Monday, 8 September 2014

0

I HEAR YOUR HEARTBEATS 7

I HEAR YOUR HEARTBEATS 7
*****
Justin Bieber Point Of View




Hari demi hari berlalu. Saat yang sangat aku nantikan, juga Wero. Gadisku yang sangat cantik dengan talenta yang sangat berharga dia miliki untuk hidupnya. Aku begitu mencintainya, sangat mencintainya. Melebihi cintaku pada Selena. Yeah. Selena Marie Gomez, gadis yang pernah aku cintai namun hanya sesaat. Dia hanya pelampiasanku saja, sebenarnya aku tak bermaksud menyakitinya namun hati ini tidak dapat dipaksakan lebih jauh lagi. Kelihatannya kejadian seminggu lalu itu sudah tidak begitu berarti. Sekarang yang ada hanya Wero yang sedang tertidur dibangku sampingku. Meski berjarak dua kursi saja, aku sebenarnya tidak bisa menahan jika harus bersembunyi seperti ini. Apalagi berjauhan dengan Wero. Entah rasa sayangku pada gadis menyebalkan ini berasa tumbuh begitu cepat seiring kebersamaan kami.
Muncul dari pintu depan, sekelompok anak yang sangat aku kenal. Dan juga sangat aku benci. Mereka One Direction. Yang nantinya akan menjadi teman satu regu bersamaku untuk turnamen yang sama mewakili kota Louisville ini.

“Zayn?”

Aku bergumam ketika mereka memandangku tajam secara bergantian. Namun salah satu dari mereka, Zayn Malik musuh bebuyutanku nampak yang paling sinis memandangku. Sebelum ibunya itu menikah dengan Daddy, dia memang sudah musuhku. Rasa benci itu semakin menjadi tatkala tanpa persetujuanku, Daddy justru menikah lagi meninggalkan kebersamaan kami, bersama wanita yang melahirkan makhluk tak jelas semacam Zayn. Langsung saja aku mengingat tentang taruhan kami dulu, terngiang lagi taruhanku dulu dan aku yakin jika salah satu dari mereka menemukan Wero bersamaku, semuanya akan hancur.
“Halo-halo semuanya, boleh bergeser tempat duduk-” Teriak Niall keras. Sangat mengganggu.
Mereka berjalan mendekat dan mulai duduk mengikuti bangku yang tersisa, sementara Zayn tetap menuju ke belakang bus, ke arahku sambil tersenyum licik. Dia mendekat ke arah Wero lantas dengan leluasa duduk disampingnya yang masih pulas.
“Kau-” gumamku sambil mengepalkan tanganku. Aku begitu kesal dengannya, selalu mencari ulah saja denganku. Dia sengaja atau tidak untuk melakukan ini, yang pasti dia ingin aku membunuhnya.
“Hei bung. Biasa saja menatapku.” Katanya sambil beralih menajamkan matanya padaku.
“Bodoh. Aku sedang tidak memperhatikanmu.” Jawabku berbohong dengan terus merasa cemburu.
Zayn mengangkat sebelah alisnya.
Kemudian dia menoleh ke arah Wero, mengamatinya beberapa saat lantas tersenyum licik ke arahku. Sudah kuduga. Dia pasti akan mengungkit masalah pertaruhan di awal semester lalu.
“Oh jadi gadis ini, bukankah dia yang kita jadikan taruhan dulu?” tanyanya seolah baik padaku.

               Aku hanya mendengus kesal sambil terus berjaga-jaga kalau-kalau Zayn berani menyentuh gadisku.
“Dia semakin cantik namun sayang, dia tentu sudah membencimu kan Justin? Sesuai taruhan kita agar kau menang? Tentu saja kan kau telah menikah dengan-”
“Shut up!”
             Aku terus menatapnya dengan tatapan ingin membunuh. Tak sudi aku menjawab sepatah katapun dari pertanyaannya, aku terus mengintainya untuk tidak macam-macam pada Wero. Zayn terus saja memperhatikan Wero lantas kulirik dia sedang tersenyum-senyum sendiri seperti orang jatuh cinta. Entahlah dia pura-pura bodoh atau apa, seingatku memang dia tidak menghadiri pernikahan kami di gereja. Tentu saja, dia kan seorang muslim sama seperti ayahnya atau mungkin dia tidak diberitahu ibunya itu kalau Wero-lah sebenarnya gadis yang dijodohkan denganku. Dasar bodoh -_-
Aku menaruh kuda-kuda untuk menghajar lelaki berengsek itu kalau-kalau dia berani menyentuh gadisku. Dia dan ibunya sama saja.
Tiba-tiba saja Wero menggeliat, aku yang begitu melihatnya seakan tersenyum dan melupakan kuman yang sebesar gajah sedang duduk di pelupuk mataku. Menghalangiku berdekatan dengan Wero, gadisku. Wero meliukkan tubuhnya manja lantas meringkuk kembali.




*****
Weronika Point Of View


“Princess-” desis seseorang perlahan sambil mengusap-usap tanganku. Hanya satu suara laki-laki yang aku kenal, hanya saja kali ini berbeda sekali dengan suara tenor Justin. Aku mulai mencoba menarik kelopak mataku, lama kelamaan terasa sedikit mengganjal dengan cara dia mengusap tanganku. Tak seperti biasanya Justin melakukkannya padaku. Aku menggeliat sekali lagi, lantas mengulurkan tanganku untuk menutupi mulutku yang menguap.

“KAU INI SIAPA?”

              Refleks aku berteriak menyadari orang tadi bukanlah Justin. Padahal aku berencana memeluknya. Jarang-jarang juga Justin mau bermesraan dihadapan teman-teman. Hubungan kami saja dia sembunyikan. Aku kembali merasa cemas. Seseorang yang entah siapa namanya tapi aku pernah melihatnya. Dia menaruh jari telunjuk di bibirnya, mengisyaratkanku untuk diam. Aku melirik dibelakang lelaki ini, seorang lelaki dengan sepatu supra ungunya nampak berkacak pinggang ditempat duduknya memperhatikan kearah kami dengan tatapan membunuh. Justin ada namun membiarkanku bersama lelaki ini?
“Aku Zayn. Kapten basket SHS3, beruntung sekali bisa mewakili kota ini, apalagi bertemu dengan gadis secantik dirimu.” Katanya lembut sambil kembali mengusap tanganku. Aku tidak salah dengar. Aku juga tidak salah melihat, seperti sebelumnya, saat menatapnya di awal semester lalu. Dia Zayn. Dia  orang yang sangat-sangat dibenci oleh Justin. Kerap kali Justin mengumpatkan amarahnya pada setiap kelakuan Zayn dan setiap dia bertemu dengan lelaki ini. Begitu bertatap yang ada hanya rasa dendam satu-sama-lain yang berkoar. Dengan kasar kutarik tanganku sebelum dia mengecupnya. Aku menatapnya dengan rasa ketakutan yang amat sangat. Hatiku mulai khawatir Justin akan cemburu dengan lelaki ini.
“Jangan takut. Maaf duduk tanpa seizinmu.” Aku mengangguk perlahan. Menatap lelaki ini sama rasanya saat menatap Justin. Apalagi terlihat begitu mata sapphirenya yang biru, dengan penuh kehati-hatian menatapku lekat-lekat. Aku berusaha menatap seseorang dibelakangnya lagi, seseorang mengenakan sepatu supra dengan tali yang disembunyikan. Aku mengenalnya, siapa lagi kalau bukan Justin? Rasa berdebaran dan takut mulai terasa, aku mulai merasakan rasa khawatir yang begitu merasuk kalau-kalau Justin marah dan sifatnya yang temperamen itu muncul.
                  Mata Justin menatap mataku tajam lantas dia bangkit berdiri ketika kebetulan bus kami juga berhenti. Ternyata kami sampai di bandara. Terlihat seluruh anak-anak begitu antusias, dengan wajah mereka yang gembira berebut untuk turun dari bus dan segera take off. Namun Justin berbeda. Rautnya penuh dengan kecemburuan meski dia yang berdiri pertama kali sebelum mereka yang kini telah mengosongi bus dan mulai berhamburan turun.
“Boleh aku membantumu?” tawar Zayn lembut, kurasakan tidak ada yang berat. Aku menggeleng pelan lantas menengok ke-kiri-dan-kanan, Justin tidak ada diantara kami. Aku sedikit mengkhawatirkannya. Aku takut dia akan marah. Cemburu lebih tepatnya.
“Kau mencari siapa?” Zayn ikut melongok kesekeliling, “Aku ingin ke toilet.”
                   Segera aku meninggalkan Zayn dan berjalan menyusuri setiap sudut keramaian bandara, dengan atap kaca tentu yang berada didalam bisa melihat pesawat yang landing ataupun take off dari area lepas landas dibelakang gedung. Aku masuk ke sebuah lorong, tiba-tiba seseorang menarik lenganku lantas mendekapku dalam pelukannya. Aku akan memberontak, namun wangi jaket yang dikenakan orang ini, aku mengenalnya. Seperti wangi parfum Justin yang selalu dia kenakan.
“Justin, ini tempat umum. Lepaskan aku-” bisikku perlahan padanya. Dia lantas melepaskan pelukannya.
“Kau tahu aku begitu membenci Zayn, jangan sekali-kali mendekatinya.”
Kurang ajar. Sama saja dikira aku adalah ulat bulu yang sedang gatal dan mencari lelaki lain. Justin begitu meremehkanku. Lelaki itu malah menatap orang-orang yang lewat sambil matanya mencari-cari seseorang, seolah tak menganggapku ada didekatnya sekarang.
“Mendekatinya? Jadi kau pikir aku yang terlalu murahan untuk menggodanya?”
“Iya.” Tanganku terasa ingin mencabik-cabik mulut yang bisa-bisanya berujar demikian.
“Kau sendiri malah membiarkanku duduk bersamanya. Bodoh.”
Justin menatapku sengit sambil meremas lenganku perlahan, sementara dia diam saja. Dasar menyebalkan. Dia hanya menyalahkan orang lain, sementara dirinya sendiri tidak mau disalahkan.
“Terserah kau saja.”


Begitupun lelaki ini melenggang pergi diantara sekerumunan orang yang juga berlalu-lalang diantara kami. Mata Justin sekilas menyorot rasa kekecewaan, namun dia menampisnya dengan perlakuannya yang mulai temperament. Aku yakin dia ini cemburu, hanya saja gengsi untuk mengakuinya dan lebih mempersalahkan keegoisannya semata. Dasar. Menyebalkan.




*****
Author Point Of View


                  Langit malam begitu gelap menyelimuti jendela luar deretan bangku Wero begitu kentara. Sementara jendela yang lain telah ditutup dan pesawat akan landing beberapa jam lagi. Masih terlalu pagi untuk berkemas ataupun menikmati sarapan. Setiap mereka yang terlelap masih meringkuk pada bangkunya masing-masing. Wero sendiri juga masih terlelap, sementara Zayn yang duduk didepan Justin masih terjaga dan terus mengamati Wero dari bangkunya. Justin juga demikian, secara bergantian dia menatap Zayn dan Wero memastikan Zayn tidak macam-macam.
Berkali-kali lelaki ini hampir terkantuk, hingga akhirnya terpejamkan untuk tidur.
“Aduh!” Tubuh Justin terhenyak tatkala seseorang menyandung kakinya yang ternyata melewati batas tempat duduk. Seorang gadis sedang tersungkur sambil memunguti buku-buku yang berserakan dilantai pesawat. Justinpun yang tersadar segera berjongkok dan membantunya.
“Maafkan saya nona.” Kata Justin penuh kehati-hatian.
“Justin?”
                  Mata mereka bertemu dan saling membulat. Sementara Selena masih mematung menatapnya tak percaya kalau-kalau bertemu disini. Mereka berdua saling tatap hingga Justin membanting buku yang dia rapihkan. Kemudian dia bangkit ke kursinya dan mencoba mengacuhkan gadis barusan. Dia tersadar mengingat Wero. Setiapkali teringat Selena, dia mengingat Wero. Bukan Selena lagi.
Dia kembali memelototi Zayn yang ternyata sudah mendengkur dibalik lipatan tangannya, sedikit senyumnya tersungging namun perasaannya masih begitu mengganggu saat musuh dan orang yang dicintainya kini saling berdekatan.
               Sementara itu gadis tadi nampak tak begitu memperdulikan lelaki yang tak menggubrisnya itu, namun senyuman licik mengembang saat mengikuti pandangan mata Justin menuju Wero yang sedang tertidur pulas berdekatan dengan Zayn. Sedetik kemudian dia dengan sedikit berteriak berhasil mengundang seorang pramugari yang sedang berjaga.
“Mengapa duduk disini nona, boleh saya lihat tiket anda?” Selena mengangguk dan menyerahkan sebuah lembaran kertas dari saku jaketnya. Pramugari itu kemudian mencari letak kursi gadis ini.
“Kursi anda sedang dipakai tuan muda ini, sebentar pasti beliau tidak keberatan jika saya suruh pindah.”
Dia menatap bangku yang digunakan tidur oleh gadis yang diperhatikan Justin tadi, lantas sebelahnya. Selena menatap bangku sebelah Justin yang masih kosong, “Jangan-jangan. Saya tidak enak hati.”
“Lebih baik saya duduk disini saja sampai besok pagi, lagipula masih kosong. Tidak masalah bagi saya.”
Selena menatap Justin yang tengah memelototinya setelah melihat drama yang membosankan barusan. Dengan tersenyum pramugari itu mempersilahkan Selena untuk duduk sementara Justin berhasil dibuat bungkam seribu kata. Sang pramugari hanya mengangguk lantas pergi kembali ke belakang.
“Tenang saja. Aku hanya disini sampai besok pagi setelah lelaki ini pergi.” Selena menunjuk Zayn disampingnya sedang meringkuk dalam tidurnya. Sementara Justin mengacuhkannya sedari tadi.
“Sepertinya kekasih barumu itu sangat beruntung ya, bisa duduk dengan laki-laki yang lebih tampan darimu.” Selena mulai membuka pembicaraan dengan panas ketika Justin menatapnya sengit.
“Jaga ucapanmu.” Kata Justin sambil menunjuk bibir Selena tajam. Selena hanya terkekeh.
“Ini kenyataan. Jadi benar dia kekasihmu sekarang ya? Gadis selingkuhan yang menjelma sebagai kekasih. Dan semoga dia betah dengan hubungan kalian yang disembunyikan.”
Justin menatap Selena tidak percaya. Bagaimanapun gadis ini tahu betul seluk-beluk Justin, namun hatinya kini hanya ada satu kata yaitu balas dendam pada lelaki yang sudah menyakitinya. Bahkan dianggapnya menduakan, dan dengan mudah meninggalkannya. Hati Selena sudah mati karenanya.


“Aku mau tahu bagaimana reaksi gadismu itu ketika bangun melihat kekasihnya sedang-”
“Diamlah!”


Dengan kasar Justin menampis tangan Selena yang hendak meraih tangannya. Kemudian lelaki ini berusaha menjauh dari gadis yang berubah 180° itu. Justin merasa sangat terganggu dengan suara tawaan Selena yang memecah keheningan di pesawat ini.




*****


               Wero menggeliat perlahan. Suasana segar begitu terasa ketika dia menguap dan meregangkan tubuhnya perlahan. Seketika matanya membulat ketika menemukan Justin sedang terlelap sambil seorang gadis yang begitu membuatnya panas, sedang juga terlelap dalam lengan Justin.
“Dasar menyebalkan.” Umpatnya. Tiba-tiba Zayn ikut menguap sambil menatap Wero yang berhasil membuatnya terbangun. Dia kemudian mengikuti mata Wero yang sedang menatap sesuatu dibelakangnya. Zayn lantas terkekeh sambil mencubit pipi Wero gemas.
“Kau ini kenapa, pagi-pagi sudah pasang muka menggemaskan seperti ini?”
“Baru karena masalah kecil, kau membuat masalah besar padaku. Dasar egois.”
“Apa?”
Wero terhenyak menatap Zayn yang nampak kebingungan dengan ucapannya barusan. Dilihatnya kembali dua manusia yang sedang tertidur dalam kehangatan mungkin. Matanya berkilatan cemburu. Dia mencoba mengamati bagaimana bisa semalam Justin terlihat sendirian, sementara pagi ini sudah tidur dengan gadis lain.
“Apa? Aku tidak mendengarnya. Bisa kau ulangi sekali lagi?”
“Tidak bisa.” Jawab Wero dengan ketus lantas melipatkan tangan didepan dadanya.

             Zaynpun terlihat kebingungan karena dirasanya tak ada apa-apa yang perlu dipermasalahkan. Suara erangan begitu kentara saat lelaki yang tadi perhatikan Wero tengah menggeliat. Gadis yang tadinya tertidur disampingnya itu cepat-cepat terbangun dan melepaskan lengan Justin. Barusaja membuka matanya, Justin mencari keberadaan Wero yang tengah tertawa renyah bersama dengan Zayn yang terpingkal-pingkal. Dahinya terhenyit menyaksikan Wero yang juga sekilas menatapnya namun mengabaikannya.
“Jadi kau mulai mencoba memanasiku. Kau pikir aku tidak bisa?” Gumam Justin sambil menatap Selena yang tengah berkemas-kemas tanpa memperdulikan kalau dia sedang diperhatikan.
“Hei?” Gadis latin itu tercekat tatkala Justin mengecup punggung tangannya dengan manis dan melemparkan senyumnya yang lama tak dilihat setelah mereka berpisah. Selena tertegun dengan perlakuan Justin yang mendadak hangat ini.
“Tetaplah disampingku, kau boleh duduk disini sampai kita kembali ke Louisville.”





*****
Weronika Mamot Point Of View



               JUSTIN. Belum juga puas dia membuatku kesal saat dibandara kemarin. Sekarang apa? Berani-beraninya dia mengecup tangan gadis itu didepan mataku. Menyebalkan sekali. Dia sama sekali tak menatapku sementara aku terus memelototinya dengan susah payah menahan setiap airmataku. Tak terasa Zayn kembali memperlihatkan foto-foto anak-anak One Direction yang begitu membuatku meledak-ledak. Tanpa sadar aku kembali tertawa renyah menyaksikan setiap wajah dan kelakukan mereka yang konyol.
“Bagaimana? Gokil kan.” Kata Zayn sambil menatapku begitu dalam. Aku hanya mengangguk. Tak terasa setiap kami mulai berkemas, begitupula dengan Zayn yang sudah dengan teliti menengok isi kopernya. Aku tertegun. Begitu lama aku melamun untuk memikirkan tingkah Justin yang sangat menyebalkan itu. Bahkan aku tak sadar kalau sebuah announcement dari dalam pesawat ini telah memperingatkan kami untuk bersiap landing.
               Dengan mengantri kami perlahan bergerak menuruni tangga dari pesawat untuk transit namun dengan bus menuju lokasi olimpiade. Aku bahkan tak menyangka, olimpiade tingkat nasional sekaligus pengiriman atlet olahraga berlangsung dinegara lain. Bahkan kami mulai melihat setiap bangunan Spanyol yang begitu klasik. Madrid adalah tempat kami berada, aku memperhatikan sekeliling saat mendapati Justin berjalan dibelakang kami namun menggandeng tangan gadis yang tadi tidur disampingnya.
“Baiklah Wero. Kurasa kita harus berpisah disini, bus untuk atlet dan peserta olimpiade berlainan. Senang bisa bersamamu. Kuharap kita bertemu di acara camping nanti.”
               Mataku tanpa sadar menutup saat Zayn dengan mudah mengecup keningku perlahan. Aku tercekat menyadari kalau Justin ada disini juga. Aku mulai panik dan menoleh, Justin tengah menatapku tajam dan mengacuhkanku saat mata kami bertemu. Bibirku tak dapat berkata-kata lagi, Justin telah melenggang mengikuti Zayn yang juga menaiki bus yang ada di ujung bandara ini. Dia juga peserta turnamen yang sama dengan Zayn. Aku khawatir kalau Zayn habis ditangan Justin, bagaimana tidak ketika aku menatapnya tadi matanya sudah berkilatan marah.
“Kau?” Desisku saat gadis yang bersama Justin tadi ikut masuk kedalam bus yang sama denganku. Dia nampak begitu manis dengan pipi chubby dan wajahnya yang sangat baby-face. Sangat kontras denganku. Mungkin gadis seperti inilah yang menjadi tipe gadis Justin, bukan sepertiku.
“Kau yang tadi dengan Justin kan?” Gadis ini tersenyum sambil mengangguk, “Hei kita pernah bertemu sebelumnya.” Kataku begitu kaget menatap rinci setiap wajahnya.
“Benar. Namaku Selena, kita pernah bertemu di halte waktu itu. Dunia ini sempit ya?”
“Iya. Sangat sempit malahan.” Aku menjawabnya dengan ketus sementara dia nampak cemas dengan wajahku yang begitu terlihat kesal. Bagaimanapun dia ini tadi bermesraan dengan Justin, namun dia gadis yang baik. Aku menatapnya sendu, “Ada apa?”
Aku hanya diam sambil menggeleng, sementara bus kami mengikuti laju bus yang ditumpangi Justin didepan dan terhenti tepat di sebuah apartement yang cukup membuat kami berdecak. Desain klasiknya menyentuh hingga suasana tradisional Spanyol begitu kentara disini.
               Seluruh anak menuruni bus dengan semangat. Berbeda denganku. Dengan malas aku turun sambil mengikuti langkah Selena yang ternyata satu bidang studi denganku. Fisika. Kami satu-satunya wakil dari Louisville untuk olimpiade nasional yang cukup bergengsi ini.
“Aduh!” Tubuhku menabrak pundak seseorang, seketika mataku berkaca-kaca menyaksikan apa yang membuat keningku terasa sakit. Dengan mudahnya Justin mengecup kening Selena yang tadi berada didepanku dengan sangat dalam, bahkan tubuhku yang menabraknya tak digubrisnya. Dia terlihat begitu menikmati kecupannya itu.
“Kau!”
“Apa? Kau sendiri bermesra-mesraan dengan Zayn dengan mudah. Kau lupa aku sudah memperingatkanmu.”
“Tapi kau tidak bisa seenaknya mencium gadis ini didepan umum, bahkan kau sendiri tidak-”
“Kau bisa melakukannya tadi, mengapa aku tidak?”




Plaakkkk!




Aku menampar wajah lelaki ini dengan keras, sementara airmataku tak dapat dibendung lagi. Justin kau sangat menyebalkan. Aku membencimu. Lelaki itu begitu egois dan seenaknya melakukan sesuatu tanpa pernah memikirkan perasaanku! Aku muak.




To be continued.

0 comments: