I HEAR YOUR HEARTBEATS 13
I
HEAR YOUR HEARTBEATS 13
*****
Weronika Point Of View
Weronika Point Of View
Waktu berlalu begitu cepat,
seiring dengan Justin yang terlihat begitu mencintaiku dan tidak ada yang lain.
Suasana dirumah yang sekarang penuh dengan kehangatan, meski Justin begitu
menyebalkan dengan kelakuannya yang menganggapku bodoh. Yang semakin kelewatan
dari sebelumnya. Namun aku bersyukur dibalik semuanya itu aku tahu Justin
memperdulikanku. Yang mungkin jika mereka semua tahu, akan banyak hati yang
terpatahkan. Entahlah itu. Dan detik demi detik berlalu seiring dengan apa yang
akan terjadi. Aku mulai menyerahkan hatiku dan segala hidupku untuk Justin
saja. Aku jauh dari daddy, dan ibu. Aku sangat merindukannya. Tak perlu
siapapun tahu aku tidak ingin. Apalagi Justin yang menemaniku dengan kebodohannya
setiap hari. Setidaknya aku tak menghilangkan wajah manisnya setiap kali
menyambutku.
“Bagaimana
kau sudah siap?”
Aku
kembali mematut diriku dicermin wastafel, dengan tergesa aku mengusapkan handuk
kecil pada mulutku. Malam ini prom-nite yang lama dinantikan Justin
telah tiba. Mau tidak mau, aku harus ikut agar bisa menyenangkan lelaki itu.
Dengan kecil aku menyentuh pundak Justin, dia menoleh. Matanya berbinaran
ketika melihatku, bahkan sekalipun tak berkedip.
“Biasa saja menatapku. Aku memang cantik.” kataku seolah tidak terjadi apapun sebelumnya.
“Kau membeli gaun ini dimana?” Tanyanya begitu spontan sembari memainkan renda dilenganku. Dia masih menatapku dari atas ke bawah seolah begitu asing denganku sekarang. Sebenarnya malas untuk kesini, entah mengapa akhir-akhir ini aku banyak mual untuk menyantap makanan yang sangat kuinginkan. Begitu membosankan, membosankan untuk berulang kali menunduk di wastafel seperti barusan. Menyiksa sekali untuk menyembunyikannya dari siapapun.
“Jelas-jelas ini yang kau belikan saat dibutik lalu.” ucapku ketus membalasnya.
“Biasa saja menatapku. Aku memang cantik.” kataku seolah tidak terjadi apapun sebelumnya.
“Kau membeli gaun ini dimana?” Tanyanya begitu spontan sembari memainkan renda dilenganku. Dia masih menatapku dari atas ke bawah seolah begitu asing denganku sekarang. Sebenarnya malas untuk kesini, entah mengapa akhir-akhir ini aku banyak mual untuk menyantap makanan yang sangat kuinginkan. Begitu membosankan, membosankan untuk berulang kali menunduk di wastafel seperti barusan. Menyiksa sekali untuk menyembunyikannya dari siapapun.
“Jelas-jelas ini yang kau belikan saat dibutik lalu.” ucapku ketus membalasnya.
Justin menatapku tidak percaya,
sementara aku hanya menatapnya dengan mengerucutkan bibirku sembari membenarkan
dasinya yang kurang begitu rapi. Dia terlihat maskulin namun sesuai dengan gayanya
yang sederhana yang tidak begitu meriah dipandang, Justin sangat simple namun
memikat.
“Jangan dingin seperti itu nanti kecantikanmu hilang.” ujarnya sambil terkekeh perlahan.
“Terserah.”
Lelaki itu meraih tanganku dan mengecup punggungnya. Aku hanya berdecak sambil mengambil topeng yang sama dengan Justin. Kubiarkan saja dia masih menatapiku dengan aneh. Sepertinya aku tanpa sengaja menghipnotisnya atau entahlah itu. Dengan gemas sesekali dia mencubit pipiku saat kami mulai berjalan memasuki lokasi prom-nite yang tak lain halaman sekolah kami sendiri. Dan sejak tiba di sekolahan, tak pernah sedikitpun dia melepas genggaman di tangan kami. Padahal aku ingin mengambil minuman dan beberapa cake yang ada dimeja saji.
“Kau yakin tidak mau melepaskan tanganmu ini?” Justin menggeleng cepat. Kemudian kami berjalan menuju balkon yang cukup ramai dengan banyak anak yang tengah berdansa disana. Lagu klasik diputar membuat kesan romantis tercipta.
“Aku tidak mau.” Kataku sambil berhenti. Lelaki itu ikut menatapku dengan kedua alisnya terangkat.
“Aku tidak mau berdansa. Aku sedang ingin makan, atau bergabung dengan Kristen.”
“Baiklah ayo kita temui dia.”
“Jangan dingin seperti itu nanti kecantikanmu hilang.” ujarnya sambil terkekeh perlahan.
“Terserah.”
Lelaki itu meraih tanganku dan mengecup punggungnya. Aku hanya berdecak sambil mengambil topeng yang sama dengan Justin. Kubiarkan saja dia masih menatapiku dengan aneh. Sepertinya aku tanpa sengaja menghipnotisnya atau entahlah itu. Dengan gemas sesekali dia mencubit pipiku saat kami mulai berjalan memasuki lokasi prom-nite yang tak lain halaman sekolah kami sendiri. Dan sejak tiba di sekolahan, tak pernah sedikitpun dia melepas genggaman di tangan kami. Padahal aku ingin mengambil minuman dan beberapa cake yang ada dimeja saji.
“Kau yakin tidak mau melepaskan tanganmu ini?” Justin menggeleng cepat. Kemudian kami berjalan menuju balkon yang cukup ramai dengan banyak anak yang tengah berdansa disana. Lagu klasik diputar membuat kesan romantis tercipta.
“Aku tidak mau.” Kataku sambil berhenti. Lelaki itu ikut menatapku dengan kedua alisnya terangkat.
“Aku tidak mau berdansa. Aku sedang ingin makan, atau bergabung dengan Kristen.”
“Baiklah ayo kita temui dia.”
Aku menatap Justin dengan tatapan
seperti ingin membunuhnya. Dia ini pura-pura bodoh atau memang bodoh -_- sekalipun
aku tidak akan pernah melupakan kalau perjodohan aku dan dia dirahasiakan.
“Kalau 'kita' artinya perjodohan ini akan terbongkar. Bisa saja Kristen berlari ke microphone lantas berteriak mengumumkannya. Kau masih saja menggodaku Just. Ini yang terakhir aku menuruti permintaan untuk pergi bersamamu tetapi tidak untuk kita.”
“Aku tidak akan pernah membiarkanmu berjauhan denganku apapun alasannya.”
Justin menyingkirkan jari telunjukku yang menudingnya bersama tatapan tajamku. Dia terlihat begitu datar menyikapiku lantas menggenggam tanganku erat lagi. Suara ponsel berdering. Suasana panas diantara kami terpecahkan. Justin meraih ponselnya tanpa melepaskan genggaman tangannya padaku.
“Kalau 'kita' artinya perjodohan ini akan terbongkar. Bisa saja Kristen berlari ke microphone lantas berteriak mengumumkannya. Kau masih saja menggodaku Just. Ini yang terakhir aku menuruti permintaan untuk pergi bersamamu tetapi tidak untuk kita.”
“Aku tidak akan pernah membiarkanmu berjauhan denganku apapun alasannya.”
Justin menyingkirkan jari telunjukku yang menudingnya bersama tatapan tajamku. Dia terlihat begitu datar menyikapiku lantas menggenggam tanganku erat lagi. Suara ponsel berdering. Suasana panas diantara kami terpecahkan. Justin meraih ponselnya tanpa melepaskan genggaman tangannya padaku.
“Hei, bukankah kita pernah bertemu sebelumnya?”
Seseorang menatapku dengan sorot
berbinar dibalik topengnya yang dipenuhi bulu-bulu cantik. Aku masih menatapnya
ragu begitu dia penuh senyuman menantikanku. Tiba-tba saja dia datang tanpa ada
angin yang berhembus. Aneh. Ditariknya ujung topeng bulu itu lantas menyibakkan
ikatan rambutnya didepanku, sementara Justin kurang begitu memperdulikannya
dengan telepon yang ditaruhnya dekat telinganya dengan wajah yang cukup serius.
“Wero sebenarnya aku tidak ingin tapi, anak-anak memanggilku bergabung.”
“Kau bilang tidak akan pernah membiarkanku berjauhan denganmu apapun alasannya?”
“Tidak untuk kali ini.” Katanya berbisik sambil menyimpan ponselnya disaku jas yang ia kenakan. Aku hanya mengangguk dengan malas, begitupun Justin mengecup bibirku sekilas lantas pergi menuju balkon sekolah.
“Wero sebenarnya aku tidak ingin tapi, anak-anak memanggilku bergabung.”
“Kau bilang tidak akan pernah membiarkanku berjauhan denganmu apapun alasannya?”
“Tidak untuk kali ini.” Katanya berbisik sambil menyimpan ponselnya disaku jas yang ia kenakan. Aku hanya mengangguk dengan malas, begitupun Justin mengecup bibirku sekilas lantas pergi menuju balkon sekolah.
“Hei.”
“Astaga maaf aku melupakanmu.”
“Astaga maaf aku melupakanmu.”
Aku hampir melupakan gadis yang
ternyata masih berdiri didepanku ini. Gadis itu samasekali tidak menampakkan
wajah kecewanya begitu aku hampir saja melamun, bukan untuk menyambut sapaannya
sebelum Justin tadi. Aku hanya tersenyum dengan penuh keterpaksaan sementara
dia telah mengulurkan tangannya padaku.
“Namaku Carly, Carly Rae Jepsen. Kita pernah bertemu sebelumnya di butik saat kita mengambil gaun yang sama. Kebetulan sekali kita bertemu lagi.” ucapnya begitu ramah.
“Akan kuingat-ingat kembali. Aku Weronika.” Aku sedikit ragu-ragu meraih jabat tangannya. Dia menatap sekeliling.
“Yang tadi itu pacarmu? Wah dia keren sekali. Sangat tampan dan manis. Aku suka gaya rambutnya.”
“Namaku Carly, Carly Rae Jepsen. Kita pernah bertemu sebelumnya di butik saat kita mengambil gaun yang sama. Kebetulan sekali kita bertemu lagi.” ucapnya begitu ramah.
“Akan kuingat-ingat kembali. Aku Weronika.” Aku sedikit ragu-ragu meraih jabat tangannya. Dia menatap sekeliling.
“Yang tadi itu pacarmu? Wah dia keren sekali. Sangat tampan dan manis. Aku suka gaya rambutnya.”
Rasanya aku sedikit tertegun
begitu dia berucap selancar itu. Aku menggeleng perlahan. Bagaimanapun
perjodohanku harus dirahasiakan sampai aku dan Justin benar-benar terlepas dari
sekolah ini. Sebentar lagi dan aku terbebas.
“Bukan
pacarmu? Tapi kalian seperti punya chemistry yang begitu kuat.”
“Tidak juga. Kenapa kau bisa sampai disini? Setahuku kau bukan siswi disini. Ini kan private-party.”
“Tidak juga. Kenapa kau bisa sampai disini? Setahuku kau bukan siswi disini. Ini kan private-party.”
Gadis
itu justru memantulkan matanya ke arah lapangan. Aku ikut menatap yang sama dia
lihat. Sepertinya Justin yang sedang bermain sendirian disana sementara
teman-temannya tampak asyik dipinggir lapangan.
Dasar
labil. Menyebalkan saat dia barusaja berujar namun tidak ditepati dan itu
berulang kali. Sekarang sedang apa dia? Bodoh sekali menuruti mereka sementara
meninggalkanku yang memegang janjinya tadi. Dasar lelaki.
“Ehm.”
Aku
berdeham cukup keras. Carly menoleh sambil tersenyum kikuk padaku.
“Hhhh. Maaf aku terlalu antusias dengan mereka. Maksudku, aku sampai disini karena yeah aku memang event organizer acara ini. Dan headmaster disini tidak salah memilihku, sepertinya banyak murid yang datang dengan senang hati.” Ucap gadis itu dengan senyum yang tak pernah hilang dari bibirnya. Membaca gelagatnya sejak awal pembicaraan gadis ini justru begitu antusias dengan Justin. Aku bisa merasakannya secara tidak langsung.
“Lalu bagaimana denganmu? Mengapa bisa sampai disini?” katanya tiba-tiba.
“Aku bersekolah disini dan merayakan kelulusan dengan acara ini.”
Dia hanya mengangguk-angguk kecil. “Wah cocok sekali, ayo ikut denganku.”
Cocok? Apa yang cocok denganku? Carly lantas mengajakku berlarian kecil menuju panggung yang cukup meriah didekat lapangan basket. Serasa high-heelsku akan patah ketika terpaksa ikut berlarian dengannya. Dia tidak memperdulikanku yang terlihat cukup kebingungan justru dengan mantap melangkah membelah panggung dengan berpasang-pasang mata tengah menatapiku penuh penasaran bergantian dengan Carly. Jantungku berdebaran, sementara aku membenarkan topeng yang ku pakai.
“Hhhh. Maaf aku terlalu antusias dengan mereka. Maksudku, aku sampai disini karena yeah aku memang event organizer acara ini. Dan headmaster disini tidak salah memilihku, sepertinya banyak murid yang datang dengan senang hati.” Ucap gadis itu dengan senyum yang tak pernah hilang dari bibirnya. Membaca gelagatnya sejak awal pembicaraan gadis ini justru begitu antusias dengan Justin. Aku bisa merasakannya secara tidak langsung.
“Lalu bagaimana denganmu? Mengapa bisa sampai disini?” katanya tiba-tiba.
“Aku bersekolah disini dan merayakan kelulusan dengan acara ini.”
Dia hanya mengangguk-angguk kecil. “Wah cocok sekali, ayo ikut denganku.”
Cocok? Apa yang cocok denganku? Carly lantas mengajakku berlarian kecil menuju panggung yang cukup meriah didekat lapangan basket. Serasa high-heelsku akan patah ketika terpaksa ikut berlarian dengannya. Dia tidak memperdulikanku yang terlihat cukup kebingungan justru dengan mantap melangkah membelah panggung dengan berpasang-pasang mata tengah menatapiku penuh penasaran bergantian dengan Carly. Jantungku berdebaran, sementara aku membenarkan topeng yang ku pakai.
“Baiklah kita sambut ONE DIRECTION!”
Serasa
mulutku tak bisa berhenti terperangah. One Direction? Mereka ada disini
sekarang. Sudah benar-benar gila dan begitu sempit dunia ini. Bisa-bisanya
gadis itu mengundang mereka sebagai bintang tamu. Dasar bodoh. Bayangan Mom
terngiang bagaimana dia memberi izin untuk Carly mengundang mereka.
“Terimakasih Carly. Disini kami hadir memeriahkan acara tanpa bayaran. Setidaknya kami bisa menyumbangkan sebuah lagu yang spektakuler untuk sejarah disini. Dan terimakasih untuk headmaster kita, yang mengizinkan puternya bergabung. I love you mom.”
“Terimakasih Carly. Disini kami hadir memeriahkan acara tanpa bayaran. Setidaknya kami bisa menyumbangkan sebuah lagu yang spektakuler untuk sejarah disini. Dan terimakasih untuk headmaster kita, yang mengizinkan puternya bergabung. I love you mom.”
Seorang
lelaki mulai bersenandung dari atas panggung. Sementara Carly tersenyum pada
mereka satu-per-satu, namun ada yang aneh dari matanya. Seolah menyorotkan mata
yang saling bertelepati. Aku hanya ikut bertepuk tangan sambil terus berdiri
canggung -- apa lagi kami berada didepan panggung sekarang. Begitu dekat dengan
lima orang lelaki itu.
“Carly
kita mau apa kemari? Aku gugup sekali.
Aku
berbisik pelan. Dia hanya tersenyum kecil. Alunan musik menjadi lirih, seketika
sorot lampu ditujukan pada seorang lelaki yang mungkin orang yang tak asing
lagi. Zayn. Dia juga yang memberi sambutan tadi. Astaga Tuhan dia sedang
berjalan ke depan. Sementara Carly melambai-lambaikan tangan padanya, sesekali
mencuri pandang ke arah lapangan basket.
“Baby
you light up my world like nobody else
The way that you flip ur hair gets me overwhemled
But when you smile at the ground
The way that you flip ur hair gets me overwhemled
But when you smile at the ground
It aint hard to tell you dont know
You dont know youre beautiful,”
You dont know youre beautiful,”
Jantungku
mulai berdebaran liar. Sekarang lelaki itu tepat didepan wajahku sambil
tersenyum, musik terhenti lantas dia mengulurkan tangannya padaku. Aku terdiam,
menatapnya dan Carly secara bergantian. Sementara sekeliling banyak gadis-gadis
yang berteriak histeris menatapku penuh iri. Astaga Tuhan. Zayn menarik tubuhku
dengan turun lantas membopongku asal, aku ingin berontak namun matanya
memaksaku tenang. Keringat dingin mulai bercucuran. Pikiranku seketika tertuju
pada Justin. Aku melirik lapangan basket. Lapangan telah kosong sementara lagu
kembali dimainkan.
“You
dont know, you dont know youre beautiful
Thats whats makes you beautiful.”
*****
Author Point Of View
Author Point Of View
Gadis itu menampis
tangan lelaki yang tadi menariknya ke atas panggung. Namun tak khayal lelaki
itu semakin sering membuat situasi panas diseantero panggung itu. Wero
menyorotkan matanya tajam pada Zayn. Namun sepertinya lelaki itu tidak
mengenalinya justru memeluk Wero dari belakang di akhir lagu. Wero pucat pasi
berulang kali memperhatikan lapangan yang telah kosong itu Justin tidak ada
disana. Hatinya menangis seolah butuh perlindungan sekarang.
“That
whats makes you beautiful.”
Wero
berlarian turun panggung sementara berpasang-pasang mata masih menatapnya tajam
sambil masing-masing menyorotkan rasa iri dengan rasa dendam bercampur. Wero
dapat merasakannya. Dia melepas topengnya itu lantas menyeka airmatanya.
Ditutupnya wajah cantik itu dengan tangannya yang lentik sambil menyendiri di
sudut koridor. Koridor yang sama sewaktu pertama bertemu Justin saat itu.
“Hei
Wero aku mencarimu kemana-mana.” Seketika gadis itu menoleh mendapati Justin
tengah menarik tangan itu dari wajahnya. “Ada apa Wero? Mengapa kau menangis?”
Tanpa ragu-ragu gadis itu memeluk erat tubuh Justin, dengan tertegun lelaki itu tanpa sadar menjatuhkan jas yang dia bawa ditangannya. Perlahan tangan itu dengan lembut mengelus punggung gadisnya sambil membalas pelukannya tak kalah erat.
“Maafkan aku Justin. Aku-aku bodoh.”
“Bodoh? Maksudmu?”
Wero hanya menangis semakin terisak lebih lagi, Justin semakin kebingungan dibuatnya. Gadis itu hanya mencoba bernafas saat ini dadanya terasa begitu sesak oleh rasa bersalah, yang sebenarnya tidak dia inginkan.
“Aku tidak bermaksud merusak malam ini, ini acara yang sangat kau tunggu.”
“Apa maksudmu? Kau ini darimana saja? Aku mencarimu berkeliling sekolah. Ku pikir kau marah padaku, karena- -maaf aku meninggalkanmu tadi.” Ucap Justin lirih di akhir katanya. Wero menatap lelaki itu penuh linangan.
“Tidak, bukan kau tapi aku.”
“Sebaiknya kita pulang saja, kau sedang tidak sehat Wero.”
Tanpa ragu-ragu gadis itu memeluk erat tubuh Justin, dengan tertegun lelaki itu tanpa sadar menjatuhkan jas yang dia bawa ditangannya. Perlahan tangan itu dengan lembut mengelus punggung gadisnya sambil membalas pelukannya tak kalah erat.
“Maafkan aku Justin. Aku-aku bodoh.”
“Bodoh? Maksudmu?”
Wero hanya menangis semakin terisak lebih lagi, Justin semakin kebingungan dibuatnya. Gadis itu hanya mencoba bernafas saat ini dadanya terasa begitu sesak oleh rasa bersalah, yang sebenarnya tidak dia inginkan.
“Aku tidak bermaksud merusak malam ini, ini acara yang sangat kau tunggu.”
“Apa maksudmu? Kau ini darimana saja? Aku mencarimu berkeliling sekolah. Ku pikir kau marah padaku, karena- -maaf aku meninggalkanmu tadi.” Ucap Justin lirih di akhir katanya. Wero menatap lelaki itu penuh linangan.
“Tidak, bukan kau tapi aku.”
“Sebaiknya kita pulang saja, kau sedang tidak sehat Wero.”
******
Zayn Malik Point Of View
Zayn Malik Point Of View
Anak-anak masih
terus menggodaku. Yeah aku tahu, kalau aku sudah cukup membuat gadis gadis
didepan panggung menggigit jari mereka. Ini semua bukan rencanaku, namun Carly
yang membuatnya. Entahlah siapa gadis tadi. Aku meletakkan topeng gadis
misterius itu, dia cukup menggemaskan. Berulang kali dia menolakku tak seperti
gadis lain jika kau ajak naik panggung. Namun tatapan matanya aku mengenal,
seperti .. ah tidak mungkin.
“Terus melamun. Kau jatuh cinta Zayn.” Kata Carly sambil memberiku sekaleng cola. Aku hanya tersenyum. Namun rasa ini mengingatkanku pada Wero. Gadis yang mencuri hatiku, namuan ternyata adalah gadis yang dijodohkan untuk musuh, sekaligus kakak dalam ikatan saudara tiri denganku. Ah tidak. Dia tidak menganggapku saudaranya. Aku hanya musuhnya yang selalu dan menjadi musuh untuk selamanya kalau dia memulainya dengan tatapannya yang keji itu. Akkkh -_-
“Zayn. Kau melamun lagi, kau benar-benar jatuh cinta?”
“Tidak.” balasku ketus sembari melenggang keluar tenda.
“Terus melamun. Kau jatuh cinta Zayn.” Kata Carly sambil memberiku sekaleng cola. Aku hanya tersenyum. Namun rasa ini mengingatkanku pada Wero. Gadis yang mencuri hatiku, namuan ternyata adalah gadis yang dijodohkan untuk musuh, sekaligus kakak dalam ikatan saudara tiri denganku. Ah tidak. Dia tidak menganggapku saudaranya. Aku hanya musuhnya yang selalu dan menjadi musuh untuk selamanya kalau dia memulainya dengan tatapannya yang keji itu. Akkkh -_-
“Zayn. Kau melamun lagi, kau benar-benar jatuh cinta?”
“Tidak.” balasku ketus sembari melenggang keluar tenda.
Aku meneguk cola itu lantas
menatap sayup-sayup langit malam yang mendung. Tidak ada satupun bintang yang
tertebaran. Semuanya gelap bahkan suasana sekolah mulai sepi sejak setengah jam
lalu. Mataku menyorot sepasang kekasih yang berjalan terseok. Sepertinya.
To be continued.
0 comments: