Monday 8 September 2014

0

I HEAR YOUR HEARTBEATS 6

I HEAR YOUR HEARTBEATS 6
*****
Author Point Of View



               Wero keluar dari kamar mandi dengan wajah yang masih berlipat. Dilihatnya Justin sedang berkacak pinggang di kaca sebelah ranjangnya. Dia lantas merebahkan tubuhnya dan meraih beberapa buku physics yang diambilnya dari perpustakaan bersama Kristen. Justin yang melihat Wero masih terdiam menarik sudut bibirnya dan menghampiri istrinya sekarang itu.

“Jadi ini yang membuat kalian berpelukan kemarin?”

Justin lantas ikut berbaring. Wero hanya menaikkan sebelah alisnya tanpa menggubris ucapan Justin itu dan tetap diam dalam geraknya. Justin menghirup nafasnya dalam membuat gadis itu melingukkan lehernya melihat Justin yang sedang menatapnya dalam.
“Berhenti menatapku seperti itu.” Ujar Wero ketus. Justin semakin tersenyum menyikapinya.
“Gadis mana sih, yang tidak bahagia kalau bisa satu rumah-bahkan satu ranjang denganku dan setiap detik merasakan rasa yang sama setiap kali memandangku?”
Wero menggembungkan pipinya lantas kembali pada bukunya tanpa banyak bicara lagi.
“Belajarlah besok siang bersamaku di perpustakaan, aku akan menunggumu disana.” Bisik Justin sambil meringkuk membelakangi Wero. Gadis itu mulai tidak marah ketika Justin tidur disampingnya, lagipula ada sekat yang dibuat sendiri oleh Wero agar mereka berjauhan.
“Dasar sok pintar -_-” Cerutus gadis itu menatap punggung Justin sekilas.
“Jangan belajar larut seperti ini, matamu bisa rusak, nanti aku tidak bisa memandang mataku dimatamu lagi.” Justin mematikan lampu kamar mereka yang saklarnya tepat diatas Justin berbaring. Wero tertegun sejenak. Ada sekelumit rasa senang dalam benaknya ketika barusan Justin berujar demikian, gadis itu merasa diperhatikan. Dia lantas meletakkan bukunya dan menyusul Justin yang tengah memejamkan mata dengan mengusap pipi Wero yang tirus. Gadis itu terlelap.




*****



               Dengan sedikit berlarian pula gadis itu terjatuh, lantas kembali bangkit sambil bergegas menuju ruangan yang dipenuhi buku dengan pemandangan dari balkon yang membebaskan mata pengunjung perpustakaan itu bisa sedikit mengagumi setiap kota Louisville yang dipenuhi dengan suasana hijau yang masih segar di utara kota. Sementara hamparan lautan berada di pucuk mata ketika melihat ke samping kiri balkon itu. Gadis itu membenarkan seragamnya lantas menuju ke balkon, mencari orang yang sudah mengadakan janji belajar bersamanya.

“Justin?”

              Desisnya sembari duduk mengendap-endap disisi lain dari seorang laki-laki yang sedang bersandar pada tembok sambil duduk di lantai balkon, membaca buku. Dia tersenyum. Balkon itu tempat dia bersama menghabiskan waktu bersama Justin sejak mereka bersekolah disini. Diraihnya buku physics yang menumpuk disisi meja yang berlainan sambil terus memperhatikan lelaki itu dengan seksama. Ingin rasanya menghampiri kekasihnya itu, namun jika Mrs. Hilton datang sudah pasti dia tidak bisa mengadakan pelajaran tambahan. Seperti biasa pasti Justin akan memaksanya untuk tinggal bersamanya, gadis itu memilih duduk agak berjauhan supaya dia bisa tetap mengawasi kekasihnya itu.

              “Wero, kemarilah.”

Gadis itu menoleh tatkala Justin terdengar memanggil seseorang dengan teriakannya yang keras. Dilihatnya gadis yang tengah berwajah kesal berjalan menyeret kakinya menuju tempat Justin tersenyum. Dia masih tetap terpaku dalam duduknya sementara konsentrasinya pada buku-buku itu mulai terpecahkan. Matanya mencoba mengamati, namun dia samasekali tak menangkap apa yang sedang mereka bicarakan.
                “Gadis itu kan, yang bersama Justin, yang bertemu denganku sore kemarin? Yang pernah-”
Dengan berat dia menyeka airmata yang ternyata meluncur mulus dari sudut kerlingannya. Mencoba menarik nafas dan segera dia berhamburan membereskan bukunya lantas berlari ke tempat lain. Sementara mereka yang diamati sedang duduk disudut balkon dengan pandangan datar yang sama-sama tertuju pada hamparan kota, diterpa angin yang bebas menyentuh wajah masing-masing.
“Seleksinya mudah kok, hanya tidak tahu pada babak selanjutnya saat disana.”
“Atas dasar apa kau menjadi sok tahu seperti itu?”
Wero membanting buku yang ada padanya dan menyerahkannya pada Justin dengan ketus. Sementara Justin menatap Wero datar dan meraih buku itu, membuka halaman-demi-halamannya dan menatap Wero sekali lagi, seolah tidak percaya bahwa buku itu masih bersih.
“Seorang gadis pernah mengikutinya tahun lalu, dan dia terhenti di tingkat nasional.”
“Kau hebat.” Gadis itu berujar singkat kemudian menatap Justin yang mengernyitkan dahinya.
“Aku? Bagaimana bisa?”
Wero mengangguk dan memutar-mutarkan pena pada telapak tangannya. Mencoba terlihat biasa didepan Justin yang nampak kebingungan olehnya.


“Pertama, kau berhasil memacari seorang gadis yang bahkan prestasinya lebih baik daripadaku. Kau sangat lihai memikat gadis-gadis yang tertipu dengan tampangmu yang selangit dan gayamu yang suka tebar pesona itu.”


Justin tertegun sejenak lantas menatap Wero aneh.
“Artinya diam-diam kau mengagumi betapa charmingnya suamimu ini?”
“Kau-”
Barusaja Wero menimpuk keras kepala Justin dengan buku yang direbutnya dari tangan lelaki itu. Dengan wajah sengit dia menatap Justin yang sedang meringis kesakitan. Dia tahu letak kesalahannya namun dia begitu senang menggoda Wero tentang perjodohan mereka yang tidak jelas itu. Dia malah terkekeh melihat Wero yang sedang mengerucutkan bibirnya sebal.
“Maaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Lalu, lalu? Apa ada yang kedua?”
Dengan malas Wero memutarkan bola matanya, dan menghirup nafasnya perlahan mencari udara yang bisa sedikit memecahkan suasana yang sangat menyebalkan seperti saat ini.
“Kau berhasil menguasai sastra minggu lalu dengan sempurna. Kau tahu? Aku terperangah mendengarkan semua kalimat dengan majas hiperbola itu keluar mulus dari mulutmu.”
Justin terkekeh, “Tentu saja aku menguasainya, kau tahu siapa pengarang roman kemarin? Aku lahir dikota yang sama dengannya, dan bersekolah disana hingga aku lulus high school. Tentu saja darah Shakespare mengalir padaku.”
Gadis itu menampis tangan Justin yang mengacak rambutnya dengan gemas. Dirasanya kecewa, pantas saja kemarin lelaki yang dikaguminya itu lihai berucap. Bagaimana tidak kalau dihitung sudah hampir satu dekade lebih dia menerima materi sastra yang sama. Bodoh.
“Tau begitu untuk apa aku memasang wajah paling mengagumi sedunia kemarin? Hah -_-”
“Sudah jangan membuatku gemas padamu. Ayo lekas belajar!”






*****


               Justin berjalan dengan bola basket ditangannya. Sementara itu perasaannya campur aduk menantikan hasil latihannya kali ini. Satu-satunya pemain basket yang dipilih menjadi wakil sekolah ini adalah Justin. Ibunya sendiri yang mengatakannya sebelum pembimbing basket mereka, mengatakannya kepada Justin. Meskipun begitu tak ada sedikit rasa sayang kepada ibu angkatnya itu, dia tetap dingin dan bertahan pada hatinya yang ditutup oleh keluarganya sekarang.

“Kau? Mau apa kau?”

Justin mencoba melepaskan tangan seorang gadis yang menariknya ke sudut ruang ganti. Gadis itu tidak peduli tubuh Justin yang penuh keringat, dia tetap memeluk Justin erat. Melepaskan segala rasa kerinduan dan tanya besar dihatinya.
“Aku sangat merindukanmu.” Katanya singkat, diusapnya airmata yang ikut membasahi tubuh Justin.
Justin tak bergeming. Perasaan berbeda, dia mengingat jelas sebulan yang lalu saat mereka juga melakukan hal sama ditempat yang sama, seperti sekarang ini Justin akan lebih banyak berhamburan memeluk gadis ini dengan rasa rindu yang sama. Entah. Kini dia merasakan biasa saja saat bersamanya.
“Hei, ada apa denganmu?” Tanya gadis itu menatap Justin yang sama-sekali tak menatapnya. Gadis itu menggoyangkan lengan Justin, seketika lelaki itu tertegun dan lamunannya buyar. Saat ini dipikirannya hanya Wero saja. Dirasakannya lebih ingin bersama Wero, dan berharap Wero akan melakukan hal yang sama padanya.
“Tidak.” Jawab Justin sekenanya. Dan berencana untuk pergi, gadis itu menahan lengannya lagi.
“Kau berubah. Kau lebih menjauhiku sekarang. Kau lupa aku kekasihmu?”



DEG!



Seketika itu darah Justin berdesir lebih keras lagi dan terhenyak. Begitu gadis itu mengingatkannya. Dia merasa sedikit bersalah, rasa cintanya pada gadis itu yang dulu sangat dicintainya seolah lenyap begitu saja karena Wero. Gadis yang mulai mengisi hatinya itu.
“Selena, aku rasa kita harus berakhir sampai disini.”
Selena Marie Gomez. Gadis itu mulai bergetaran sambil menggenggam erat tangan Justin yang berusaha dilepaskan. Dia menatap jauh mata Justin mencari gaya Justin biasa bercanda, namun dengan airmatanya yang menetes tidak ditemukannya guratan itu. Justin bersungguh-sungguh.
“Kau bisa menjelaskan semua ini Justin. Aku membutuhkan alasanmu.”
Tangisan Selena mulai pecah, sementara rasa amarahnya tak dapat dia umpatkan kepada Justin. Dia begitu mencintai Justin. Lelaki yang hampir tiga tahun bersamanya sejak bersama bersekolah disekolah yang sama. Selena mengerti Justin luar-dalam dan mau menerima Justin apa-adanya, meski dulunya Justin adalah orang yang temperament, psycho, labil, dan sangat dingin. Selena-lah yang mampu bertahan demi cintanya untuk Justin meski hubungan mereka tak pernah diketahui seorangpun.
“Atau jangan-jangan dia gadis yang kau cium saat itu? Gadis yang tadi bersamamu di balkon tempat kita biasa bersama?” Kata Selena menyelidik.
Justin sedikit tercekat. Bagaimanapun Justin sadar sejak dulu Selenalah memang gadisnya. Kekasihnya. Bahkan Justin selalu menyakitinya, meski Selena selalu berbuat baik dan tidak membalas semua perlakuan Justin yang menyia-nyiakan hidupnya. Justin hanya menaikkan sebelah alisnya menutupi rasa yang telah memudar dari dirinya, saat itu memang Justin dari awal hanya ingin mempermainkan Selena, namun karena kebaikan hatinya dia berubah mencintai Selena. Namun itu dulu. Sekarang hatinya hanya untuk Wero seorang saja.
“Iya.” Jawab Justin singkat. Selena merasakan sesuatu mencekik lehernya saat Justin dengan mudahnya berkata demikian. Tangan Selena naik keatas, hendak menampar Justin dengan geramnya.
“Maksudmu apa berselingkuh dibelakangku?” Justin menatap Selena sengit.
“Untuk apa berselingkuh? Mempertahankan hubungan yang tidak jelas seperti ini.”
“Kau yang menyuruhku menyembunyikan semua ini. Kau yang membungkamku. Sadarlah aku munafik Justin! Kau sangat munafik!”
“Munafik mana seorang kekasih yang setiap bertemu tak pernah menyapa, melihat, berbicara pada kekasihnya, sementara dia menyalahkan kekasihnya karena menyembunyikan hubungannya?”
“Aku-aku,”

Justin mengangkat dagunya menanyakan jawaban Selena yang terputus, sementara guratan pelangi dimatanya tak lagi terlukis dengan sempurna, hanya hamparan rasa hambar yang membekas.

“Kau bahkan tak pernah memberitahu siapapun kalau aku gadismu! Kau hanya mementingkan popularitasmu saja! Jangan munafik Justin! Katakan kau mencintaiku!”
Airmata Selena tak dapat ditahan lagi, dan pipinya terbasahi oleh airmata karena Justin. Tangannya diturunkan, bagaimanapun juga dia tidak tega menampar atau menyakiti Justin. Dia sangat sangat mencintai lelaki itu.
“Tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Kita hanya teman.” Ucap Justin penuh penekanan disetiap bicaranya. Mata Selena terpicing, lantas hatinya berasa terbunuh oleh ucapan Justin barusan. Betapa dia merasakan sakit meskipun dia bersama Justin sekarang.
“Tapi-”

               Selena menghentikan ucapannya karena Justin telah berlalu dari hadapannya untuk pergi. Lutut gadis latin ini serasa melemas, dan seperti dia barusan kehilangan nyawanya begitu Justin berkata mereka hanya teman. Justin memutuskan hubungan mereka secara tidak langsung pada Selena. Gadis itu terus menangis dan tak ada seorangpun menemukannya. Airmatanya tidak cukup melambangkan rasa sakit hatinya disia-siakan selama tiga tahun oleh Justin dan juga disakiti serta dikhianati seperti saat ini. Selena bangkit berdiri dan menghancurkan apa saja yang ada dihadapannya saat lantas mulai berteriak-teriak seperti orang kerasukan.
                “Berengsek kau Justin! Berengsek! Aku membencimu! Tak akan kubiarkan kau hidup bahagia dengan wanita jalang itu! Tak akan kubiarkan kau menang, pengkhianat! Arrrrrghhhhh!”




*****
(STILL) Author Point Of View

“Justin!”
                  Wero berhamburan memeluk laki-laki yang sedang duduk didepan televisi itu. Gadis itu tahu Justin tidak sedang menonton acara yang ada dihadapannya. Dia sedang melamun seperti biasanya. Justin terhenyak ketika gadis itu memeluknya sangat erat tidak seperti biasanya mereka saling berdebat dan saling membenci satu-sama-lain.
“Ada apa? Kelihatannya kau senang sekali.”
“Aku-aku tidak bisa bernafas.”
Justin menaikkan sebelah alisnya menatap Wero dengan penuh tanda tanya. Gadisnya itu terlihat senang kalau wajah suaminya seperti itu, dia menatap Justin yang begitu lucu dan menggemaskan saat mengerucutkan bibirnya ketika Wero menggodanya seperti tadi.
“Katakan.” Justin tersenyum sangat lebar lantas memasang wajahnya yang begitu antusias. Wero semakin bingung harus mengatakannya darimana, nafasnya tersengal-sengal setelah berlarian tadi.
“Baik. Huuft. Aku dipilih sebagai wakil Louisville untuk perwakilan olimpiade physics minggu depan! Bersama seorang siswi lain, namanya Selena Marie Gomez dari kelas bilingual kedua.”


Wajah yang begitu ceria tadi berubah muram dengan matanya yang menggantung seperti tidak ada yang istimewa dari kabar ini. Tak tersirat sedikitpun rasa bangga pada gadisnya itu, namun setidaknya ada rasa terimakasih berkat dia yang mengajari Wero dengan sabar menuju seleksi sekolah. Entah, begitulah Justin. Sudah diduganya lelaki ini tak akan pernah memperdulikan Wero sendiri.


“Jangan pernah mau kalah darinya.”
“Apa peduliku.”
Jawab Wero asal padanya lantas melihatnya yang tengah berdiam tetap pada sofa tempat mereka duduk sekarang. Perasaan yang tadinya senang seketika berubah karena ulah lelaki ini, Wero dengan gusar melepaskan sepatunya perlahan. Dia ini menyebalkan, batin gadis itu menatap Justin yang rasanya ingin dia tusuk dengan garpu. Perusak suasana. Tiba-tiba dia menarik lengan Wero ketika gadis itu berencana akan menjauh, sebuah senyuman mengembang dari bibirnya. Sangat manis. Senyumannya itu mampu membuat Wero  meleleh kapanpun jika sedang membencinya. Entahlah ini perasaan konyol. Wero merasa Justin mulai menyayanginya, bukan sebagai tuntutan status mereka sebagai istrinya, namun seperti gadis itu mulai menyayangi Justin pula.
“Aku juga akan menemanimu di turnamen minggu depan.”
“Apa? Kau jangan merusak suasana lagi -_-” Wero menahan perasaannya kalau-kalau Justin berbohong. Namun nampak raut Justin berubah lebih muram lagi dari sebelumnya.
“Kau tidak senang aku akan bergabung?”
Wero mencubit pipi Justin gemas. Wajahnya itu yang sangat membuat para gadis, termasuk Wero tergila-gila meski sikapnya yang sangat menyebalkan yang lebih sering membuat setiap orang yang bersamanya lelah.
“Bagaimana bisa?” Umpat Wero tidak percaya dan mencari sudut mata Justin.
“Kata ibuku, aku satu-satunya dari sekolah yang mewakili kota Louisville ini. Dan empat orang lainnya termasuk cadangan, berasal dari SHS3. Sekolah Zayn, adikku.”
Tak terasa mulutku sudah terperangah begitu mendengar Justin melirihkan perkataannya.
“Ibumu? Adikmu? Zayn? Zayn Malik yang terlihat selalu berjauhan denganmu saat bertanding?”
“Iya.” Jawab Justin singkat namun begitu menyisakan pertanyaan pada Wero. Akhirnya dia kembali duduk disampingnya lantas menaruh kepalanya manja dipundak lelaki itu.
“Bagaimana bisa, kalian begitu jauh dan sama-sekali mirip, tak seperti kakak-adik?”
Seakan tidak percaya, Wero menoleh melihat Justin tengah tersenyum padanya, lantas mengecup puncak kepala gadis itu perlahan juga, aku merasa nyaman diperlakukan begitu lembut oleh Justin. Tak seperti biasanya.
“Ini rahasia, jangan kau ceritakan pada siapapun. Apalagi Kristen.” Wero terkekeh sejadi-jadinya dan menggeleng perlahan, “Tentu saja. Aku tidak suka bergosip.”
                 “Baiklah.” Justin menghirup nafasnya panjang, dan mulai menerawang jauh ke depan.
“Pernikahan ini sebenarnya untuk meneruskan perusahaan ayahku, dia perancang namun lebih tersohor di Perancis. Ibuku berasal darisana juga. Perancis. Namun entahlah, aku tidak tahu jelas bagaimana ayahku dan ibuku berpisah hingga aku dewasa.”
Dilihatnya mata Justin menerawang jauh tanpa menatapnya, sementara Wero ikut diam dalam dekapan erat suaminya ini.

“Ibuku sekarang yang bersamaku, dia bukan ibu kandungku. Dia ibu Zayn. Aku begitu membenci mereka berdua. Aku tahu aku salah, namun aku, ayahku bahkan nekat menikahinya, sementara beliau belum meminta persetujuanku. Aku juga tidak senang kalau ayah dengan mudah menikah melupakan ibu kandungku yang bahkan aku belum tahu hingga sekarang.”
Wajah Justin yang sangat menghayati setiap yang keluar dari mulutnya, sehingga Wero dapat merasakan kalau dia begitu membenci segala pernikahan. Mungkin ini juga yang membuat awalnya dia membenci pernikahan ini, juga membencinya batin gadis ini perlahan. Entahlah. Wero hanya mempererat pelukannya pada Justin, menunggunya melanjutkan ceritanya.
“Sebenarnya sebelum mereka menikah, aku sudah bermusuhan dengan Zayn. Dan setelah ayahku menikah beliau meninggal dunia karena serangan jantung. Semuanya salahku Wero.”
Wero terhenyak, “Kenapa salahmu? Setiap orang meninggal karena rencana Tuhan.”
“Tidak Wero, salahku yang terlalu berlebihan. Kau tahu aku ini berandalan. Aku minum, aku memakai narkoba, aku balapan liar, aku jarang pulang ke rumah ayahku. Aku muak tinggal bersama wanita itu dan anaknya yang kurang ajar.”
“Kau-”
Justin menatap Wero sendu seakan menyimpan rasa bersalah juga karena telah menodai hidupnya dengan hal-hal buruk seperti yang dia ucapkan. Dikecupnya puncak kening gadis itu sekali lagi.
                 “Sekarang aku bukan pecandu, yang tersisa hanya balapan liar saja kalau aku sedang kesal.”
“Kau tak perlu khawatir, aku akan selalu menjagamu dari Zayn. Mungkin saja dia akan menyentuhmu kalau-kalau di perjalanan atau saat olimpiade berlangsung. Entahlah sepertinya dia menyukaimu Wero. Kau cukup cantik untuk mengalihkan perhatiannya. Sebenarnya Wero ..”
Justin berhenti berkata, menatap istrinya telah tertidur pulas dalam dekapannya itu. Dia tersenyum sederhana lantas kembali mengecup puncak kening Wero. Tak henti-hentinya dia memperlakukan Wero begitu manis sore ini.

“Sebenarnya kau hanya taruhanku, namun kau juga merebut hatiku.”





To be continued.

0 comments: