Wednesday 10 September 2014

0

I HEAR YOUR HEARTBEATS 15

I HEAR YOUR HEARTBEATS 15
*****


               Justin menatap istrinya yang melenggang begitu saja, dengan menutupi rasa kesalnya dia tersenyum menyambut beberapa orang didalam serta memulai pembicaraan. Gadis disudut sana tak nampak mengetahui apa yang barusan terjadi, justru dengan wajah merona menunjukkan deretan rapi giginya. Justin tak sengaja menatap matanya yang menyorotkan sesuatu, hingga tak berkedip namun dengan wajahnya yang terlihat berwibawa.
               Gadis itu melirik seorang diantara mereka, lantas berdiri sambil berdeham. Justin mengerjap kemudian mengusap wajahnya perlahan, dia tersenyum hambar.
“Baiklah penandatanganan kontrak masa jabatan dengan jaminan pendidikan bagi tuan muda Justin, serta yang terhormat Nona Carly yang akan selanjutnya membantu tugas beliau selaku asisten sekaligus sekretaris pribadi tuan muda, akan kita mulai dr penandatanganan oleh saya, William Sher selaku pengacara terkait.”
               Semua orang nampak gugup dan diam dalam benaknya masing-masing. Carly, gadis yang Wero tidak salah lihat itu menggigit bibir bawahnya sambil menatap Justin sedikit cemas. Lelaki itu lantas membalasnya dengan pipinya yang berlesung karena senyumannya untuk gadis itu



*****



               Perlahan dia mengerjap lantas menatapi gadis didepannya, serta meletakkan berkas-berkas desain itu di meja kerjanya sekarang. Justin berdeham hingga Carly menoleh sekilas lantas mendekat dengan menggeser layar tablet itu sederhana.
“Ehm. Maaf sir, ehm saya-maksud saya hari ini ada agenda untuk survey beberapa mode.” ucapnya dengan terbata. Justin hanya mengangguk lantas menatap aneh pada gadis bermata hitam itu. Sementara tangan Carly terlihat gemetaran menghalangi rasa gugupnya. Justin menggeleng perahan merasakan ada yang tidak beres setiap harinya, sedang ada pergumulan tentang pekerjaan dan waktunya untuk gadis yang sekarang dicintainya. Menatap Carly rasanya menatap Wero, mereka sama-sama gadis namun berbeda sifat dan segalanya.
Justin menengok arlojinya, “Kalau begitu ayo kita pergi, kebetulan jam makan siang sebentar lagi dimulai.”
“Maksud-maksud anda, saya dan anda pergi berdua?”
Lelaki itu menutup laptop kerjanya lantas bangkit, “Tentu saja.”



Carly Point Of View



               Sungguh kesempatan langka setelah saat pertama kali melihat matanya, awalnya memang ketidaksengajaan namun sekarang aku semakin berdebaran kalau bertatapan langsung dengan lelaki itu. Yeah. Justin Bieber yang sekarang atasanku, lelaki yang sama pada waktu bertemu singkat dibutik.  Andai saja waktu itu aku tidak segera pergi, aku lebih lama mengerti siapa dirinya. Matanya sama, caranya berbicara, berjalan serta menatapku. Tuhan. Aku samasekali tak berharap untuk menemukan kenangan pahit itu. Dimana harus lekat seperti melihat mata yang sama sepertinya.
Tidak. Dia sudah berlalu dan-aku rasa sekarang bukan waktu yang tepat. Aku harus pergi untuk menerima kepergiannya, untuk hidupnya. Bukan alasan lagi kalau dia memang lebih mementingkan hidupnya daripada siapa aku untuknya. Mungkin ini jalanku, pelampiasanku sebagai pekerja keras. Bahkan dua tahun sudah berlalu sejak perpisahan itu terjadi, sekarang bayangannya melekat pada mata Justin. Sulit sekali menghapusnya setelah sekian lama aku terbiasa sendiri -- matanya memaksaku untuk mengaguminya.
“Ah tidak Carly. Jangan bermimpi lebih lagi.”
               Berulangkali aku menepuk pipiku bergantian, membiarkan buliran air itu berhenti menetes dengan wajah anehku. Tak pelak, bukan berhenti justru hal yang kulakukan sekarang semakin mengingatkanku padanya, aku sangat merindukannya.
“Carly apa aku menganggu?” suara bariton seseorang lembut menyapaku. Singkat kuhapus sekatan airmata itu dengan sudut jariku yang sekarang terbasahi. Sekilas aku menggeleng padanya.
“Syukurlah. Kau tahu aku sama sekali tidak berbakat dengan goresan sketsa seperti ini.”
Lelaki itu menengadah padaku, “Sshh. Jadi kukira kau lebih mengerti dengan ini.”
               Aku menatap bibirnya yang mendesah pelan. Kutahan sudut bibirku agar tidak terkoyak. Matanya tak henti menatapku dengan sihirnya yang mirip seperti kekasih yang hilang dariku. Mereka berdua benar-benar mirip. Bahkan, aku sempat mengira kalau Justin adalah dia setiap kali bertemu di kejauhan. Hal bodoh yang mengotori pikiranku.
“Tentu saja sir.” balasku dengan menarik sudutku yang kaku.
“Baiklah Carly, terimakasih banyak kau memang malaikat penolongku.”
               Perlahan lelaki itu bergegas menuju pintu dengan senyumnya yang tak menghilang.
“Kau bisa menyelesaikannya dirumah. Atau mengerjakannya disini. Malam ini aku lembur jadi-”
Ucapannya terhenti sementara dengan tergesa dia mengangkat ponselnya yang tiba-tiba saja berdering. Dia nampak bersemangat sambil tak menghilangkan senyumnya sejak awal percakapan. Aku menelan ludahku perlahan, sadar Carly – sadar, telefon itu jauh lebih penting darimu.
Dengan sedikit kesal aku membereskan berkasnya. Dia berdiri tepat disamping meja kerjaku memulai pembiacaraan dengan tertawaan yang begitu lepas. Suara seorang gadis nampak kurang begitu jelas untukku dengar.

“Hahaha. Kau bodoh.”
“Tidak kau yang bodoh.”
“Bagaimana apa sudah berhenti mual?”
“Kalau begitu ada bieber jun-”
“Baik-baik aku tidak akan mengulanginya.”

Sesekali dia tertawa lebar kembali, nampak begitu hangat dengan seseorang yang ada disana. Entah siapa, dan apa yang mereka bicarakan tidak terlalu jelas. Sepertinya tidak ada kesempatan bagiku untuknya. Mungkin saja kekasihnya sedang menantinya atau yang sedang berbincang dengannya sekarang? Atau jangan-jangan Justin sedang berbincang dengan Wero. Gadis prom itu, yang diantarnya ke butik saat bertemu denganku. Gadis yang dikecup kilat olehnya.
“Ada apa Carly?” tubuhku terkesiap mendapatinya melihatku. Aku yang melamun dibelakangnya sudah mati kutu sekarang. Dasar bodoh -_- sekarang apa?
“Tidak sir, aku ingin-aku, aku ingin menanyakan sesuatu tadi. Ya, sesuatu namun aku tidak jadi-tidak jadi menanyakannya. Hehehh, seperti itulah.”

Justin menaikkan sebelah alisnya lantas menatapku aneh.

“Baiklah selesaikan itu dan kita akan segera pulang.”
“Iya sir.”
“Oh iya Carly berhenti memanggilku sir. Kau tidak tahu kalau umur kita sama? Panggil saja aku Justin kalau kita sedang tidak ada agenda atau kita sedang berdua seperti ini.”

Aku menatap sorot matanya yang hangat sembari mengangguk perlahan. Senyuman manisnya melekang bahkan menghapuskan pikiranku yang macam-macam padanya. Aku hanya tersenyum sambil menyelesaikan pekerjaanku tadi yang tertunda. Rasa penasaran itu akan terjawab seiring waktu, sudah cukup penat menambah beban pekerjaan baru yang sangat melelahkan ini. Justin kembali pada mejanya dengan fokus terhadap berkas-berkas yang mungkin dikuasainya.




*****
Justin Point Of View



               Hari demi hari berlalu dan semakin berat, karena pekerjaanku dan masalah kuliah pada jam malam. Rasanya ingin membiarkan gadis ini untuk pergi, mencari kebahagiaan lain. Tapi semua itu bodoh. Wero tidak akan bersedia tanpaku, lagipula sepertinya dia sedang belajar bagaimana caranya menjadi seorang ibu. Beginilah aku hanya menghabiskan waktu akhir pekanku saja bersama Wero. Selepas itu hari senin hingga jumat malam ang kutemui hanya gadis yang begitu kucintai meringkuk sendirian, dan ketika aku bangun hanya membuatkannya sarapan, sementara dia membersihkan rumah.
               Rutinitas yang membosankan. Aku terkekeh. Wero menatapku dengan tatapannya yang begitu aneh dan tidak ada sepercik wajah dewasanya sama sekali, jika sedang berdua seperti ini memang rasanya hanya kekanak-kanakan saja.
“Kau tidak bosan setiap hari dirumah sendirian?”
“Tidak.” Wero menggeleng sederhana sambil menarik tubuhnya dalam dekapanku, aku mengecup puncak keningnya perlahan sambil merasakan perutnya yang masih rata, dengan gemas dia mencubit lenganku.
“Kau pikir aku tidak tahu apa yang ada dipikiranmu?” umpatnya. Aku memasang wajah bodohku.
“Menyebalkan.”
               Kami sama-sama meledak dalam tawa, aku sangat suka ketika Wero menghindar begitu aku akan menciumnya. Lucu sekali, dan itu yang selalu kurindukan.
“Wero aku sangat mengharapkannya, bisakan kita berbicara serius tentang my junior?”
“Kurasa aku akan merayakan sweet-seventeenku satu bulan lagi, jadi anak dibawah umur sepertiku dilarang membicarakannya dengan lelaki dewasa sepertimu.”
Aku merangkak ke atas tubuhnya yang berbaring, sementara wajah paniknya mulai membuatku menahan tawa kembali, “Tapi bagaimana dengan kejadian malam itu dimana anak dibawah umur sepertimu mau melakukannya dengan lelaki dewasa sepertiku?”


“Aaaaa! Kau menyebalkan!”



Gadis itu berteriak sambil mendorong tubuhku sementara aku hanya terpingkal ketika tangan mungilnya mencoba memukulku berulang-kali. Aku senang ketika dia begitu menggemaskan, dengan wajahnya yang terlihat begitu keibuan justru dihadapanku sangat childish seperti ini. Setidaknya aku bisa menikmati waktu bodoh yang kami lewati berdua, gaya hidup teraneh untuk anak muda yang dipaksa dewasa seperti kami.
“Kalau kau membahas soal hal itu lagi, kita akan-”
“Melakukannya lagi?”
“Bukan, dasar bodoh -_-”
“Mengaku saja? Kau mau kan? Ini kesempatan langka, lama-lama kau akan memintanya padaku.”
               Wero nampak mengabaikanku serta bangkit tanpa menjawab ucapanku begitu saja. Sebenarnya aku membenci saat-saat seperti ini, dia tidak menganggapku ada kalau begini caranya. Aku menghela nafasku perlahan sembari mengaitkan beberapa kancing kemejaku yang terlepas, sementara Wero nampak mengamatiku dari kaca wastafel. Aku menatapnya kembali, dia nampak berbicara aneh sendiri disana sambil menengadahkan tangannya lantas berputar-putar di dalam.




*****
Weronika Point Of View



               Menyebalkan, memang semua lelaki ditakdirkan untuk tidak peka -_- aku benci saat Justin membahas masalah bieber junior, little bieber, Austin, Keyna atau apalah itu yang jelas-jelas dia begitu mengharapkan bayi. Aku menatap wajahnya yang sedikit kecewa dari wastafel, tapi tak ada aut bersalah sedikitpun padanya? Ingin rasanya aku memeluknya dan berkata kalau,

“Maaf bukan maksudku, jika saja kau tidak memaksaku aku akan menjawab dengan logika, kedewasaan dan aku ingin hari ulang tahunku nanti bisa dihabiskan bersamamu, tanpa pekerjaanmu yang merebutmu dariku itu,aku ingin mendapat kado istimewa darimu dan masalah bayi kita nanti bisa dibicarakan setelah semua terlewati.”

Hah. Aku membuang nafasku asal, lantas membasuh mukaku sejenak. Aku ingin Justin memaklumiku, bukannya menyudutkanku dalam masalah bayi bayi dan bayi, dia pikir melahirkan bayi ke dunia itu mudah? Dasar bodoh -_- disaat seperti ini aku merindukan Mommy, dia yang memberitahu kalau melahirkan itu rasanya sangat sakit melebihi hal apapun didunia ini. Pertaruhan hidup dan mati.
               Aku mengerjap, ada beberapa kissmark di leherku? Hey? Aaaaaaaaaaa (⊤__________⊤ )
Berulang kali tanganku mengusapnya berharap agar darah yang mematang itu dapat dihilangkan. Baik aku tidak akan munafik, ya aku sudah terjebak dalam cinta dengan lelaki bodoh itu. Justin, aku menikmatinya. Dengan mendengus aku  segera  berlarian keluar dan menemukan lelaki itu sedang berbaring di sofa.
Ku hirup nafasku dalam-dalam lantas merebahkan tubuhku disampingnya. Dia menoleh lantas tersenyum padaku. Aku meraih wajahnya lantas membiarkan kami berdekatan.
“Maaf untuk yang tadi. Aku berjanji tidak akan munafik padamu. Tapi bisakah kita membicarakannya nanti setelah semuanya selesai dan benar-benar terjadi?”
“Apa maksudmu dengan semuanya selesai dan benar-benar terjadi?”

Aku memutar mataku lantas dia mengecup bibirku sekilas.

“Maksudku kita membicarakannya kalau aku benar-benar positive.”
“Kalau begitu ayo kita ke dokter sekarang.”
“Apa?”
“Iya Wero sayang, lekaslah mengganti pakaianmu ini lalu segera menyusulku di garasi.”

Aku masih terperangah sementara Justin sudah berlari keluar. Jahat sekali. Ah. Aku yang bodoh berucap seperti itu tadi, sudah paham kalau Justin itu seperti minyak, sekali dipantik api langsung berkoar-koar -_- apa boleh buat, dengan malas aku menaiki tangga menuju kamar. Terlihat dari atas sini Justin berada didalam mobil untuk memanasi mesinnya. Dia bersemangat sekali sambil melirik ke atas menatapku, aku segera menghindar lantas memakai bolero sederhana untuk menutupi tank-top yang ku kenakan.




*****
Author Point Of View



               Lelaki itu tak berhenti mengusapi punggung tangan gadisnya yang sama cemas dengan dirinya. Berulangkali ditatapnya gadis itu sedang mengamati mata wanita paruh baya didepan mereka dengan pandangan yang sangat rumit. Sementara denyut nadi lelaki disampingnya tak beraturan seolah bersiap menerima keputusan untuk tidak berdebaran lagi.
               Justin menatap dokter didepan mereka dengan sejuta harapan. Namun setelah beberapa waktu hening dokter itu menyerahkan selembar kertas cetak dari tangannya kepada Justin untuk dilihat. Sementara Wero hanya menenangkan diri dengan mengamati ruangan yang dipenuhi corak bayi serta bau baby-powder dengan segala khas yang lain begitu menyengat, dan ruangan disebelahnya adalah ruang incubator dimana temaram bayi yang masih merah terbaring begitu mungil.
“Ehm. Jadi begini Mr. and Mrs. Bieber.” Justin menggenggam tangan Wero kuat-kuat.
“Sepertinya belum ada pertanda adanya fertilisasi serta zigot yang tumbuh di rahim Mrs. Weronika, namun hal ini semakin dipersulit dengan dugaan adanya salah satu sel gamet dari tuan atau nona yang menyebabkan pemberhentian keturunan.”
“Maksud dokter?”
“Ya, umumnya pasangan yang sudah mengalami tanda kehamilan seperti penuturan Mrs. Weronika tadi, bahkan dari mual hingga telat datang bulan hingga 3 bulan itu kemungkinan postif mengandung bayi usia 4 bulan. Namun, hasil deteksi alat medis kami menunjukkan tidak adanya zigot yang hidup. Salah satu dari anda berdua mengalami kemandulan.”
               Wero menatap suaminya yang semakin cemas, diusapnya lembut tangan Justin yang sudut matanya hampir meneteskan airmata. Gadis itu merasakannya lantas memeriksa kertas itu kembali.
“Lalu bagaimana kalau kertas cetak ini salah?” ujar Wero sambil menahan emosinya.
“Tidak Mrs. Weronika, alat medis kami sudah bersertifikat internasional serta selalu akurat.”
“Apakah diagnosa ini bisa dicabut kalau kami berkunjung kesini lagi?”
“Maaf Mrs. Weronika kalau memang alat ini benar adanya, berarti Tuhan memiliki rencana lain untuk kehidupan rumah tangga anda berdua. Namun mukjizat Tuhan saja yang bisa terjadi dalam waktu 3 minggu ini. Semua bisa saja terjadi.”
“Tapi-”
“Wero cukup.”

               Gadis itu terkesiap begitu Justin kembali angkat bicara. Ditatapnya lelaki itu nanar sambil berusaha tersenyum pada sang dokter.
“Terimakasih dok, kami akan tetap mengusahakannya, dan terimakasih banyak atas informasinya.”
“Baik Mr. dan saya kira lebih baik masalah ini jangan dijadikan beban pikiran, karena hanya mempersulit hormone untuk memicu kehamilan yang lebih lanjut. Semoga tuhan memberkati anda berdua.”
“Baik dok, terimakasih.”




To be continued.

0 comments: