kita sama? Panggil saja aku Justin kalau kita sedang tidak ada agenda atau kita sedang berdua seperti ini.”
“Iya sir.”
“Oh iya Carly berhenti memanggilku sir. Kau tidak tahu kalau umur kita sama? Panggil saja aku Justin kalau kita sedang tidak ada agenda atau kita sedang berdua seperti ini.”
Aku
menatap sorot matanya yang hangat sembari mengangguk perlahan. Senyuman
manisnya melekang bahkan menghapuskan pikiranku yang macam-macam padanya. Aku
hanya tersenyum sambil menyelesaikan pekerjaanku tadi yang tertunda. Rasa
penasaran itu akan terjawab seiring waktu, sudah cukup penat menambah beban
pekerjaan baru yang sangat melelahkan ini. Justin kembali pada mejanya dengan
fokus terhadap berkas-berkas yang mungkin dikuasainya.
*****
Justin Point Of View
Justin Point Of View
Hari demi hari berlalu dan
semakin berat, karena pekerjaanku dan masalah kuliah pada jam malam. Rasanya
ingin membiarkan gadis ini untuk pergi, mencari kebahagiaan lain. Tapi semua
itu bodoh. Wero tidak akan bersedia tanpaku, lagipula
sepertinya dia sedang belajar bagaimana caranya menjadi seorang ibu. Beginilah
aku hanya menghabiskan waktu akhir pekanku saja bersama Wero. Selepas itu hari
senin hingga jumat malam ang kutemui hanya gadis yang begitu kucintai meringkuk
sendirian, dan ketika aku bangun hanya membuatkannya sarapan, sementara dia
membersihkan rumah.
Rutinitas
yang membosankan. Aku terkekeh. Wero menatapku dengan tatapannya yang begitu
aneh dan tidak ada sepercik wajah dewasanya sama sekali, jika sedang berdua
seperti ini memang rasanya hanya kekanak-kanakan saja.
“Kau tidak bosan setiap hari dirumah sendirian?”
“Tidak.” Wero menggeleng sederhana sambil menarik tubuhnya dalam dekapanku, aku mengecup puncak keningnya perlahan sambil merasakan perutnya yang masih rata, dengan gemas dia mencubit lenganku.
“Kau pikir aku tidak tahu apa yang ada dipikiranmu?” umpatnya. Aku memasang wajah bodohku.
“Menyebalkan.”
“Kau tidak bosan setiap hari dirumah sendirian?”
“Tidak.” Wero menggeleng sederhana sambil menarik tubuhnya dalam dekapanku, aku mengecup puncak keningnya perlahan sambil merasakan perutnya yang masih rata, dengan gemas dia mencubit lenganku.
“Kau pikir aku tidak tahu apa yang ada dipikiranmu?” umpatnya. Aku memasang wajah bodohku.
“Menyebalkan.”
Kami
sama-sama meledak dalam tawa, aku sangat suka ketika Wero menghindar begitu aku
akan menciumnya. Lucu sekali, dan itu yang selalu kurindukan.
“Wero aku sangat mengharapkannya, bisakan kita berbicara serius tentang my junior?”
“Kurasa aku akan merayakan sweet-seventeenku satu bulan lagi, jadi anak dibawah umur sepertiku dilarang membicarakannya dengan lelaki dewasa sepertimu.”
“Wero aku sangat mengharapkannya, bisakan kita berbicara serius tentang my junior?”
“Kurasa aku akan merayakan sweet-seventeenku satu bulan lagi, jadi anak dibawah umur sepertiku dilarang membicarakannya dengan lelaki dewasa sepertimu.”
Aku merangkak ke atas tubuhnya yang berbaring,
sementara wajah paniknya mulai membuatku menahan tawa kembali, “Tapi bagaimana
dengan kejadian malam itu dimana anak dibawah umur sepertimu mau melakukannya
dengan lelaki dewasa sepertiku?”
“Aaaaa! Kau menyebalkan!”
Gadis itu berteriak sambil mendorong tubuhku
sementara aku hanya terpingkal ketika tangan mungilnya mencoba memukulku
berulang-kali. Aku senang ketika dia begitu menggemaskan, dengan wajahnya yang
terlihat begitu keibuan justru dihadapanku sangat childish seperti ini. Setidaknya aku bisa menikmati waktu bodoh
yang kami lewati berdua, gaya hidup teraneh untuk anak muda yang dipaksa dewasa
seperti kami.
“Kalau kau membahas soal hal itu lagi, kita akan-”
“Melakukannya lagi?”
“Bukan, dasar bodoh -_-”
“Mengaku saja? Kau mau kan? Ini kesempatan langka, lama-lama kau akan memintanya padaku.”
Wero nampak mengabaikanku serta bangkit tanpa menjawab ucapanku begitu saja. Sebenarnya aku membenci saat-saat seperti ini, dia tidak menganggapku ada kalau begini caranya. Aku menghela nafasku perlahan sembari mengaitkan beberapa kancing kemejaku yang terlepas, sementara Wero nampak mengamatiku dari kaca wastafel. Aku menatapnya kembali, dia nampak berbicara aneh sendiri disana sambil menengadahkan tangannya lantas berputar-putar di dalam.
“Bukan, dasar bodoh -_-”
“Mengaku saja? Kau mau kan? Ini kesempatan langka, lama-lama kau akan memintanya padaku.”
Wero nampak mengabaikanku serta bangkit tanpa menjawab ucapanku begitu saja. Sebenarnya aku membenci saat-saat seperti ini, dia tidak menganggapku ada kalau begini caranya. Aku menghela nafasku perlahan sembari mengaitkan beberapa kancing kemejaku yang terlepas, sementara Wero nampak mengamatiku dari kaca wastafel. Aku menatapnya kembali, dia nampak berbicara aneh sendiri disana sambil menengadahkan tangannya lantas berputar-putar di dalam.
*****
Weronika Point Of View
Weronika Point Of View
Menyebalkan,
memang semua lelaki ditakdirkan untuk tidak peka -_- aku benci saat Justin
membahas masalah bieber junior, little
bieber, Austin, Keyna atau apalah
itu yang jelas-jelas dia begitu mengharapkan bayi. Aku menatap wajahnya yang
sedikit kecewa dari wastafel, tapi tak ada aut bersalah sedikitpun padanya? Ingin
rasanya aku memeluknya dan berkata kalau,
“Maaf bukan maksudku, jika saja kau tidak memaksaku aku akan menjawab
dengan logika, kedewasaan dan aku ingin hari ulang tahunku nanti bisa
dihabiskan bersamamu, tanpa pekerjaanmu yang merebutmu dariku itu,aku ingin
mendapat kado istimewa darimu dan masalah bayi kita nanti bisa dibicarakan
setelah semua terlewati.”
Hah. Aku membuang nafasku asal, lantas membasuh mukaku
sejenak. Aku ingin Justin memaklumiku, bukannya menyudutkanku dalam masalah
bayi bayi dan bayi, dia pikir melahirkan bayi ke dunia itu mudah? Dasar bodoh
-_- disaat seperti ini aku merindukan Mommy, dia yang memberitahu kalau
melahirkan itu rasanya sangat sakit melebihi hal apapun didunia ini. Pertaruhan
hidup dan mati.
Aku
mengerjap, ada beberapa kissmark di
leherku? Hey? Aaaaaaaaaaa (⊤__________⊤ )
Berulang kali tanganku mengusapnya berharap agar
darah yang mematang itu dapat dihilangkan. Baik aku tidak akan munafik, ya aku
sudah terjebak dalam cinta dengan lelaki bodoh itu. Justin, aku menikmatinya.
Dengan mendengus aku segera berlarian keluar dan menemukan lelaki itu
sedang berbaring di sofa.
Ku hirup nafasku
dalam-dalam lantas merebahkan tubuhku disampingnya. Dia menoleh lantas
tersenyum padaku. Aku meraih wajahnya lantas membiarkan kami berdekatan.
“Maaf untuk yang tadi. Aku berjanji tidak akan munafik padamu. Tapi bisakah kita membicarakannya nanti setelah semuanya selesai dan benar-benar terjadi?”
“Maaf untuk yang tadi. Aku berjanji tidak akan munafik padamu. Tapi bisakah kita membicarakannya nanti setelah semuanya selesai dan benar-benar terjadi?”
“Apa maksudmu dengan semuanya selesai dan
benar-benar terjadi?”
Aku memutar mataku lantas dia mengecup bibirku
sekilas.
“Maksudku kita membicarakannya kalau aku benar-benar
positive.”
“Kalau begitu ayo kita ke dokter sekarang.”
“Apa?”
“Iya Wero sayang, lekaslah mengganti pakaianmu ini lalu segera menyusulku di garasi.”
“Kalau begitu ayo kita ke dokter sekarang.”
“Apa?”
“Iya Wero sayang, lekaslah mengganti pakaianmu ini lalu segera menyusulku di garasi.”
Aku masih terperangah sementara Justin sudah berlari
keluar. Jahat sekali. Ah. Aku yang bodoh berucap seperti itu tadi, sudah paham
kalau Justin itu seperti minyak, sekali dipantik api langsung berkoar-koar -_-
apa boleh buat, dengan malas aku menaiki tangga menuju kamar. Terlihat dari
atas sini Justin berada didalam mobil untuk memanasi mesinnya. Dia bersemangat
sekali sambil melirik ke atas menatapku, aku segera menghindar lantas memakai
bolero sederhana untuk menutupi tank-top yang ku kenakan.
*****
Author Point Of View
Author Point Of View
Lelaki itu tak berhenti mengusapi
punggung tangan gadisnya yang sama cemas dengan dirinya. Berulangkali
ditatapnya gadis itu sedang mengamati mata wanita paruh baya didepan mereka
dengan pandangan yang sangat rumit. Sementara denyut nadi lelaki disampingnya
tak beraturan seolah bersiap menerima keputusan untuk tidak berdebaran lagi.
Justin menatap dokter didepan mereka dengan sejuta harapan. Namun setelah
beberapa waktu hening dokter itu menyerahkan selembar kertas cetak dari
tangannya kepada Justin untuk dilihat. Sementara Wero hanya menenangkan diri
dengan mengamati ruangan yang dipenuhi corak bayi serta bau baby-powder dengan segala khas yang lain
begitu menyengat, dan ruangan disebelahnya adalah ruang incubator dimana temaram bayi yang masih merah terbaring begitu
mungil.
“Ehm. Jadi begini Mr. and Mrs. Bieber.” Justin
menggenggam tangan Wero kuat-kuat.
“Sepertinya belum ada pertanda adanya fertilisasi serta zigot yang tumbuh di rahim Mrs. Weronika, namun hal ini semakin dipersulit dengan dugaan adanya salah satu sel gamet dari tuan atau nona yang menyebabkan pemberhentian keturunan.”
“Maksud dokter?”
“Ya, umumnya pasangan yang sudah mengalami tanda kehamilan seperti penuturan Mrs. Weronika tadi, bahkan dari mual hingga telat datang bulan hingga 3 bulan itu kemungkinan postif mengandung bayi usia 4 bulan. Namun, hasil deteksi alat medis kami menunjukkan tidak adanya zigot yang hidup. Salah satu dari anda berdua mengalami kemandulan.”
“Sepertinya belum ada pertanda adanya fertilisasi serta zigot yang tumbuh di rahim Mrs. Weronika, namun hal ini semakin dipersulit dengan dugaan adanya salah satu sel gamet dari tuan atau nona yang menyebabkan pemberhentian keturunan.”
“Maksud dokter?”
“Ya, umumnya pasangan yang sudah mengalami tanda kehamilan seperti penuturan Mrs. Weronika tadi, bahkan dari mual hingga telat datang bulan hingga 3 bulan itu kemungkinan postif mengandung bayi usia 4 bulan. Namun, hasil deteksi alat medis kami menunjukkan tidak adanya zigot yang hidup. Salah satu dari anda berdua mengalami kemandulan.”
Wero
menatap suaminya yang semakin cemas, diusapnya lembut tangan Justin yang sudut
matanya hampir meneteskan airmata. Gadis itu merasakannya lantas memeriksa
kertas itu kembali.
“Lalu bagaimana kalau kertas cetak ini salah?” ujar Wero sambil menahan emosinya.
“Tidak Mrs. Weronika, alat medis kami sudah bersertifikat internasional serta selalu akurat.”
“Apakah diagnosa ini bisa dicabut kalau kami berkunjung kesini lagi?”
“Maaf Mrs. Weronika kalau memang alat ini benar adanya, berarti Tuhan memiliki rencana lain untuk kehidupan rumah tangga anda berdua. Namun mukjizat Tuhan saja yang bisa terjadi dalam waktu 3 minggu ini. Semua bisa saja terjadi.”
“Tapi-”
“Lalu bagaimana kalau kertas cetak ini salah?” ujar Wero sambil menahan emosinya.
“Tidak Mrs. Weronika, alat medis kami sudah bersertifikat internasional serta selalu akurat.”
“Apakah diagnosa ini bisa dicabut kalau kami berkunjung kesini lagi?”
“Maaf Mrs. Weronika kalau memang alat ini benar adanya, berarti Tuhan memiliki rencana lain untuk kehidupan rumah tangga anda berdua. Namun mukjizat Tuhan saja yang bisa terjadi dalam waktu 3 minggu ini. Semua bisa saja terjadi.”
“Tapi-”
“Wero cukup.”
Gadis
itu terkesiap begitu Justin kembali angkat bicara. Ditatapnya lelaki itu nanar
sambil berusaha tersenyum pada sang dokter.
“Terimakasih dok, kami akan tetap mengusahakannya, dan terimakasih banyak atas informasinya.”
“Baik Mr. dan saya kira lebih baik masalah ini jangan dijadikan beban pikiran, karena hanya mempersulit hormone untuk memicu kehamilan yang lebih lanjut. Semoga tuhan memberkati anda berdua.”
“Baik dok, terimakasih.”
“Terimakasih dok, kami akan tetap mengusahakannya, dan terimakasih banyak atas informasinya.”
“Baik Mr. dan saya kira lebih baik masalah ini jangan dijadikan beban pikiran, karena hanya mempersulit hormone untuk memicu kehamilan yang lebih lanjut. Semoga tuhan memberkati anda berdua.”
“Baik dok, terimakasih.”
To be continued.
0 comments: